Islami

Biografi KH. Istad Djanawi, Muasis Pesantren Miftahul Qulub Mojokerto

Daftar Isi 1.    Riwayat Hidup dan Keluarga 1.1  Lahir 1.2  Wafat 1.3  Riwayat Keluarga 2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau 2.1 Mengembara Menuntut Ilmu 2.2 Guru-Guru Beliau 2.3 Mendirikan Pondok Pesantren 3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah 4.    Referensi 1.  Riwayat Hidup dan Keluarga  1.1 Lahir KH. Istad Djanawi lahir di desa Mbothe yang sekarang

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat
1.3  Riwayat Keluarga
2.   Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1 Mengembara Menuntut Ilmu
2.2 Guru-Guru Beliau
2.3 Mendirikan Pondok Pesantren
3.   Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.   Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga 

1.1 Lahir
KH. Istad Djanawi lahir di desa Mbothe yang sekarang menjadi desa Kalianyar Kertosono, diperkirakan pada tahun 1879 M.

1.2 Wafat
KH. Istad Djanawi wafat Pada hari kamis malam Jum’at Kliwon setelah sholat Isya’tanggal 5 November 1959 M atau tanggal 5 Jumadil Ula tahun 1379 H, dengan disaksikan oleh istri dan putera-puterinya di kediamannya beliau menghembuskan nafas terakhirnya tepat pada usia 80 tahun, karena sakit. Banyak penta’ziah yang bersedih atas wafatnya KH. Istad Djanawi, mereka hadir di kediaman ia hingga kepemakaman Kiai Istad. Salah satu murid beliauyang ikut memakamkan bahwa suasana malam itu sangat menyeramkan, banyak halangan yang harus dihadapai ketika ingin para muridnya dapat mengabarkan kabar duka tersebut ke warga masyarakat maupun tokoh-tokoh agama yang merupakan sahabat KH. Istad Djanawi.

Jenazah beliau dimakamkan pada pagi hari jam 10.00 WIB, di pemakaman keluarga di sekitar kediaman beliau, tepatnya di belakang masjid. Pemakaman tersebut dihadiri oleh Kyai-kyai sahabat KH. Istad Djanawi yang mengasuh beberapa ponpes.

1.3 Riwayat Keluarga
Beliau menikahi wanita sholehah bernama Fatimah Jayun Yaumi dan dikaruniai dikaruniai 12 anak di antaranya:

  1. Haidlo Ali
  2. Sulaiman Afandi
  3. Khoirul Anam
  4. Ridyadlul Badi’ah
  5. Muhajir
  6. Zaenab
  7. Mubayanah
  8. Musyarrofah
  9. Baidlowi
  10. Ahmad Syamsudin
  11. Isroil
  12. Nur Roihanah.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

Selanjutnya beliau melakukan pengembaraan ilmu ke Pondok pesantren asuhan Kiai Imam Bahri di Desa Mangunsari Kecamatan Pace Kabupaten Nganjuk dan diteruskan ke Bangkalan Madura yakni kepada Syaikhona Kholil. mendirikan pondok pesantren di Desa Kademangan sekitar 200 meter dari alun-alun kota Bangkalan, di pesantren ini Kiai Kholil banyak mendapat santri yang tidak hanya berasal dari pulau Madura tetapi juga mencakup pulau Jawa. Setelah menimba ilmu disana beliau tak lantas pulang, namun melanjutkan perjalanan untuk mencari guru spiritual untuk membimbing kecintaannya terhadap tasawuf dan memperdalam ilmu agama.

Kecintaannya pada tasawuf memang telah terlihat sejak mondok di pesantren Mangunsari, beliauia memiliki kebiasaan puasa ataupun menjalankan amalan dari gurunya, beliau pernah melakukan riyadloh hanya dengan makan buah mengkudu kurang lebih selama 3 tahun di makam Sayyid Sulaiman Betek Mojoagung”, yang semua itu dilakukan hanya semata-mata untuk membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Ditengah-tengah riyadlahnya tidak jarang beliau merasa majdzbub, yakni masuk kedalam alam bawah sadar karena terpesona dengan sifat’adzomah Allah. Dalam keadaan demikian beliau mendapatkan petunjuk dalam menentukan arah perjalanan kehidupan. Beliau sadar bahwa segala sesuatu haruslah ada gurunya apa lagi jika ingin memperdalam ilmu agama khususnya thariqah, sehingga beliau memutuskan untuk mencari seorang guru spiritual di bidang thariqah.

Pengembaraan awal dimulai dengan menyusuri daerah Jombang, yang kemudian sampailah di Desa Besuk Curahmalang Sumobito, disitulah KH. Istad Djanawi menemukan seorang mursyid thariqah Naqsabandiyah Kholidiyah Mujaddiyah yang bernama Syekh Umar atau lebih terkenal dengan sebutan Mbah Sri. Beliau mengabdikan diri kepada Mbah Sri selama beberapa tahun.

Setelah menjalani perjalanan spiritualnya dalam bidang thariqah, beliau diangkat menjadi mursyid oleh gurunya, dan setelah menerima pengangkatan tersebut beliau tidak langsung menunjukkan kemursyidannya, ketika KH. Istad Djanawi sudah berdomisili lama hingga 28 tahun sejak tahun 1919 barulah beliau memperkenalkan kemursyidannya.

Pada tahun 1947 beliau mengijazahkan Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah Mujaddiyah dengan mulai membai’at beberapa orang pengikutnya, namun sayang beliau belum sempat mengangkat Guru Mursyid Thariqah calon pengganti baik dari murid-muridnya atau kalangan puteranya. Putera beliau yakni KH.Sulaiman Affandi dan KH.Ahmad Syamsudin diangkat menjadi Guru Thariqah oleh Guru Thariqahnya masing-masing.

2.2 Guru-Guru Beliau

  1. Kyai Imron
  2. Kyai Imam Bahri Mangunsari
  3. Syaikhona Kholil Bangkalan
  4. Syekh Umar Curahmalang

3 Perjalanan Hidup dan Dakwah

    Berawal Kyai Istad Djanawi pada tahun 1947 memulai langkah perjuangan dakwahnya untuk mengisi kemerdekaan dengan mengijazahkan Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah sebagai media spiritual (Suluk) seorang hamba kepada Sang Pencipta, atas Ijazah ke-Mursyid-an dari KH. Umar (Mbah Sri) Curahmalang Sumobito Jombang. Sebelum itu pada awal abad 20, Desa Tawar hanya merupakan sebuah kampung kecil yang sepi dalam teretorial pemerintahan Hindia-Belanda.

    Pada saat itu Kyai Imam Burhani (mertua Kyai Istad Djanawi) yang wafat pada sekitar tahun 1919, berusaha meramaikan dusun ini dengan aktifitas dakwah berupa mengajar al-Quran di musholla (Langgar Gladhak) yang berada di atas tanah miliknya.

    Pada hari hari Jumat Legi 22 Agustus 1947 M / 05 Syawal 1366 H jam 14.00 WIB.. Kyai Istad Djanawi juga mendirikan lembaga pendidikan Madrasah yang sebagian besar pembelajarannya menggunakan mata pelajaran yang berbasis pada kitab-kitab Salafi (klasik) dan dibagi mejadi empat kelas, yaitu kelas masjid, Ndalem Kyai Istad, Ndalem Kyai Ahmad, dan rumah Gandhok, dengan tujuan menertibkan pendidikan para pemuda pemudi dusun Tawar dan sekitarnya yang setiap hari datang bermalam sebagai santri Kalong (sore datang pagi pulang) untuk mengikuti pengajian Bandongan (ustadz menerangkan sebuah kitab dan murid mendengarkan).

    Dan mushola ini akhirnya diperbesar oleh Kyai Istad Djanawi dan diubah menjadi sebuah masjid yang sebagian dindingnya berupa Gebyok (papan kayu) dan Gedhek (anyaman bambu) untuk memulai pijakan langkah dakwahnya. Seiring berjalan waktu tahun 1953, beliau membangun gedung madrasah tiga local di sebelah timur masjid.

    Semakin lama madrasah mengalami peningkatan dengan indikatoar bertambahnya peserta didik, sehingga kyai Istad merasa tua untuk mengelolanya  dan tongkat estafet di pegang oleh Kyai Sulaiman Afandi  selaku putra kedua beliau.

    4. Referensi

    https://miftahulqulub.ponpes.id/admin/haul_agung

    Sign up for a newsletter today!

    Want the best of KWFeeds Posts in your inbox?

    You can unsubscribe at any time

    What's your reaction?

    Leave Comment

    Related Posts

    Celebrity Philantrophy Amazing Stories About Stories