Telisik

Melawan Dengan Informasi: Kisah Kecil dari Marunda – Remotivi

“Tahun 2018, saya melihat lingkungan sekitar sini mulai kotor dan ada banyak debu berwarna hitam. Tapi saya nggak tahu itu dari mana,” ujar Cecep Supriadi.   

Setelah setahun dipaksa pindah ke Marunda dari kampungnya di Ancol, Jakarta Utara, lelaki yang akrab dipanggil Cepi itu sadar bahwa ada yang tak beres dengan lingkungan tempat tinggal barunya. Salah seorang warga Kampung Marunda Pulo, Fikoh, juga mengakui memburuknya kondisi lingkungan tempat tinggalnya. 

“Perubahan di lingkungan tempat tinggal saya selalu ada sebenarnya, tetapi tidak separah 3 tahun terakhir. Sekarang tidak hanya udara yang tercemar debu, limbah pabrik kan juga bisa mengalir di air. Lihat saja warna kalinya itu. Saat saya kecil ini jernih,” keluh Fikoh sambil menunjuk hamparan empang yang membentang di depan rumahnya. 

Caption: Empang di depan rumah Fikoh (dok: penulis)

Ihwal debu hitam ini dengan cepat menjadi perbincangan di antara warga Marunda, baik yang tinggal di rusunawa maupun kampung. Sejak mendapati lingkungan tempat tinggal mereka lebih cepat kotor dan harus lebih sering disapu daripada biasanya, mereka mulai bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi? 

Upaya Pengumpulan dan Distribusi Informasi

Sebagai pemukiman yang diapit kegiatan industri, warga Marunda dengan mudah mengetahui berbagai aktivitas perusahaan terutama di pelabuhan. Jarak Kampung Marunda Pulo dengan pelabuhan sendiri sekitar 1 kilometer dan hanya terhalang kali. Dulu juga belum ada tembok di antaranya. Lalu-lalang dan bongkar-muat kapal, serta hampir semua kegiatan di pelabuhan itu pun terlihat jelas. Beberapa warga kampung juga bekerja sebagai buruh serabutan di pelabuhan, ada yang menjadi buruh pikul, buruh bongkar-muat muatan, supir truk, dan sebagainya. 

“Dulu saat tidak ada bongkar muat batubara yang dilakukan PT KCN (Karya Citra Nusantara) tidak begini. Sampai sekarang saya masih sering merekam debu batubara yang masuk sampai ke rumah. Jadi ini nyata, bukan fiksi,” jelas Fikoh. 

Nama PT KCN juga ditemui Cepi ketika membaca berita tentang aksi masyarakat Cilincing sekitar pertengahan tahun 2019. PT KCN adalah sebuah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang dermaga terminal pelabuhan umum. Sayangnya, hampir tidak ada perkembangan yang berarti pasca aksi masyarakat saat itu. 

Kehidupan berlanjut dan angin masih terus berhembus membawa debu batubara sampai rumah Cepi. Belakangan ia tahu dari warga yang telah menetap lebih awal darinya mengenai arah angin ini. Saat baratan, atau ketika angin berhembus dari pelabuhan PT KCN ke rusunawa Marunda, debu batubara yang masuk akan lebih terasa.

“Angin barat biasanya terjadi di musim hujan, yakni sekitar bulan Oktober sampai Februari. Tetapi, kadang-kadang mulainya bisa terlambat. Bisa Desember atau Januari. Kami sih menduga kalau cuaca ini semakin sulit ditebak sejak terjadinya perubahan iklim yang drastis,” kata Cepi. 

Tak kunjung membaik, masyarakat Marunda mulai mencari cara untuk bergerak mengatasinya. Mereka menuntut penanganan debu batubara ini kepada siapapun yang sudah seharusnya melakukannya. 

Fikoh dan ibu-ibu yang tergabung di dasawisma Marunda Pulo, salah satunya. Mereka mengumpulkan rekaman video dari debu-debu yang masuk ke rumahnya menggunakan kamera telepon genggam masing-masing. Mulai dari tumpukan debu yang terkumpul saat menyapu, lantai yang menghitam, hingga jendela-jendela yang kotor semuanya terekam. Semua itu didokumentasi dengan baik, lengkap dengan keterangan waktu dan lokasi pengambilan video, untuk diteruskan ke warga lain hingga pengurus kampung. 

“Saya pakai aplikasi untuk merekam itu, jadi jelas waktu dan lokasi rekamnya, biar nggak dikira palsu. Kami meneruskan keluhan dan tuntutan ke ketua RT/RW, lalu mereka meneruskan ke kelurahan, dan seterusnya,” tutur Fikoh.

Sayangnya, upaya advokasi awal ini tidak menghasilkan jalan keluar yang memuaskan. “Pertemuan solusi dari perusahaan ke masyarakat itu memang ada, tapi paling somasi biasa lah. Kami akhirnya dikasih alat pel, pembersih, sembako, gitu aja,” lanjut Fikoh. 

Pada saat yang bersamaan, warga rusunawa membentuk Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM) sebagai wadah komunikasi. FMRM dibentuk tidak hanya semata-mata sebagai satuan tugas masalah debu batubara saja, tetapi juga permasalahan sosial lainnya. 

“Saya diundang kawan-kawan membentuk FMRM. Saat itu dibentuk bukan karena masalah pencemaran. Justru, forum ini terus berusaha menyelesaikan masalah sosial warga rusun. Mulai dari kasus KDRT di mana kami sampai mengadvokasi rumah aman bagi korban ke lembaga semacam KPAI begitu, lalu permohonan armada bis sekolah bagi anak dengan disabilitas, sampai advokasi terkait  pencemaran ini,” kata Cepi.    

Sejak terbentuknya FMRM pada 20 Februari 2022, advokasi terhadap masalah debu batubara di kawasan Marunda perlahan menunjukkan kemajuan. Pada tanggal 14 Maret 2022, FMRM melakukan aksi pertamanya dengan long march dari balai kota ke Kementerian Perhubungan. Aksi itu dilakukan untuk menuntut Kementerian Perhubungan mencopot Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Mereka merasa KSOP tidak menjalankan tugasnya sebagai regulator di Marunda. 

Melihat tidak banyak perubahan, FMRM kembali menggelar aksi di Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat tanggal 28 Maret 2022. Tuntutan yang dibawa saat itu adalah evaluasi sanksi yang diturunkan kepada PT KCN karena tidak pernah terjadi perubahan berarti. Akhirnya, pada Juni 2022 lalu, pemerintah pun mencabut izin lingkungan PT KCN. 

Selain aksi massa, FMRM juga punya strategi mendekati media. 

“Kami kan selalu mengumpulkan bukti ketika debu batubara masuk ke lingkungan rusun, bahan itu yang kami sebarluaskan. Kami juga sempat mengadakan konferensi pers di kantor LBH Jakarta dan mengundang awak media. Makanya, sejak awal kami pakai video yang disertai dengan tanggal, bulan, dan tahun kejadian biar bisa digunakan bukti yang nyata,” jelas Cepi. 

Gayung bersambut, upaya kampanye dan penyebaran isu yang digaungkan FMRM ini mulai marak dibicarakan di media sosial dan publikasi media arus utama. Cepi mengaku bahwa naiknya isu ini ke ranah publik turut berdampak positif pada perkembangan advokasi.

“Waktu itu ada tim Narasi yang meliput ke sini sampai ikut mendatangi pihak-pihak berwajib seperti PT KCN, kantor dinas lingkungan hidup Provinsi DKI Jakarta, Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara, hingga KSOP Marunda untuk menindaklanjuti kasus ini.  Pemberitaan seperti itu membantu kami menindaklanjuti kasus ke pihak berwajib dan mendesak aksi yang konkret dari mereka,” kata Cepi.    

Media dan Gerakan Warga

Isu debu batubara di Marunda sendiri sebenarnya telah banyak mengundang daya tarik media. Awal ketertarikan sebagian besar media nasional mulai masif terjadi setelah aksi FMRM di balai kota. Riyan Setiawan, wartawan Tirto.id, adalah salah satu reporter yang meliput aksi itu karena kebetulan memang sedang ngepos di sana. Setelah kejadian itu, ia sempat beberapa kali mengawal kelanjutannya.

“Pertama bikin berita awalan biasa berbentuk hard news. Setelah itu follow-up. Dapat laporan dari KPAI, kemudian dari DPRD komisi E, lalu dapat juga dari Walhi. Kebanyakan saya tindak lanjut ke Dinas Lingkungan Hidup. Intinya berusaha kejar tindak lanjutnya lah. Di Tirto, kebetulan reporter diberi keleluasaan buat menulis selama masih sesuai dengan orientasi pemberitaan (perusahaan) media. Yang kedua, saya juga punya ikatan emosional karena tinggal di dekat Marunda jadi tergerak untuk mengawal isu ini” kata Riyan.

Selain model berita singkat dan padat seperti yang dibuat Riyan, beberapa media menerbitkan laporan panjang mengenai konflik Marunda dan PT KCN. Salah satunya dituliskan oleh Fadiyah Alaidrus, seorang jurnalis lepas yang saat itu menulis untuk Mongabay. 

“Gerakan warga Marunda ini menarik perhatianku karena saat itu, sesuai pengalamanku, isu lingkungan ini lebih sering disuarakan oleh kelas menengah. Jarang yang dari akar rumput. Terutama di daerah DKI Jakarta dan isunya soal polusi udara,” jelas Fadiyah. 

Fadiyah juga menyebutkan bahwa menurutnya, warga yang paham tentang keinginan dan suaranya sendiri akan mempermudah wartawan sepertinya meneruskan isu atau memperbesar eskalasi.

 “Seperti aksi warga Marunda yang datang ke balai kota, di mana banyak wartawan dari paling ngga 10 media nongkrong di sana. Akhirnya membuat diskusi tentang polusi di Marunda ini naik,” kata Fadiyah.

Meski punya latar belakang ketertarikannya masing-masing, Fadiyah dan Riyan menilai bahwa polusi udara termasuk isu yang sulit untuk dituliskan dengan cara yang mudah dicerna warga awam. Itu pula yang melatarbelakangi keduanya terus membekali diri dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan lewat banyak cara. 

Misalnya, ketika Fadiyah menuliskan isu ini, ia menangkap bahwa ia perlu memilih istilah yang tepat dengan mempertimbangkan kompleksitas permasalahan lingkungan. Menurutnya, pembaca perlu tahu soal ruang hidup seperti apa yang sedang mereka baca. 

“Di naskah beritaku, aku ngga menggunakan istilah air pollution tetapi coal pollution atau polusi batubara. Mengapa? Konteks di Marunda sebenarnya banyak ya, di sana banyak pabrik,  terus habis itu banyak kendaraan juga. Cukup banyak sumber polusinya. Tetapi, tidak semuanya kumasukkan ke naskah karena yang menjadi fokus beritanya adalah konflik warga dengan KCN. Kalau baca naskah beritaku memang banyak membahas konteks ketimbang cerita soal Marundanya sendiri,” jelas Fadiyah.

Langkah yang tempuh Fadiyah ini pernah ditulis di salah satu artikel Nieman Reports mengenai komunikasi persoalan lingkungan hidup. Gambaran bahwa masalah lingkungan tidak berdiri sendiri atau tercerabut dari masalah sosial lainnya penting dihadirkan dalam laporan berita demi mendekatkan pembaca pada konsekuensi dan dampak yang nyata dan terbayangkan. Hal ini krusial untuk memantik pengambilan keputusan bagi publik.  

Begitupun dengan Riyan. Ia mengaku telah mengikuti beberapa kali pelatihan dan upaya pembekalan lainnya pasca memberitakan kasus Marunda demi memperkaya pemahamannya tentang polusi udara. 

“Media memang punya tanggung jawab sebagai penyambung lidah dan mengedukasi masyarakat ya. Ia mengisi gap yang ada. Tetapi, terkadang banyak pekerja media seperti saya waktu itu belum begitu belajar tentang kasus polusi. Mungkin banyak juga media yang berhenti sampai di titik bahwa polusi ini punya efek kesehatan seperti ISPA, gatal-gatal, dan iritasi mata. Rata-rata yang kurang punya ilmunya pasti memberitakan kayak gitu. Kalau ikut pelatihan, punya bekal, dibantu oleh warga atau ahli pasti bisa diusahakan untuk ditulis lebih mendetail. Seperti saya yang setelah itu akhirnya bisa nulis lebih panjang. Makanya ini tugas bersama,” jelas Riyan.

Riyan dan Fadiyah sadar bahwa isu lingkungan hidup seperti polusi udara adalah permasalahan yang kompleks. Oleh karena itu wartawan harus meluangkan waktu untuk belajar dan memahaminya, yang mana ini sulit dilakukan terutama bagi wartawan harian. Dari sini, mereka menilai bahwa ruang redaksi hanya perlu melalui proses ini, bukannya tidak bisa berubah.

Celah-Celah Informasi Warga

Ekosistem informasi di masyarakat sejatinya selalu ada. Seperti bila melihat konteks di Marunda, mereka juga membangun dan mengembangkan ekosistem mereka sendiri meskipun secara sederhana. Entah itu dengan mendokumentasikan debu yang masuk ke rumah mereka, melaporkan ke pengurus kampung, membicarakannya di perkumpulan warga seperti dasawisma, hingga membuat wadah komunikasi yang lebih terstruktur seperti FMRM. 

Namun demikian, warga pun menyadari keterbatasan pengetahuan mengenai permasalahan polusi, yang belum terisi, baik oleh warga maupun media.

“Kami memang butuh edukasi karena sejauh ini belum pernah ada. Sejauh ini yang kami lakukan ya seperti menutup bagian rusun yang menghadap pelabuhan menggunakan jaring. Tapi, ternyata debu yang lebih halus tetap bisa lewat, karena lubang jaringnya ternyata masih cukup besar. Selebihnya, sebaik-baiknya yang bisa dilakukan ya berdiam diri di dalam rumah dan menutup pintu-jendela. Saat parah-parahnya kemarin, ngga ada anak-anak yang bisa main di luar seperti di depan itu,” kata Cepi. 

Pengetahuan mengenai sains terapan yang dapat membantu menghadapi polusi batubara, meski sangat dibutuhkan, masih jauh dari gapaian warga. Keterbatasan ini pun membatasi apa yang bisa warga lakukan dalam memitigasi dampak polusi dalam kehidupan sehari-hari. 

“Karena sudah terbiasa, ya. jadi lebih sering nyapu dan ngepel saja sehari-hari. Kalau beli bahan masakan, biasanya dicuci dulu sampai bersih. Habis masak selalu langsung ditutup. Gitu aja, ngga ada yang ekstra karena bisanya itu,” Tutur Fikoh

Dalam konteks Marunda, basis massa yang sudah dimiliki dan terbentuk ini bisa dimanfaatkan. Justru, hal itu bisa menjadi kekuatan besar yang sudah seharusnya diteruskan. Dengan kata lain, media sekali lagi diingatkan untuk menjembatani kebutuhan informasi warga dengan sains dan para ahli terkait pencemaran atau bahkan isu lingkungan secara umum. Menyadari dan melanjutkan basis masyarakat seperti ini akan melancarkan upaya advokasi polusi udara (tidak menutup kemungkinan meluas ke krisis iklim), serta mendekatkan isu dengan respons yang nyata dan berkelanjutan.

Klik di sini untuk melihat video aktivitas bongkar muat batu bara di seberang pemukiman warga Marunda Pulo (Dok: FMRM)

Klik di sini untuk melihat video warga yang mendokumentasikan debu batubara yang mengotori rumah (dok: FMRM)

Pengepul kebahagiaan dari temuan abad modern, berupa listrik, internet dan komputer. Hidup harmonis bersama barisan code dan segelas kopi kenangan.

Sign up for a newsletter today!

Want the best of KWFeeds Posts in your inbox?

You can unsubscribe at any time

What's your reaction?

Leave Comment

Related Posts

Load More Posts Loading...No More Posts.