Telisik

Peran Media dalam Politik Omong Kosong: Studi Atas Headline Lima Surat Kabar – Remotivi

Pemilu 2019 adalah pertarungan politik yang miskin gagasan. Kedua pasang capres-cawapres sama-sama mandul memproduksi diskursus yang mendorong publik membicarakan hal-hal yang substantif.

Tanpa adanya tawaran program, perbincangan publik melulu diisi oleh sentimen dan kesan, kebencian dan prasangka. Ruang publik kita akhirnya dikotori oleh perbincangan yang tak punya hubungan dengan persoalan mendasar. Hal itu merentang dari sentimen anti-asing, tingkat kesalehan, citra tegas atau merakyat, keharmonisan rumah tangga, agenda sholat Jumat, atau siapa yang lebih membenci LGBT. Tak ada yang bicara soal privatisasi air, komersialisasi pendidikan, kesejahteraan buruh, konglomerasi media, perampasan tanah petani, kerusakan lingkungan, hak sipil, hak disabilitas, atau perempuan yang diperkosa pada Mei 1998.

Kalau antarpendukung saling serang dengan brutal dan menghalalkan segala cara, itu harus dilihat sebagai hasil dari rekayasa sosial yang dilakukan oleh elit politik. The Guardian melaporkan bagaimana kedua kubu sama-sama menggunakan jasa produsen hoaks dan disinformasi untuk saling menjatuhkan di media sosial. Hal ini juga terkonfirmasi dari pengakuan tim kampanye Jokowi yang mengatakan bahwa mereka sengaja melakukan “kampanye sampah”[1] untuk menandingi kampanye sampah yang dibuat kubu Prabowo: “when they go low, we go lower.”

Selain itu, debat publik yang penyelenggaraanya dibiayai oleh uang orang banyak juga tak mampu memaksa Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga untuk menawarkan program yang menjawab masalah atau menunjukkan pijakan moral dan ideologi mereka. Di tengah kontes politik omong kosong seperti ini, landasan apa yang memungkinkan orang menjatuhkan pilihan politiknya secara rasional?

Dalam situasi demikian, media sebenarnya bisa berperan untuk memaksa kandidat politik berbicara hal penting. Salah satu caranya adalah dengan menonjolkan beberapa isu krusial melalui pemberitaan yang mendalam dan terfokus. Banyak riset telah menunjukkan bagaimana pengaruh media dan ideologi dominan sangat mempengaruhi elit dalam mengambil keputusan (Davis, 2003: 672-673). Pun Teori Agenda Setting yang mengasumsikan bahwa konsentrasi media pada beberapa isu berpotensi menggiring publik untuk menganggap isu tersebut lebih penting dari isu lainnya (McCombs dan Shaw, 1972; McCombs, 1997).

Berangkat dari latar belakang tersebut, kami tertarik untuk memeriksa seberapa jauh media mengusahakan penonjolan isu-isu krusial melalui pemberitaannya, dengan harapan akan mempengaruhi diskursus politik yang miskin gagasan ini. Kami ingin tahu topik-topik apa yang disodorkan media kurang lebih dua bulan sebelum hari pemungutan suara pada 17 April 2019.

Untuk itu, kami melakukan pemantauan headline di lima surat kabar pada 26 Februari 2019 hingga 26 Maret 2019[2]. Kelima media tersebut adalah Republika, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Jawa Pos. Terdapat total 222 buah berita dan 22 buah foto yang dianalisis dalam tulisan ini.

Tulisan ini akan dibagi dalam tiga bagian besar: Penjelasan Metode Riset, Temuan, dan Refleksi. Pembaca yang ingin mengetahui langsung hasil temuan kami silakan melompati bagian Penjelasan Metode Riset.

Penjelasan Metode Riset

Headline di surat kabar adalah berita(-berita) utama yang ditonjolkan melalui ukuran huruf yang besar dan penempatannya yang mencolok di halaman muka. Isu atau peristiwa yang dijadikan headline adalah isu atau peristiwa yang dianggap paling penting bagi media pada hari itu. Posisi politik sebuah media terhadap suatu isu biasanya diekspresikan melalui headline. Intinya, headline adalah salah satu cara media dalam mengagendakan perbincangan publik.

Karena itu, analisis atas berita-berita yang dijadikan headline tidak saja upaya untuk menggambarkan apa yang media anggap penting, tapi juga apa yang media pikir penting untuk publik bincangkan. Hal itulah yang ingin kami lihat dalam riset ini.

Dalam riset ini kami mendefinisikan berita yang menjadi headline adalah berita yang dimuat pada setengah halaman koran bagian atas. Definisi ini berangkat dari asumsi bahwa koran biasanya dijajakan atau ditampilkan dengan dilipat dua sehingga hanya berita yang dimuat di bagian ataslah yang terlihat. Dari definisi ini kami membagi headline menjadi tiga: headline utama, headline kedua, dan headline foto. Kategori ini dibuat berdasarkan pola umum tata letak kelima koran yang kami teliti.

“Headline utama” adalah berita dengan ukuran huruf judul paling besar, ditebalkan, dan mungkin memuat foto. “Headline kedua” adalah berita dengan ukuran huruf judul lebih kecil dari headline utama dan mungkin memuat foto. Sedangkan “headline foto” adalah foto yang dipajang di halaman atas, disertai atau tanpa keterangan, disertai atau tanpa disertai arahan membaca artikel terkait yang di halaman lain. Headline foto kami putuskan untuk disertakan sebagai headline dengan mempertimbangkan kemampuan yang sama dari sebuah foto untuk memproduksi pesan, kesan, dan makna. Tidak tiap edisi koran per harinya memuat ketiga kategori headline ini secara sekaligus.

Dengan kategori yang dibuat ini, terjaring sebanyak 244 buah headline yang terdiri dari 139 buah headline utama, 83 buah headline kedua, dan 22 buah headline foto. Kesemua headline ini kami kategorikan ke dalam 13 topik dan 57 sub-topik dengan menggunakan metode induktif.

Temuan: Minim Orientasi Politik Warga dan Minim Inisiatif Media

Gambaran Umum

 

Pemilu (20,5%) dan Lingkungan (17,6%) adalah dua topik yang paling banyak menjadi headline kelima koran dalam periode penelitian ini. Di dalam topik Pemilu, tiga besar sub-topiknya adalah Debat Capres-Cawapres (24%), Kampanye (22%), dan Survei (14%). Sementara dua besar sub-topik Lingkungan adalah Bencana (86,05%) dan Sampah (11,63%).

Apa yang bisa kita pahami dari data-data tersebut? Bagi kami, setidaknya ada dua kecenderungan corak pemberitaan yang terlihat. Pertama, adalah corak pemberitaan yang mayoritas berorientasi ke politik elit, dan kedua, minimnya corak pemberitaan yang agenda pembicaraannya diinisiasi media.

Politik elit adalah proses perebutan sumber kekuasaan yang dipusatkan dalam lingkup terbatas, elitis, dan formal (misalnya partai politik). Pemberitaan yang berorientasi ke politik elit adalah pemberitaan yang berfokus merekam aspirasi, memfasilitasi komunikasi, dan memproduksi pengetahuan yang melayani kebutuhan para aktor yang berada dalam lingkup politik formal, dalam hal ini adalah dua kubu politik dalam Pemilu 2019.

Corak pemberitaan semacam itu mereduksi politik dalam wilayah yang sempit. Media gagal mengenali politik warga, yakni bentuk politik yang menempatkan warga sebagai subjek sekaligus tujuan utama dalam proses demokrasi. Dari data yang kami peroleh, pemberitaan yang berorientasi ke politik warga ini nyaris tidak ada.

Pemberitaan Pemilu yang didominasi oleh sub-topik Debat Capres-Cawapres, Kampanye, dan Survei memperlihatkan mapannya cara berpikir yang mendefinisikan politik melulu dalam koridor elitis dan formalis. Media yang sejatinya bisa merekam pertarungan politik yang kaya dimensi dan aktor, malah hanya menampilkan pertarungan yang satu dimensi dengan dua aktor utama: Jokowi lawan Prabowo.

Padahal, kalau politik dipahami sebagai arena tempat diprosesnya negosiasi, kompromi, dan konsensus antar beragam kepentingan, maka Pemilu adalah kontes politik yang mempertarungkan beragam aktor. Ada masyarakat adat, kelompok lansia, orang Papua, buruh, agama minoritas, dan kelompok lainnya yang juga perlu dicatat sebagai peserta yang ikut berdinamika dan memiliki aspirasi dalam kontes politik lima tahunan ini. Ada mereka—selain Jokowi-Ma’ruf, Prabowo-Sandiaga, dan rangkaian parpol di belakangnya—yang juga gagasannya perlu diartikulasikan, diuji, dan dievaluasi, sebagaimana media-media mengevaluasi mandulnya gagasan capres-cawapres dalam debat.

Sementara itu, pemberitaan mengenai Hak Sipil (dalam topik Politik) hanya berjumlah 1,23%. Ini adalah berita yang mengangkat kasus kriminalisasi terhadap warga sipil, Robertus Robet, yang menyampaikan pendapatnya dalam sebuah demonstrasi. Peristiwa ini hanya diangkat menjadi headline oleh Koran Tempo (2 berita) dan Kompas (1 berita). Namun ada yang menarik dari pemberitaan Kompas.

Alih-alih melihat insiden ini sebagai ancaman atas kemerdekaan hak sipil, pemberitaan Kompas pada 8 Maret 2019 malah membingkai kasus Robet sebagai, “polemik yang berpotensi mengganggu ketenangan pemilu”. Kompas juga menyerukan agar, “semua elemen bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat, perlu menahan diri dan menjaga suasana tetap kondusif menjelang pemilu”. Tidak jelas siapa yang dimaksud Kompas telah mengganggu ketenangan Pemilu, atau siapa yang perlu menahan diri: Robertus Robet atau pihak-pihak yang membuatnya ditangkap?

Corak pemberitaan yang kedua adalah minimnya topik pemberitaan yang secara mandiri ditonjolkan media di tengah pembicaraan arus utama yang dominan. Corak pemberitaan yang kebanyakan diangkat adalah pemberitaan yang mengikuti agenda yang sudah ada. Pemberitaan akhirnya menjadi semacam notulensi dari agenda politik elit atau peristiwa alam/sosial yang tak terhindarkan.

Topik Lingkungan yang menjadi topik kedua terbesar yang menjadi headline bukanlah topik Lingkungan dalam kerangka “agenda inisiatif media”, melainkan didominasi berita mengenai bencana—yang menjadi tidak ada berita ketika tidak terjadi bencana. Intinya, mayoritas topik Lingkungan yang diberitakan bukanlah yang, katakanlah, menyoal dampak eksploitasi sumber daya alam, darurat sampah plastik, atau tuntutan kebijakan yang merespon perubahan iklim, yang dibahas dalam kerangka thematic framing.

Meski begitu, Republika dengan headline-nya mengenai sampah plastik (2-3 Maret) dan Koran Tempo mengenai isu perumahan (25 Februari hingga 1 Maret) adalah contoh tentang bagaimana media berupaya menginisiasi agenda perbincangan yang penting. Soal ini akan dibahas lebih dalam pada bagian yang lain.

Namun secara umum, panorama pemberitaan semacam ini menjelang Pemilu 2019 mengingatkan kami atas kerja media daring pada Pilkada DKI Jakarta 2017 yang juga absen menginisiasi isu-isu yang “menstimulasi debat publik dan mendorong tiap kandidat mempersiapkan studi-studi terkait”. Lebih lanjut, “akhirnya pemberitaan media hanya berakhir sebagai dokumentasi dari gerak-gerik dan baku-cakap para kandidat politik […] Kerja jurnalistik macam demikian membuat kepentingan warga mengalami defisit ruang artikulasi politik”.

 

Berdasarkan media

 

Ada beberapa isu dan peristiwa yang secara umum menjadi headline di kelima koran yang diteliti. Topik-topik tersebut adalah peresmian MRT di Jakarta, terorisme (Christchurch, Sibolga, dan Utrecht), kecelakaan KRL, banjir dan longsor (NTT, Papua, dan Jawa Timur), korupsi Ketua Umum PPP Romahurmuzy, dan keselamatan penerbangan (sebagai imbas dari kecelakaan pesawat Boeing di Etiopia).

Meski begitu, masing-masing media mempunyai karakternya masing-masing. Di bagian ini kami akan secara selektif mencatat beberapa temuan yang mencolok. Media Indonesia adalah koran yang mesti disebut pertama. Pasalnya, media milik Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem, partai pendukung Jokowi-Ma’ruf ini, konsisten menempatkan dirinya sebagai humas Jokowi-Ma’ruf yang setia.

Lebih dari separuh isi headline Media Indonesia selama periode penelitian ini melulu berbicara tentang program pemerintah, survei yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf, kecemerlangan Ma’ruf dalam debat, atau kegiatan Jokowi. Ada berita yang menggambarkan seorang ibu yang bersimpuh di kaki Jokowi saat ia sedang meresmikan Tol Trans-Sumatera (9 Maret), berita tentang “Ulama Minta Jokowi Tidak Diam Hadapi Hoaks” (6 Maret), atau seruan Jokowi yang minta pendukungnya tingkatkan militansi (10 Maret). Dari total 48 berita, tercatat ada 18 berita positif bagi Jokowi dan 1 berita negatif bagi Prabowo.

Ada satu berita yang menarik dan hanya menjadi headline di Media Indonesia, yakni berita berjudul “Khilafah Timbulkan Kekacauan” (1 Maret). Berita ini menjadi menarik mengingat posisi politik Jokowi yang secara tersurat memasang posisi berseberangan dengan gagasan khilafah, yang terwujud dari pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, juga kampanye politiknya yang secara tersirat menjadikan ide khilafah sebagai seteru dari kampanyenya yang mengkomodifikasi “Pancasila”.

Media di bawah perusahaan Media Group seperti Metro TV dan Media Indonesia memang dikenal partisan, setidaknya itu terlihat jelas sejak Pemilu 2014. Kedua media ini melulu menjadi alat propaganda bagi karir politik pemiliknya, Surya Paloh. Sulit menyebut mereka sebagai bagian dari komunitas pers yang independen.

Koran Tempo adalah media yang penting disebut di sini mengingat pemberitaannya yang relatif lebih mandiri dan menghadirkan perbincangan publik alternatif. Misalnya ketika koran ini selama lima hari berturut-turut (25 Februari hingga 1 Maret) menjadikan isu perumahan sebagai headline. Begitupun pemberitaannya yang terfokus pada kasus Robertus Robet (selama dua hari) dan isu amburadulnya pengelolaan sawit di Indonesia (selama tiga hari). Corak headline semacam ini membuat karakter progresif Koran Tempo menonjol di antara media lainnya.

Sementara itu, Republika tetap tampil dengan identitas islaminya, di mana headline-nya diisi oleh topik seperti Sertifikasi Halal, Literasi Islam, atau Muslim Uighur. Menariknya, Republika yang biasanya cenderung politis, kali ini malah sedikit menjadikan isu Pemilu (7%) sebagai headline, dan memusatkan headline-nya pada topik Olahraga (21,1%) dan Lingkungan (21,1%). Ini temuan yang menarik mengingat posisi Erick Thohir, bos Republika, yang kini menjadi Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf.

Sementara itu, Jawa Pos dan Kompas didominasi oleh berita-berita umum yang dalam spektrum politik cenderung sentrisme. Headline keduanya sama-sama didominasi oleh topik Pemilu dan Lingkungan. Penting dicatat bahwa Kompas adalah koran yang paling banyak menjadikan hasil survei Pemilu sebagai headline.

Refleksi

Media hidup di tengah isu dan peristiwa yang beragam. Setiap harinya, media melakukan seleksi atas isu dan peristiwa yang beragam tersebut untuk diangkat menjadi berita. Dari yang terpilih menjadi berita tersebut, media kemudian menyeleksi lagi isu-isu tertentu untuk dipilih menjadi headline. Berita headline adalah berita yang dianggap penting oleh media.

Seperti yang sudah kami sampaikan di atas, riset kami berangkat dari asumsi Teori Agenda Setting yang menganggap bahwa berita yang dijadikan headline bukan saja menggambarkan apa yang media anggap penting, tapi juga apa yang media pikir penting untuk publik bincangkan. Seperti ditulis McCombs dan Shaw (dalam Patel dan Rushefsky, 2016) bahwa, “media mungkin tidak hanya memberitahu kita untuk memikirkan sesuatu, mereka mungkin juga memberitahu kita bagaimana dan apa yang harus dipikirkan mengenai hal tersebut, dan bahkan mungkin apa yang harus kita perbuat atasnya”.

Karena itu, dari data yang terkumpul, isu apa saja yang dianggap penting oleh media? Isu apa yang diinginkan media untuk kita dibicarakan? Lalu, apa yang kemudian bisa kita refleksikan?

Dari temuan yang sudah dipaparkan di bagian sebelumnya, Pemilu adalah topik yang paling banyak menjadi headline berita. Pembicaraan seputar Debat Capres-Cawapres, Kampanye, dan Survei adalah topik pemberitaan yang dominan. Kami sudah berargumen sebelumnya bahwa pemberitaan-pemberitaan macam demikian lebih berorientasi kepada politik elit ketimbang politik warga. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa politik elit atau politik formal adalah hal yang secara umum paling dianggap penting bagi surat kabar untuk publik bicarakan.

Terfokusnya pemberitaan yang berorientasi kepada politik formal bisa dibaca sebagai perayaan status quo oleh media atas struktur ekonomi-politik yang kini ada. Lancarnya agenda politik formal dalam pemberitaan media mengindikasikan bahwa media mengadopsi gagasan dominan. Praktik Pemilu yang kini berlaku dibingkai sebagai sesuatu yang terberi, bukan sesuatu yang hanya menjadi salah satu opsi mempraktikkan politik atau demokrasi.

Dampak dari praktik media semacam itu adalah tak tergarapnya agenda warga yang krusial, agenda substantif yang perlu dibicarakan untuk mewujudkan proses demokrasi yang deliberatif. Perbincangan agenda warga yang krusial adalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang seringkali dikuasai oleh elit politik-ekonomi yang posisinya berada di puncak rantai makanan. Karena itu, isu seperti reformasi agraria yang pro-rakyat, de-komersialisasi layanan kesehatan, atau pemecahan konsentrasi ekonomi di segelintir orang, bukanlah agenda yang menguntungkan bagi politik elit, karena berkonsekuensi pada terdistribusikannya sumber-sumber kekuasaan.

Di tengah minimnya diskursus alternatif di media, soal ini malah dimunculkan oleh, misalnya, lembaga seperti KontraS yang menyoal jaringan jenderal militer pelanggar HAM di lingkaran kedua capres-cawapres, atau Watchdoc (lewat dokumenter Sexy Killers) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang sama-sama menyoal jaringan oligarki tambang.

Refleksi lain yang ingin kami bahas adalah mengenai adanya agenda alternatif yang diinisiasi media, setidaknya yang terlihat dari Koran Tempo mengenai isu perumahan. Pertanyaannya, mengapa ini tidak menjadi perbincangan publik? Ada beberapa asumsi yang bisa menjawabnya secara sementara.

Pertama, bahwa isu yang dibawa Koran Tempo tidak diikuti oleh pemberitaan pada media lain, sehingga gagal menjadi diskursus dominan—ini juga diikuti oleh asumsi bahwa Koran Tempo bukanlah koran yang cukup menjangkau banyak pembaca. Asumsi kedua adalah bahwa hari ini media cetak tidaklah menjadi penentu utama agenda pembicaraan publik, seperti yang dulu berlaku di era pra-digital. Di era digital, otoritas media cetak mendapat tantangan dari “ruang publik baru” yang muncul di ranah daring.

Namun, asumsi kedua menjadi mudah dipatahkan dengan melihat ramainya diskusi mengenai golput yang merespon tulisan Franz Magnis-Suseno, “Golput”, di Kompas (12 Maret). Tulisan Suseno adalah tulisan yang diterbitkan di media cetak—walau versi daringnya menyebar dalam bentuk foto. Lantas, mengapa tulisan media cetak ini berhasil menjadi perbincangan publik yang meluas?

Kami menduga karena topik tersebut ditempatkan dalam tegangan rivalitas politik. Polarisasi politik yang begitu tajam sejak Pemilu 2014 memberi koridor baru tentang apa yang “layak” dibincangkan: yang berdimensi antagonistik. Suasana inilah yang barangkali memungkinkan topik-topik perbincangan yang ditaruh dalam konteks perkubuan berpotensi menjadi hal yang membuat publik berselera membincangkannya.

Artinya, dalam iklim baru ini, di mana surat kabar cetak tidak lagi sekuat dulu dalam merumuskan perbincangan publik, perlu ada strategi baru: menempatkan isu dalam rivalitas. Walau begitu, keengganan media menaruh segala macam isu dalam rivalitas politik juga bisa dipahami. Sebab, dalam iklim polarisasi yang memiskinkan perbincangan substansial ini, menaruh isu penting dalam arena politik yang omong kosong seperti Pemilu kali ini, berisiko direduksi. []

*Data pada tulisan ini pengerjaannya turut dibantu oleh Kartika Dwi dan Bhenageerushtia

Davis, Aeron. (2003). “Whither Mass Media and Power? Evidence for a Critical Elite Theory Alternative”. Media, Culture & Society Vol. 25: 669–690. SAGE Publications: London, Thousand Oaks and New Delhi.

McCombs, M. E., & Shaw, D. L. (1972). “The agenda-setting function of mass media”. Public opinion quarterly, 36(2), 176-187.

McCombs, M. (1997). Building consensus: The news media’s agenda-setting roles. Political Communication, 14(4), 433-443.

Patel, K., & Rushefsky, M. E. (2016). Politics, Power and Policy Making: Case of Health Care Reform in the 1990s: Case of Health Care Reform in the 1990s. Routledge.

Pengepul kebahagiaan dari temuan abad modern, berupa listrik, internet dan komputer. Hidup harmonis bersama barisan code dan segelas kopi kenangan.

Sign up for a newsletter today!

Want the best of KWFeeds Posts in your inbox?

You can unsubscribe at any time

What's your reaction?

Leave Comment

Related Posts

Celebrity Philantrophy Amazing Stories About Stories