Lagi-lagi Kominfo, Kominfo lagi-lagi. Pada akhir bulan Juli lalu, jagat maya diramaikan oleh tagar #BlokirKominfo. Tak hanya aktivis, akademisi, dan jurnalis, tagar ini turut diramaikan oleh berbagai elemen masyarakat sipil lainnya seperti influencer, freelancer, gamers, dan netizen. Tagar ini merupakan ekspresi kekecewaan dan kemarahan publik atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat yang membawa berbagai konsekuensi dalam aktivitas digital.
Salah satu konsekuensi berlakunya Permenkominfo tersebut adalah pemblokiran berbagai situs dan platform digital atau PSE yang tidak melakukan registrasi sampai batas waktu yang ditentukan. Pemblokiran ini menimbulkan berbagai keluhan dan protes, misalnya dari para gamers yang tak lagi bisa bermain dan mencari rezeki dari game kesukaannya, hingga para freelancer yang uangnya tertahan di platform yang terblokir. Kominfo kemudian menanggapi protes ini dengan mengatakan bahwa situs atau platform yang diblokir dapat mengajukan normalisasi untuk membuka pemblokiran dengan cara melengkapi proses registrasi.
Namun, apakah pembatalan blokir serta registrasi berbagai situs dan platform akan menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh regulasi tersebut? Sayangnya tidak. Potensi masalah yang ditimbulkan dari penerapan Permenkominfo 5/2020 melampaui urusan memblokir dan membuka blokir platform. Masalahnya justru muncul setelah PSE terdaftar. Pendaftaran PSE Lingkup Privat merupakan pintu yang akan mengantarkan kita pada ancaman-ancaman seperti pelanggaran privasi, represi atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, hingga pengawasan yang berlebihan. Dengan kata lain, ancaman otoritarianisme digital akan menghantui kita apabila Permen ini dengan segenap pasalnya yang problematik tetap berlaku.
Aturan-aturan Problematik Permenkominfo 5/2020
A. Moderasi Konten
Terkait moderasi konten, Permenkominfo 5/2020 mengandung berbagai aturan yang bermasalah karena berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang digital yang merupakan bagian dari hak asasi digital. Aturan-aturan bermasalah tersebut antara lain terkait dengan: 1) Definisi karet tentang konten yang dilarang; 2) Tenggat waktu yang sangat singkat untuk memutus akses (take down) konten; 3) Definisi moderasi konten yang hitam-putih; 4) Ketiadaan mekanisme banding dan laporan transparansi atas moderasi konten (Audrine & Setiawan, 2021).
1) Definisi karet tentang konten yang dilarang
Pada pasal 9 ayat (3), PSE diwajibkan untuk menjamin sistem elektroniknya tidak memuat dan/atau memfasilitasi penyebaran konten (informasi dan/atau dokumen elektronik) yang “dilarang”. Konten yang dilarang kemudian dijelaskan pada ayat (4), yaitu konten yang melanggar ketentuan perundang-undangan, konten yang menyediakan akses terhadap konten yang dilarang, serta konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Masalahnya tentu saja terletak pada definisi “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”. Kedua hal ini tidak memiliki definisi dan standar yang jelas sehingga membuka kemungkinan tafsir yang luas dari pemegang otoritas, atau dengan kata lain: karet. Otoritas tafsir dalam hal ini adalah kementerian dan lembaga sebagaimana yang tertuang dalam ayat (5). Pasal-pasal karet semacam ini seperti yang ada pada UU ITE sering kali digunakan kelompok berkuasa untuk membungkam pendapat, ekspresi, serta kritik dari kelompok yang lebih lemah.
2) Tenggat waktu yang sangat singkat untuk memutus akses (take down) konten
PSE hanya diberikan waktu 24 jam untuk menghapus konten yang bersifat tidak mendesak dan 4 jam untuk yang mendesak. Hal ini mengakibatkan sangat sulit bagi PSE untuk melakukan penilaian yang memadai terhadap permintaan penghapusan konten. Hal ini membatasi PSE dengan dua pilihan: memutus akses terhadap konten secara terburu-buru sehingga berpotensi melanggar hak pengguna atau mengabaikan permohonan Kemkominfo dan mendapatkan sanksi administratif atau bahkan blokir terhadap akses internetnya.
3) Definisi moderasi konten yang hitam-putih
Upaya moderasi konten dari Kemkominfo hanya meninggalkan dua pilihan ekstrem: menghapus atau membiarkan konten. Membatasi tindak moderasi hanya pada penghapusan konten (take down) adalah pendekatan yang hitam-putih dan tidak proporsional. Permen ini dapat mencontoh platform besar seperti Facebook, Twitter, dan YouTube yang selama ini menggunakan serangkaian pilihan yang lebih beragam seperti menurunkan halaman, menurunkan peringkat, demonetisasi, menandai konten, membatasi akses, dan memberikan peringatan kepada pengguna tentang konten sensitif dan berbahaya. Pendekatan yang lebih beragam dengan penerapan sanksi berjenjang dapat mencegah platform mengambil salah satu dari dua tindakan ekstrem tersebut.
4) Ketiadaan mekanisme banding dan laporan transparansi atas moderasi konten.
Dalam konteks permohonan pemutusan akses konten, proses yang adil dan transparan berarti menyediakan sebuah mekanisme yang adil bagi PSE dan pengguna untuk memprotes, menyanggah, dan/atau mempertanyakan permohonan tersebut serta mewajibkan adanya laporan transparansi atas proses yang dilakukan. Namun, Permenkominfo 5/2020 tidak dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan tersebut, padahal berbagai negara di dunia telah mengupayakan penerapan mekanisme banding dalam moderasi konten seperti Pemerintah Britania Raya lewat Online Safety Bill dan akademisi Kanada yang menginisiasi Moderation Standards Council. Laporan transparansi juga menjadi kewajiban dari mekanisme akuntabilitas di Malaysia, Britania Raya, Prancis, dan Jerman. Laporan transparansi ini berfungsi untuk menjelaskan tindakan moderasi konten, termasuk alasan di balik keputusan moderasi konten.
Tanpa adanya proses yang adil dan transparan, moderasi konten berisiko menjadi mekanisme yang bersifat top-down dan rentan terhadap penyalahgunaan wewenang yang dapat melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat dari pengguna.
B. Akses terhadap data dan sistem elektronik
Terkait akses terhadap data dan sistem elektronik, Permen ini juga mengandung berbagai aturan yang tak kalah problematik karena berpotensi melanggar privasi hingga memfasilitasi pengawasan berlebihan dari negara. Beberapa masalah terkait akses terhadap data dan sistem elektronik dalam Permen ini antara lain: 1) Akses terhadap data dan sistem elektronik tanpa penetapan pengadilan; 2) Ketiadaan mekanisme mengajukan keberatan atas permintaan akses data/sistem (Suleiman, 2021).
1) Akses terhadap data dan sistem elektronik tanpa penetapan pengadilan
Pengaturan terkait akses terhadap data dan sistem elektronik dapat dilihat dalam BAB V (Pasal 21-46) Permenkominfo 5/2020. Dalam sejumlah pasal tersebut, dijelaskan bahwa akses terhadap data dan sistem elektronik oleh kementerian atau lembaga tidak membutuhkan penetapan pengadilan. Kemudian, Permen ini juga membedakan data yang membutuhkan dan yang tidak membutuhkan penetapan pengadilan dalam mengaksesnya.
Hal ini berbeda dengan semangat KUHAP yang mensyaratkan penetapan pengadilan untuk penyitaan dan penggeledahan, kecuali untuk hal-hal yang mendesak. Permen ini seharusnya mengadopsi semangat KUHAP di mana semua akses membutuhkan penetapan pengadilan atau badan independen lainnya, kecuali untuk urusan-urusan tertentu yang disebutkan secara spesifik dalam undang-undang. Tanpa mekanisme tersebut, akses terhadap data atau sistem elektronik berpotensi besar menyebabkan penyalahgunaan wewenang oleh institusi terkait melalui pengawasan yang berlebihan sehingga dapat mengancam privasi dan perlindungan data pribadi pengguna.
2) Ketiadaan mekanisme mengajukan keberatan atas permintaan akses data/sistem
Dalam penerapannya, sangat dimungkinkan terjadi keberatan dari PSE atas suatu permohonan akses. Untuk memastikan dilindunginya hak-hak asasi dari pengguna maupun hak dasar dari PSE, perlu disediakan sarana untuk menguji atau mengajukan keberatan melalui suatu badan atau forum yang netral. Ini serupa dengan proses pra-peradilan dalam KUHAP, atau adanya suatu forum pengujian atas keputusan hak akses melalui peradilan tata usaha negara.
Visi Kemkominfo: Kedaulatan Digital atau Otoritarianisme Digital?
Freedom House (2021) dalam laporannya menyatakan bahwa kebebasan internet global menurun selama sebelas tahun berturut-turut. Kebebasan internet di Indonesia juga mengalami tren yang menurun sejak 2016 hingga 2021. Hal ini disebabkan oleh makin maraknya praktik otoritarianisme digital.
Gejala-gejala otoritarianisme digital di Indonesia sendiri sudah terasa sejak beberapa tahun terakhir. Gejala ini merentang mulai dari kebijakan pemutusan akses internet sepihak di sejumlah daerah, hingga kriminalisasi terhadap ekspresi yang difasilitasi oleh pasal-pasal karet seperti yang termuat dalam UU ITE (SAFEnet, 2019). Melalui penerapan Permenkominfo 5/2020, pemerintah Indonesia jelas meneguhkan praktik otoritarianisme digital yang selama ini dijalankan.
Secara umum, ada empat taktik dalam menjalankan otoritarianisme digital yaitu: pengawasan, serangan siber, sensor dan pembatasan akses, serta manipulasi dan propaganda (Handoko, 2022). Moderasi konten dengan sejumlah aturan problematik seperti definisi yang karet, minimnya proses hukum yang adil, transparan, dan partisipatif akan memperkuat negara dalam menjalankan sensor dan pembatasan akses. Sementara itu, pengaturan mengenai akses terhadap data dan sistem elektronik tanpa mekanisme pengajuan keberatan serta pelibatan lembaga yang independen akan berpotensi mendorong pengawasan berlebihan oleh negara.
Dengan membiarkan Permenkominfo 5/2020 dan segenap pasalnya yang bermasalah tetap berlaku, retorika kedaulatan digital yang sering kali digaungkan oleh Kemkominfo tak lebih dari sekadar basa-basi. Bahkan, retorika “kedaulatan digital”, “keamanan nasional”, dan narasi-narasi serupa acap digunakan untuk menjustifikasi dan menyelubungi kebijakan digital bercorak otoritarian di berbagai negara (Freedom House, 2021). Dengan kata lain, retorika kedaulatan digital tak lebih dari eufemisme atas praktik otoritarianisme digital bila kebijakan yang ditelurkan tidak selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi digital.
Melawan Otoritarianisme Digital
Meskipun kebebasan internet secara global terus mengalami penurunan selama satu dekade terakhir, fakta bahwa sejumlah negara mengalami peningkatan dalam kebebasan di internet memberikan kita secercah harapan. Beberapa di antaranya adalah Gambia, Ekuador, Taiwan, dan Kosta Rika. Peningkatan dalam kebebasan internet di sejumlah tempat tersebut ditandai dengan berkurangnya kriminalisasi dan represi berbasis digital serta penerapan kebijakan digital berperspektif HAM (Freedom House, 2021).
Di saat beberapa negara tersebut menikmati manisnya kebijakan digital yang progresif, masyarakat sipil di Indonesia dipaksa menelan Permen pahit. Satu hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa peningkatan kebebasan internet di sejumlah negara tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran aktivis, jurnalis, akademisi, dan elemen-elemen masyarakat sipil setempat (Freedom House, 2021). Artinya, upaya seperti kampanye, demonstrasi, penandatanganan petisi, kajian dan riset, serta upaya-upaya lainnya perlu dilakukan oleh masyarakat sipil untuk menciptakan ruang digital yang aman dan demokratis. Dalam konteks Permenkominfo 5/2020, masyarakat sipil perlu secara konsisten menuntut agar aturan-aturan problematik di dalamnya segera dihapus jika ingin keluar dari bayang-bayang otoritarianisme digital.
Namun, upaya untuk memperjuangkan ruang digital yang aman dan demokratis tidak berhenti sampai pengesahan regulasi yang berperspektif hak asasi digital. Mari sejenak kita berkhayal. Secara tiba-tiba, Kemkominfo merevisi Permen tersebut dengan semangat yang lebih progresif. Permen tersebut mewajibkan pemerintah untuk membentuk suatu badan atau komisi independen yang melibatkan elemen masyarakat sipil serta PSE di dalamnya. Pembentukan badan independen tersebut ditujukan untuk memfasilitasi mekanisme banding, melibatkan masyarakat sipil dan PSE dalam memutuskan konten yang dilarang, serta bertanggung jawab atas laporan transparansi dari kebijakan yang diambil.
Kalaupun ini terjadi, kita harus ingat bagaimana lembaga-lembaga penting seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bermutasi menjadi lembaga yang tak menjalankan fungsi substansialnya. Karenanya, masyarakat sipil juga perlu mengawasi secara konsisten bagaimana kebijakan tersebut dijalankan. Pada akhirnya, janji-janji surga perkembangan teknologi dan potensi emansipatoris internet tidak akan terjadi sendiri, melainkan didorong oleh masyarakat sipil yang bergerak tanpa henti.