Air untuk Siapa? Catatan dari World Water Forum 2024 dan Pembubaran People’s Water Forum

air-untuk-siapa?-catatan-dari-world-water-forum-2024-dan-pembubaran-people’s-water-forum

Bulan Mei lalu, Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan World Water Forum ke-10. Ajang forum air sedunia ini diadakan di Nusa Dua, Bali, pada 18-25 Mei 2024.

Duta World Water Forum, Cinta Laura dalam forum itu mengatakan bahwa masalah air jauh lebih luas dari apa yang selama ini dibicarakan. Ia menyinggung deforestasi, yang menjadi salah satu penyebab krisis air bersih karena mengganggu proses pembersihan air secara alami. 

“Itu juga merusak kualitas air yang dikonsumsi oleh masyarakat,” ucap Cinta dalam konferensi pers World Water Forum, Senin (20/5/2024). “Tanpa air kita tidak bisa bertahan. Bukan hanya karena kita butuh air untuk diminum, tapi juga penyediaan makanan bagi masyarakat itu juga terdampak dengan kebanjiran, dengan labilnya hujan.”

Cinta Laura juga menyebut, Indonesia masih memiliki masalah akses terhadap air layak dan aman yang serius. Setiap hari, anak-anak harus berhadapan dengan risiko yang membahayakan jiwa mereka saat menggunakan air terkontaminasi untuk mandi hingga dikonsumsi. Perempuan yang mengurus anak-anak tersebut juga terdampak. Kontaminasi air pada akhirnya membuat mereka tidak bisa bekerja dan berkontribusi pada perekonomian.

Baca Juga: Hari Air Dunia: Perempuan Desak Pemprov DKI Jakarta Stop Privatisasi Air

Sementara itu, pemimpin relawan World Clean Up Day Indonesia Andy Bahari menekankan pentingnya kerja sama untuk merawat dan menjaga air dari pencemaran sampah. Nyatanya, sampah yang menumpuk di sungai dan aliran air menjadi penyebab tercemarnya kualitas air. Alhasil, kehidupan manusia dan lingkungan terdampak kontaminasi zat berbahaya dari air. Bukan hanya tanggung jawab orang muda, menurut Andy, hal ini mesti jadi tanggung jawab bersama.

World Water Forum membahas empat tema yakni konservasi air, air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan energi, dan mitigasi bencana alam. Selain agenda utama, ada setidaknya 59 agenda sampingan dan berbagai panel yang membahas tentang isu air di berbagai sektor. Termasuk soal kerentanan perempuan terhadap krisis air di seluruh dunia.

People’s Water Forum dan Pembubaran Sarat Kekerasan di Balik Kemewahan World Water Forum

World Water Forum digelar dengan mewah dan gegap gempita. Selama satu minggu, berbagai tokoh publik Indonesia dan dunia mengunjungi Nusa Dua. Namun, di balik megahnya World Water Forum, terjadi kekerasan dan intimidasi terhadap Forum Air Milik Rakyat atau People’s Water Forum (PWF) yang semula hendak digelar di Bali pada 21-23 Mei 2024.

Menurut rilis pers, People’s Water Forum diadakan sebagai upaya masyarakat untuk mencapai akses keadilan atas air. PWF juga menjadi wadah interdisipliner untuk kerja-kerja terkait air di akar rumput bersama warga. Forum ini merupakan ajang ‘diskusi alternatif’ untuk mengiringi World Water Forum dan memungkinkan pemikiran kritis atas forum dunia yang cenderung mempromosikan agenda pembangunan dan ‘disetir kepentingan pemodal’.

“WWF hanya menjadi forum legitimasi korporasi, lembaga keuangan internasional, dan pemerintah untuk menjadikan air sebagai komoditas dagang melalui berbagai proyek investasi,” demikian tertulis dalam rilis pers dari LBH WCC Bali, Aksi! for gender, social and ecological justice, dan Perserikatan Solidaritas Perempuan pada 28 Mei 2024.

People’s Water Forum (PWF) dibubarkan paksa oleh sekelompok ormas. Represi dan intimidasi dilakukan dengan dalih pengamanan di Institut Seni Indonesia, Bali pada Senin, 20 Mei 2024. Orang-orang yang tergabung dalam ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) mendatangi hotel lokasi gelaran PWF dan berteriak-teriak agar forum tersebut dihentikan. Mereka juga merampas banner dan merusak atribut forum yang berada di dalam ruangan. Bahkan, mereka melakukan kekerasan terhadap sejumlah peserta forum. Aksi ini direkam oleh salah satu peserta forum dan menjadi viral di media sosial.

Baca Juga: Vagina Perempuan Gatal Ketika Menstruasi Karena Air Sumur Kotor Akibat Tambang
Cinta Laura dan Andy Bahari saat konferensi pers 10th World Water Forum di Nusa Dua, Bali, Senin (20/5/2024). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)
Polisi memasuki lokasi perhelatan ‘People’s Water Forum’ yang dibubarkan paksa dan dijaga ketat oleh ormas di Renon, Bali, Selasa (21/5/2024). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Sehari setelah kericuhan tersebut, Konde.co dan wartawan dari sejumlah media lainnya mendatangi lokasi People’s Water Forum di Hotel the Oranjje, Hayam Wuruk, Denpasar, Bali pada Selasa (21/5/2024). Tiba kira-kira pukul 13: 00 WITA, suasana di sekitar lokasi tampak sepi. Akses masuk-keluar hotel dihalangi palang bambu dan dijaga ketat oleh segerombolan lelaki yang mengaku sebagai warga Bali. Mereka melarang orang-orang dari luar, termasuk jurnalis, untuk masuk ke area hotel. Selain itu, tampak pula kehadiran Satpol PP di lokasi. Hanya mereka dan kendaraannya yang diperbolehkan keluar-masuk area perhelatan acara.

Rupanya panitia dan peserta People’s Water Forum telah mengalami intimidasi dan ancaman sejak jauh sebelum hari pelaksanaan acara. Berdasarkan rilis pers dari Jaringan Masyarakat Sipil, berbagai intimidasi yang diduga sebagai upaya menghambat PWF 2024 telah terjadi sejak tanggal 4 Mei 2024. Intimidasi tersebut bermula dari pihak kepolisian yang mendatangi salah satu rumah milik Direktur Yayasan Bintang Gana selaku panitia nasional pelaksana. Mereka juga mengalami pembatalan secara sepihak lokasi pelaksanaan dan penginapan, hingga peretasan akun WhatsApp dan tautan registrasi.

“Pada hari pelaksanaan, Kelompok Ormas PGN berulang kali mendatangi tempat kegiatan dan meminta pelaksanaan PWF 2024 agar dihentikan dan segera dibubarkan karena dianggap melanggar himbauan lisan PJ Gubernur Bali terkait World Water Forum (WWF) di Bali,” tulis Jaringan Masyarakat Sipil dalam rilis pers.

Kekerasan terhadap Perempuan

Pembubaran paksa PWF oleh ormas, Satpol PP, serta polisi dan preman juga melibatkan kekerasan terhadap perempuan panitia dan peserta di lokasi. Berdasarkan siaran pers yang dirilis LBH WCC Bali, Aksi! for gender, social and ecological justice, dan Perserikatan Solidaritas Perempuan, terjadi tindakan pengeroyokan, seret-menyeret, dan pengepungan. Hal ini menciptakan ketakutan bagi para perempuan komunitas di sana. Ditambah lagi, peserta dilarang keluar dan masuk hotel. Tindakan ini merupakan kekerasan struktural melalui intimidasi psikologis yang luar biasa untuk menekan suara masyarakat sipil. Alih-alih mengamankan preman perusuh, aparat justru turut andil dalam membungkam peserta forum.

“Saya jauh-jauh datang dari kampung ke Bali untuk memperjuangkan kondisi air di lereng Gunung Slamet yang semakin hari semakin memprihatinkan,” ucap seorang perempuan dari Lereng Gunung Slamet, seperti dikutip dari siaran pers. “Saya ke Bali hanya untuk menyampaikan persoalan kami, namun tiba-tiba ada serangan di depan mata saya, saya jadi takut.”

Perempuan korban privatisasi air Jakarta yang menjadi peserta juga menceritakan pengalaman traumatisnya dalam siaran pers tersebut. “Kejadian kemarin itu sangat kasar, membuat saya kaget, geram hingga gemetar karena marah. Mereka tidak mau mengerti apa yang kita perjuangkan, yang mana berkali-kali kawan-kawan jelaskan kepada mereka apa yang sedang dirasakan oleh rakyat sekarang.”

Pembubaran Forum Rakyat: Air untuk Siapa?

Kejadian penyerangan ke penyelenggaraan PWF dan larangan keluar-masuk hotel lokasi acara dinilai sebagai pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Termasuk hak kebebasan berkumpul dan berpendapat, yang merupakan pondasi utama dalam demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Kebebasan berkumpul dan berpendapat memungkinkan warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik, mengungkapkan pandangan mereka, serta membentuk dan menyuarakan aspirasi kolektif.

Pembubaran People’s Water Forum 2024 juga menjadi tanda darurat kebebasan berekspresi di Indonesia. People’s Water Forum sebetulnya dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk mencapai akses keadilan atas air. Forum ini digagas masyarakat sipil dan komunitas korban pelanggaran hak atas air di Indonesia dan berbagai negara berkembang serta didukung oleh aktivis negara industri lainnya. Tujuannya, sebagai forum rakyat yang merupakan alternatif bagi komunitas korban hak atas air untuk menyuarakan dan menuntut pemenuhan haknya oleh negara.

Padahal, melalui PWF, masyarakat sipil dan komunitas korban hendak mengekspresikan persoalan air dan sumber air masyarakat yang mereka alami. Seperti privatisasi dan monopoli sumber daya air, serta perusakan sumber air masyarakat. PWF juga menyoroti kesulitan perempuan mengakses dan menikmati air bersih yang sehat.

People’s Water Forum juga menjadi wadah diskusi masyarakat di tengah ‘semarak’ World Water Forum di Nusa Dua, Bali. World Water Forum dianggap tidak mengakomodir hak rakyat atas air. Malah, agenda WWF terkesan mengedepankan perampasan dan monopoli air.

Baca Juga: Air Sumur Tak Bisa Diminum, Sawah Kena Abu: Perempuan Tani Indramayu Hidup Sengsara Akibat PLTU

Sekitar 60 orang anggota Akademisi Muda Bali (AMUBA) menandatangani pernyataan sikap atas intimidasi terhadap PWF di tengah semarak WWF. Mereka menekankan bagaimana permasalahan air di WWF hanya diarahkan untuk diselesaikan melalui pendekatan ekonomi, yakni komodifikasi, meninjau dari agenda dan delegasi yang hadir. Ironisnya, krisis air juga sedang mengancam Bali, yang menjadi lokasi perhelatan WWF. Sebut mereka, Bali sedang tidak baik-baik saja.

“Air menjadi medium ketidakadilan lingkungan di mana terdapat kesenjangan distribusi dan konsumsi air antara masyarakat lokal dengan wisatawan,” tulis AMUBA dalam pernyataan sikapnya. “Konsumsi satu kamar hotel setara dengan kebutuhan air 15 orang penduduk lokal. Artinya, di tengah keterbatasan air sebagai akibat dari krisis iklim dan pencemaran. Kita dihadapkan pada pilihan apakah air akan diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dasar penduduk atau diarahkan untuk sekadar melayani kepuasan pengalaman wisatawan dalam berwisata.”

Mengecam Tindakan Represif

Nurina Savitri dari Amnesty International mengecam pembubaran dan intimidasi terhadap orang-orang yang terlibat dalam People’s Water Forum. 

“Apa yang terjadi di Bali ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB,” katanya dalam siaran pers. 

“Bagaimana bisa forum masyarakat sipil dibubarkan dan dibiarkan? Pertama, jika benar pembubaran ini dilakukan karena alasan menghambat jalannya konferensi internasional, ini patut kita pertanyakan. Kedua, seharusnya hari ini kita merayakan 26 tahun Reformasi. Namun kita justru berkabung karena terjadi intimidasi terhadap kerja-kerja para Pembela HAM.”

Bukan hanya kepada peserta dan panitia forum, intimidasi dan kekerasan juga dilakukan oknum ormas kepada jurnalis. Padahal, keamanan dalam kerja jurnalistik harus terjamin agar bisa terlaksana dengan baik. Nani Afrida, Ketua AJI Indonesia menekankan bahwa jurnalis harus diberikan ruang untuk melakukan kerja-kerja jurnalisme tanpa mendapatkan ancaman. 

“Dalam melakukan pekerjaannya wartawan/jurnalis dilindungi Undang-Undang (UU) Pers No 40/1999. Jurnalis juga memiliki hak untuk mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi yang berguna untuk publik,” katanya.

Baca Juga: Damairia Pakpahan Raih SK Trimurti Award, Konsisten Perjuangkan Perempuan Dan Kelompok Marjinal

Berbagai aliansi masyarakat sipil lainnya juga mengecam represi dan intimidasi terhadap upaya perhelatan PWF. Sedianya, forum ini dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk mencapai akses keadilan atas air. 

“Hari ini kita menyaksikan kegagalan polisi sebagai representasi negara dengan membiarkan pada kegiatan PWF di Bali. Kita tidak mungkin bisa mencapai keadilan iklim jika kita tidak bisa menghargai dan melindungi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat oleh masyarakat.” Ungkap Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace Indonesia. 

Hal senada disampaikan oleh Fanny Tri Jambore dari WALHI. “Dalam catatan WALHI, ada 287 kejadian seperti kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Angka ini sangat tinggi dan belum selesai jika rezim masih melakukan praktik yang sama.”

Kekerasan dalam pembubaran paksa PWF dinilai mencederai hak kebebasan berkumpul yang diakui secara internasional. Termasuk dalam Pasal 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 21 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hak ini mencakup kebebasan untuk berkumpul secara damai tanpa ancaman atau gangguan dari pihak berwenang atau pihak ketiga. Larangan masuk dan keluar hotel yang berkegiatan forum rakyat jelas merupakan pelanggaran terhadap hak ini, karena menghalangi orang untuk berkumpul secara damai dan berpartisipasi dalam diskusi atau kegiatan kolektif yang sah.

Pembubaran PWF jelas melanggar hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hak kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin oleh Pasal 19 DUHAM dan Pasal 19 ICCPR. Ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan ide dalam segala bentuk. Hak lain yang dilanggar akibat pembubaran paksa PWF oleh ormas adalah hak atas perlindungan dari kekerasan; hak atas mobilitas; dan hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik. Forum rakyat sering kali berfungsi sebagai wadah untuk diskusi politik dan partisipasi publik. Menghalangi akses ke forum semacam ini berarti membatasi kemampuan individu untuk terlibat dalam urusan publik dan politik.

Baca Juga: Di Balik Sepiring Nasi Yang Kita Santap, Tersembunyi Keringat dan Air Mata Perempuan Petani

Kasus ini semakin parah dengan terjadinya pelecehan seksual terhadap para aktivis perempuan di luar tempat acara PWF oleh para penghadang tersebut. Tindakan tersebut jelas merupakan kekerasan berbasis gender yang melanggar Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 

Pelecehan seksual verbal yang ditujukan kepada para aktivis perempuan pun mencederai mandat Rekomendasi Umum No. 35 Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW (2017) tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan, pemutakhiran Rekomendasi Umum No. 19 (1992). Disebutkan bahwa negara wajib membangun sistem hukum yang memberi ruang dan perlindungan kepada korban kekerasan berbasis gender. 

Pada dasarnya, segala bentuk kekerasan mulai dari fisik hingga intimidasi, pelecehan, dan penghinaan atau bahkan melarang mereka berpartisipasi dalam lingkungan sosial, dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan. Deklarasi Universal Majelis Umum PBB tentang perempuan menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan akan menghambat peluang mereka untuk mencapai kesetaraan hukum, sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat.

Baca Juga: Aktivis Buruh: Presiden Harus Cabut Aturan Pencairan Dana Jaminan Hari Tua Di Usia 56 tahun

Koalisi masyarakat mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komnas HAM untuk mengusut kasus represi tersebut. Serta menghukum dengan segera dan komprehensif para aktor yang melakukan tindak kekerasan kepada panitia dan peserta PWF 2024.

Selain itu, para perempuan pejuang hak atas air menuntut kepada World Water Council sebagai penyelenggara World Water Forum (WWF). “Bersama-sama dengan pemerintah tempat penyelenggaraan WWF, memastikan dan menjamin agar rakyat di negara di mana berlangsung WWF, tetap bebas berpendapat dan berkumpul untuk menyuarakan keprihatinan dan persoalan mereka menghadapi krisis air. Dan tidak mendapatkan intimidasi, kekerasan dan pembubaran Forum rakyat seperti yang terjadi di Bali, Indonesia saat berlangsung WWF ke 10 tanggal 18-25 Mei 2024.”

(Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Air untuk Siapa? Catatan dari World Water Forum 2024 dan Pembubaran People’s Water Forum

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us