Ibuk adalah generasi pendatang di media sosial yang tetap awas melindungi batitanya.
Ternyata kita tidak bisa melihat satu fenomena dengan kacamata yang sama.
Menutup malam biasanya teman sekamar asramaku serius dengan media sosialnya masing-masing. Salah satu temanku tiba-tiba memecah suasana dengan berkata “ih, gemoy banget sih.” Ia rupanya sedang melihat anak seorang selebritas, sebut saja Rerre. Satu kamarku pun menyetujuinya dan bareng-bareng berisik memuji Rerre. Sementara itu, aku sendirian tidak turut merasakan demam ke-gemoy-an Rerre.
Aku justru heran, apakah orang tua Rerre tidak kasihan dengan Rerre yang hidup diintai kamera—bisa jadi setiap menit. Aku pun justru menebak-nebak, Rerre, sebagaimana lazimnya anak selebritas lain, jadi ladang uang. Karena ini, Rerre pun tidak mendapatkan hak yang sama seperti anak pada umumnya. Hal tersebut sangat disayangkan.
Lebih disayangkan lagi, fenomena ini justru dinormalisasi masyarakat biasa. Rerre dengan otomatis mengingatkanku pada salah satu ibu di jalan Malioboro yang memaksa anaknya berswafoto. Hal ini menarik perhatianku sebab anak yang dipaksa tersebut menangis sejadi-jadinya.
Aku cukup sedih melihatnya sebab fenomena memamerkan anak justru menjadi hal yang sangat wajar dan dinormalisasi. Bahkan, ia suka dilakukan dengan cara yang cukup buruk yakni memaksa anak. Anak seharusnya tak hanya dijadikan bahan “konten”. Anak, lebih dari itu, adalah subjek yang perlu dijaga privasinya.
Kedua kejadian tersebut pun sukses membuatku memutar memori kejadian dua tahun lalu terkait Ibukku.
Di umur Ibuk yang ke-41, beliau kembali dianugerahi seorang putri. Katanya, umur tersebut cukup senja untuk melahirkan seorang anak. Ibuk sangat handal dalam merawat dan memberikan pendidikan terbaik pada putrinya, terlebih ini kali ketiga ibu mendapatkan seorang putri. Namun, di zaman teknologi media sosial saat ini, Ibuk perlu sangat beradaptasi baik dengan fitur, etika, hingga penggunaannya.
Pada suatu sore, aku melihat postingan adikku di tahun 2021 dari Ibuk. Postingan Ibuk itu diunggah karena adikku berulang tahun kedua. Gambar adikku pada postingan tersebut ditutupi di bagian muka dengan fitur stiker bergambar bintang.
Ketika kutanyakan pada Ibuk mengapa harus ditutupi stiker, Ibuk justru menjawab “kalau posting-posting di media sosial itu, belum tentu semua yang lihat itu punya niatan baik sama suka. Media sosial itu bahaya, yang berteman di sana belum tentu berteman juga di dunia nyata.”
Seketika aku kagum pada Ibuk yang menjaga putrinya dengan awas dan memikirkan dampak jangka panjang apa yang dilakukannya. Belum tentu semua paham dengan apa yang dilakukannya, terlebih Ibuk adalah generasi pendatang di media sosial. Satu lagi alasan kekagumanku pada Ibuk. Adikku itu dapat dikatakan batita yang cukup diidamkan. Rupanya seperti boneka kata tetanggaku. Kulitnya cenderung putih, rambutnya keriting, pipinya tembem, tingkahnya pun menggemaskan. Aku pun tidak tahan kalau tidak memamerkannya di media sosial.
Namun, keputusan Ibuk sudah sangat tepat, terlebih apa yang Ibuk katakan memang sepenuhnya benar. Sesuai keyakinanku pula bahwa seorang anak punya hak untuk memutuskan identitasnya akan ditampakkan atau tidak, sebab seluruh kepunyaannya adalah haknya.
Melihat maraknya fenomena orang tua berlomba-lomba memamerkan buah hatinya, memang hal ini kembali lagi ke apa yang diinginkan orang tua dari anaknya. Bisa saja mereka belum mengetahui dampak yang ditimbulkan ketika gambar anak-anak mereka terlalu banyak diekspos ke media sosial. Pun, masih banyak lagi “bisa saja” yang lainnya.
Namun, kita tidak sendiri hidup di dunia. Tidak setiap manusia menyukai satu hal yang sama, termasuk saya yang kurang menyukai berbagi konten anak. Memang sebaiknya para orang tua lebih memahami bahaya media sosial.
Pun, bukan hanya itu: kegemasan masing-masing anak masih dapat dinikmati tanpa digaungkan di media sosial.