Membenahi Komunikasi Atas Dasar Humanisme

membenahi-komunikasi-atas-dasar-humanisme

“Pergi sana!”

Penjual itu mengusir seorang anak berpakaian lusuh.

“Jangan sampe aku liat kamu di sekitar sini!”

Anak itu pun lari ketakutan. Apa salahnya dia meminta sedikit makanan?

Sudah lama anak itu berjalan. Melihatnya dari kejauhan saja membuat sebagian orang merasa prihatin. Namun, tidak ada orang yang mencoba memberikan senyuman manis pada bibir pecah-pecah anak itu. Secara tiba-tiba sebuah kilauan lampu toko warteg menarik perhatian dia. Perut laparnya mengabaikan memori perlakuan buruk penjual sebelumnya. Dengan penuh hara, ia mendekat ke warteg itu. Hidangan yang dipajang membuat kakinya bergerak masuk.

Saking kecilnya tubuh mungil itu sampai penjual pun tidak menyadari kedatangannya. Tanpa ragu, si anak itu mematuhi perintah perutnya, ”Pak.”  Penjual menoleh mencari suara lirih tadi. Terpaksa ia harus menyodorkan kepala untuk mencari keberadaan anak itu. Tampak si penjual melihat kanan kiri, seolah-olah tidak ingin orang lain lihat.

“Kenapa Dek?”

“Boleh minta makan nggak?”

Si penjual tampak ragu untuk langsung menjawab pertanyaannya. Tatapannya kini menjadi saksama.

“Kamu tahu? Kamu bisa makan di mana saja. Tapi kamu harus siap membayarnya.”

Mata penuh harap si anak kecil itu redup. Kepalanya jatuh menunduk dan badannya berputar mengarah ke pintu keluar.

“Tunggu dulu, Dek! Kapan terakhir kamu makan?”

Anak itu tetep membisu, tidak ingat hidangan terakhirnya apa atau kapan. Terdengar suara tabrakan sendok dan piring. Penjual itu muncul di depan anak itu dan menyodorkannya satu porsi nasi dan ayam.

“Bukan salah kamu kalau kamu tidak punya uang. Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya! Kalau lapar gak papa ke sini saja.”

ALTASAQAFAH.ID – Cerita ini saya karang untuk menjelaskan sebuah keterampilan sosial, komunikasi. Saya akan menjelaskannya dari sisi psikologi, bidang yang menaruh perhatian besar pada jiwa dan perilaku manusia.

Dalam pandangan psikologi, manusia sebagai makhluk komunikator (pemberi pesan) sekaligus komunikan (penerima pesan) terbagi atas dasar empat pandangan. Terdapat manusia yang psikoanalisis, manusia yang behaviorisme, manusia yang humanistis, dan manusia kognitif.

Jika dijelaskan secara singkat, psikoanalisis melihat manusia sebagai makhluk yang bergerak dan bertingkah atas dasar nafsu dan kemauan. Biasanya digerakkan oleh kebutuhan biologis, seperti rasa lapar, kebutuhan tidur, diakui, dan lain-lain. Ini sangat terlihat jelas ketika anak tadi lapar dan berani mengabaikan trauma yang tidak lama terjadi. Kebutuhan pokok menggerakkan anak tersebut.

Berbeda dengan pendekatan kognitif yang melihat manusia memiliki pilihan atas perilaku dan tindakan. Anugerah akal membuat manusia menjadi makhluk spesial di antara makhluk lain. Penjual sebelumnya yang dengan kasar memperlakukan anak tersebut memilih untuk mengusirnya saat ia dimintai makanan. Barangkali menurutnya itu merugikan usahanya.

Behaviorisme, sekilas seperti psikoanalisis, tetapi sangat berbeda. Behaviorisme melihat tindakan dan prilaku manusia terbentuk karena faktor keadaan dan lingkungan. Jika kita mengambil contoh lain yang barangkali sering digunakan oleh guru-guru sosiologi, watak orang Jawa lebih halus dan sopan dibandingkan watak orang Sumatera, khususnya orang Palembang. Konon katanya karena rumah-rumah orang Palembang terletak berjauhan karena dipisahkan oleh sungai, mereka harus saling teriak agar suaranya tidak kalah dengan derasnya air sungai.

Pendekatan yang terakhir, pendekatan yang menurut Jalaluddin Rahmat adalah pendekatan paling ideal dalam komunikasi antarpribadi maupun kelompok, yaitu pendekatan humanisme. Pendekatan ini meyakini setiap manusia memiliki “ideologinya” tersendiri atas dunia ini. Ini yang membuat keunikan dalam diri manusia. Pendekatan ini menekan untuk menjalankan hubungan yang disebut I-Thou Relationship, hubungan yang menjadikan manusia dalam komunikasi sebagai subjek-subjek, bukan subjek objek. Dalam hubungan dengan orang lain, kita harus sadar bahwa lawan bicara juga memiliki pemikiran dan gagasannya yang unik.

Dalam cerita di atas, penjual kedua mencoba memahami perasaan si anak kecil. Jika melihat sekilas ke anak kecil itu, penjual pasti paham si anak tersebut tidak bisa menjadi “objek” perdagangan. Namun penjual mencoba memahami dunia yang dirasakan oleh anak itu, memahami kesulitan dia mencari makan karena tidak bisa menghaislkan duit pada usia sedini itu. Ia lebih memilih melihat anak kecil itu sebagai manusia yang mengalami dunianya dengan cara yang tidak adil, daripada melihat dia sebagai pembeli yang bisa mendatangkan keuntungan.

Konsep “I-thou Relationship” juga memiliki anti tesanya, yang oleh Martin Buber disebut dengan “I- it Relationship”. Hubungan yang menjadikan manusia sebagai subjek-objek. Dalam analisis saya, penjual pertama bisa dilihat menggunakan pendekatan kognitif.  Namun itu berlaku dalam melihat bagaimana tindakannya tersebut lahir. Dalam hubungannya dengan manusia lain, penjual pertama menjadikan si anak kecil itu sebagai objek sehingga terjadi hubungan yang I-it Relationship. Ketika tidak ada urusan penting pada anak kecil itu, anak kecil itu harus digantikan dengan manusia lain yang bersedia membayar. Layaknya objek, hanya menjadi bermuka baik ketika ada manfaat dan kegunaannya.

Baiknya bersama kita renungkan, apakah selama ini hubungan kita atas dasar hubungan yang bisa dibilang egois? Meneriaki seseorang atas sebuah kesalahan tanpa mencari tahu penyebab kesalahannya, meninggalkan lawan bicara saat dirasa tidak berguna, atau merendahkan lawan bicara jika tidak sependapat dengan kita. Akan tetapi, saya kembalikan kepada pembaca, toh kita juga adalah manusia yang kognitif, memiliki akal pikiran untuk memilih bagaimana mau bersikap.

Sekarang bayangkan hubungan atas dasar I-thou Relationship. Kasih sayang seorang asing kepada orang yang kelaparan, penemuan gagasan baru karena tidak baperan saat berdiskusi maupun berdebat, menemukan jalan tengah di antara banyak perbedaan. Secara naluri atau bahasa kerennya jika menggunakan pendekatan psikoanalisis, ketenangan dan rasa damai menjadi hal yang dicari oleh manusia.

Saya tiba-tiba berpikiran, menjelang 2024 ketika kekuasaan diperebutkan, apakah janji para kepanjangan tangan rakyat nanti adalah gimmick, yang menjadikan masyarakat sebagai objek penyuksesan meraih kuasa semata atau malah berangkat dari empati dan simpati yang mendalam setelah merenungkan penderitaan dan kebutuhan yang harus terpenuhi oleh rakyat? Yang penting lagi menerapkan konsep I-thou relationship saat terjadi perbedaan pilihan. Jangan kefanatikan akan gimmick membuat hubungan kita dengan teman maupun keluarga menjadi hubungan yang I-it Relationship, menjauhi mereka saat pilihan mereka tidak sama dengan kita, bahkan kita tidak ingin mendengar alasan mengapa mereka memilih orang tersebut.

Dalai Lama dengan indah dan sarkasnya pernah bilang:

People were created to be loved. Things were created to be used. The reason why the world is in chaos is because things are being loved and people are being used.”

Referensi:

Rakhmat, Jalaluddin. 2021. Psikologi Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Rakhmat, Jalaluddin. 2021. Islam Aktual. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Views: 133

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Membenahi Komunikasi Atas Dasar Humanisme

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us