Telisik

Mengawal Kebenaran Tragedi Kanjuruhan lewat Media Sosial – Remotivi

Ketika laga antara Arema dan Persebaya Surabaya usai dan pitch invasion satu-persatu memasuki lapangan, Indosiar selaku official broadcaster Liga 1 berganti tayangan menjadi Mega Sinema Asia, Kungfu Jungle. Setelah sekilas kerusuhan terjadi di dalam stadion, stasiun televisi langsung menampilkan pertunjukan berikutnya.

Penonton pun jelas jadi berasumsi liar. Apa sebab penonton Arema masuk ke lapangan? Saling ejek antara suporter awalnya terjadi di media sosial. Sebelumnya, usai laga Persebaya Surabaya kontra RANS Nusantara berakhir dengan kekalahan Persebaya, penonton juga tumpah masuk ke dalam Stadion Gelora Delta Sidoarjo. Muncul ejekan bahwa kelompok suporter kedua tim sama saja. Namun, setelah waktu berlalu dan media sosial keruh, yang terjadi adalah tragedi.

Sebelum hard news di berbagai portal berita menderu, satu-persatu cuitan Twitter atas nama akun pribadi menyampaikan kabar pilu. Jurnalis Jawa Pos, Bagus Putra Pamungkas mengabarkan kondisi terkini di Kanjuruhan lewat akun @pamungkas_gus. Ia bilang, ada ibu paruh baya yang berlari mencari anaknya yang masih balita dan gas air mata diletupkan ke arah tribun. Pengalaman Bagus Putra Pamungkas sendiri secara lengkap baru terbit dua hari setelah kejadian (3/10) di Jawa Pos.

Media sosial memungkinkan penyebaran informasi yang kuat dan cepat. Tak hanya Bagus, beberapa cuitan lain juga mengabarkan kondisi terkini lapangan. Pada dini hari menjelang 2 Oktober, dua orang dikabarkan meninggal dunia. Para penonton bola yang awalnya ribut-ribut saling ejek jadi paham bahwa kondisi di Kanjuruhan sedang gawat.

Setelahnya, beredar video polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun, padahal tribun diduduki anak-anak di bawah umur, orang tua, juga perempuan. Tak ada yang berani menyampaikan asumsi apa yang menyebabkan polisi menembakkan gas air mata ke tribun, tapi pengguna Twitter langsung memberikan sudut pandang bahwa penggunaan gas air mata menyalahi aturan FIFA.

Opini publik di Twitter pun terbentuk. Penggunaan gas air mata tidak sesuai prosedur pengendalian massa, dan amat rawan memicu penonton berdesakkan keluar tribun melalui pintu yang sempit.  

Dan benar saja, pada pukul dua pagi pada tanggal 2 Oktober, mulai banyak beredar foto dan video para penonton yang berdesakkan di tribun, terhimpit di sebuah pintu keluar yang masih terkunci. Beberapa orang pingsan, tergeletak begitu saja. Beberapa menit, foto dan video yang beredar lebih pilu lagi. Lebih perih lagi. 

Selain itu, banyak beredar keterangan dari penonton yang berada di lokasi kejadian. Penembakan gas air mata dikonfirmasi kebenarannya, juga tindakan represif aparat. Amuk khalayak di jagad linimasa tak teredam lagi.

Hitam-Putih Media Sosial

Bagi saya, media sosial seperti Twitter lebih bermanfaat dalam menyebarkan informasi paling aktual untuk orang-orang di luar sana. Dekatnya ponsel dengan aktivitas manusia mempermudah untuk merekam segala kejadian. Akun @adilah_iqbal, misalnya, membagikan video kawannya yang memperingatkan pihak polisi agar jangan menembak gas air mata karena banyak anak kecil. Yang didapat olehnya justru bentakan, pukulan, dan usiran pihak aparat.

Dalam lanskap media lama, beberapa pihak memiliki akses yang lebih besar untuk menggandakan informasi. Bercermin dari Tragedi Hillsborough di Inggris pada tahun 1989, hal ini bisa berbahaya. Saat itu, kelompok suporter Liverpool berdesakan saat ingin menonton timnya berlaga kontra Nottingham Forest di perempat final Piala FA. Kerumunan yang berlebihan berujung pada kematian 97 orang.

Empat hari setelah kejadian, The Sun membuat laporan yang menyudutkan kelompok suporter Liverpool. THE TRUTH menjadi judul yang tercetak sebagai halaman utama. The Sun mencantumkan tiga sub headline, yakni, (1) some fans picked pockets of victims. (2) Some fans urinated on the brave cops. Dan (3) Home fans beat up PC giving kiss of life. The Sun pun banyak mewawancarai narasumber tanpa nama dan juga dari pihak kepolisian. Jelas saja, hal ini nampak tidak memperlihatkan simpati kepada 97 korban Tragedi Hillsborough.

Tentu saja tahun 1989 informasi masih sulit untuk diakses dan menyebar. Dalam tragedi Kanjuruhan, Twitter banyak membantu dalam hal meluruskan informasi. Jika versi kepolisian menyebar lewat media konvensional, namun keterangan korban dan video yang tersebar tidak bisa menutupi sebuah fakta. Pun, lewat media sosial, pendapat para penonton yang saat itu hadir di lapangan jadi terdengar. 

Media sosial pun memungkinkan meluruskan berita-berita yang sudah terbit di media konvensional. Beberapa media di luar negeri sempat mengabarkan korban jiwa disebabkan oleh bentrok dua massa suporter Arema dan Persebaya Surabaya. Banyak akun Twitter dan juga fanbase sepakbola mencoba me-reply dan meluruskan, salah satunya @The_RedsIndo (TRI) yang membalas dan meluruskan postingan ESPN dan BR. BR menurunkan beritanya sebagai dampak dari koreksi ini.

Media sosial juga dengan cepat menyebarkan surat keputusan pihak-pihak yang menetapkan laga berlangsung malam hari, bahkan sebelum banyak kanal media menaikkannya. Surat Kapolres Malang bernomor B/2151/IX/PAM.3.3/2022 beredar. Isinya tentang himbauan kepada PT. Liga Indonesia Baru (LIB) agar jadwal dimundurkan. Balasan dari PT. LIB dengan nomor surat 297/LIB-KOM/IX/2022 pun tersebar. Poin nomor tiga surat terakhir menetapkan bahwa berdasarkan“[h]asil koordinasi antara PSSI, PT. Liga Indonesia Baru, dan Host Broadcast” pertandingan dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan.

Opini publik pun terbentuk dari fakta-fakta yang mencuat di media sosial ini. Selain PSSI selaku pihak federasi sepakbola, kepolisian yang menyalahi prosedur, dan juga PT. LIB selaku operator penyelenggara Liga 1 dan official broadcaster tak bisa menghindar dari tudingan publik. Derasnya kritik di media sosial membuat kolom komentar akun Instagram pihak-pihak ini ditutup.

Sayangnya, potensi media sosial ini diikuti juga dengan permasalahannya. Foto dan video korban jiwa bertebaran baik itu di Twitter, Facebook, sampai TikTok. Sampai detik ini, konten-konten korban yang rentan menimbulkan trauma itu belum di-take down. Di media konvensional, hal ini dapat dikendalikan lewat sanksi dan kode etik wartawan. Namun, bagaimana dengan mereka yang menyebarkan konten korban di media sosial dan tidak terafiliasi dengan media mana pun? 

Dalam hal ini, keberadaan media yang melakukan investigasi dengan mengumpulkan foto, video, atau informasi dari publik seperti Narasi patut diapresiasi. Mereka dapat membantu menjernihkan situasi lewat fakta-fakta publik dengan tetap mengontrol konten-konten traumatis serta lebih terlindungi dari jeratan hukum pasal-pasal karet seperti UU ITE.

Tragedi Kanjuruhan adalah tragedi sepakbola nomer dua yang paling banyak memakan korban. Para pemilik klub dan orang-orang di jabatan tertinggi seakan lupa bahwa ada nyawa yang harus dilindungi dalam setiap pertandingan. Ada seorang bapak yang rela merebut bola dari lawan demi keluarga, pedagang asongan yang beradu peluh berdesakkan, juga para suporter yang berdiri di tribun lapangan. Sepakbola hanya sembilan puluh menit, setelahnya adalah gandeng tangan semua suporter sepak bola Indonesia.

Kenyataan tragedi Kanjuruhan menuntut kebenaran. Ini bukan lagi buzzer melawan suporter layar kaca, pun bukan Arema vis-à-vis Persebaya, bukan juga Bonek kontra Aremania, tapi kita semua kontra pihak-pihak yang sibuk cuci tangan mengaburkan kebenaran.

Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipiscing elit. Vestibulum ac vehicula leo. Donec urna lacus gravida ac vulputate sagittis tristique vitae lectus. Nullam rhoncus tortor at dignissim vehicula.

Sign up for a newsletter today!

Want the best of KWFeeds Posts in your inbox?

You can unsubscribe at any time

What's your reaction?

Leave Comment

Related Posts

Load More Posts Loading...No More Posts.