Dunia Digital, Kedangkalan Kita dan Korupsi Politik

dunia-digital,-kedangkalan-kita-dan-korupsi-politik

Chris_Mars_BeautifulBizarre_22_mainOleh Reza A.A Wattimena

Sore itu, saya mengendarai motor. Di depan saya, ada motor berjalan pelan di tengah. Si pengendara hanya menggunakan tangan kanannya untuk menyetir motor. Tangan kirinya sedang memegang ponsel cerdas, sambil tertawa-tawa.

Berulang kali, saya mengalami peristiwa ini. Di hari lainnya, saya menyeberang jalan. Seorang perempuan juga menyeberang jalan. Namun, matanya ke arah ponsel cerdas yang ia pegang. Ia menyeberang jalan sambil bermain ponsel.

Ini pemandangan sehari-hari masyarakat digital, termasuk di Indonesia. Diri manusia tercabut dari ruang keseharian, dan bermukim di dunia algoritma, walaupun ini kerap membahayakan dirinya sendiri. Saya menyebutnya generasi menunduk. Inilah generasi yang tersedot habis ke dalam dunia digital, dan kehilangan akal sehat serta kepekaan nuraninya.

Tesis alienasi (Entfremdungsthese), atau keterasingan, kiranya bisa berbicara disini. Orang terasing dari badannya sendiri. Orang terasing dari pikirannya sendiri. Setiap saat, perhatian dan hidupnya tersedot barang kecil bercahaya yang menawarkan berjuta ilusi bernama gawai.

Keterasingan juga terjadi antar manusia. Orang duduk berdekatan, tetapi jauh dalam jauh dalam pikiran dan perasaan. Solidaritasi sosial pun menumpul. Masyarakat menjadi sekumpulan individu yang seolah tak terhubung satu sama lain, kecuali di dunia digital, dan dengan pola hubungan yang begitu dangkal.

Di dalam dunia digital, orang pun hidup dalam ilusi. Informasi yang ia terima selalu berat sebelah. Berita mencari iklan dan pengunjung cepat, sehingga melupakan unsur kebenaran serta kejujuran. Di dalam dunia ilusif penuh kepalsuan semacam ini, kebencian, kesalahpahaman dan konflik pun tumbuh subur.

Buahnya adalah Kedangkalan

Buah dari keterasingan akibat keterpesonaan pada dunia digital ini adalah kedangkalan. Kedangkalan bukan berarti kebodohan. Orang bisa amat cerdas dalam menghafal dan berhitung. Namun, ia tidak mampu melihat dimensi lebih dalam dari kehidupan yang melampaui hitung-hitungan ekonomis maupun trend sosial sementara semata.

Ada sembilan hal yang penting diperhatikan. Pertama, di dalam dunia yang dangkal, kreativitas menumpul. Orang hanya menjadi kreatif untuk menipu dan menjadi palsu. Buah karya pun tak lebih dari sekedar pamer kekayaan di media sosial, ataupun joget-joget untuk menarik perhatian.

Dua, di dalam jaman digital nan dangkal, karya bermutu semakin sulit ditemukan. Musik menjadi murahan. Lirik penuh dengan pornografi dan makian. Karya sastra pun kehilangan kedalamannya, dan terjebak pada permainan kata indah, tanpa kedalaman makna.

Tiga, dunia digital melahirkan krisis keheningan. Orang tak punya waktu untuk mengamati batinnya dengan segala pikiran dan perasaan yang terus berganti. Perhatiannya dihisap gawai yang penuh dengan sensasi dan ilusi yang memperbodoh. Ketika keheningan lenyap, kedangkalan dan kemiskinan kreativitas adalah buahnya.

Empat, di dalam kedangkalan hidup, rasa hampa menganga di dada. Orang pun mencari segala hal untuk mengisi rasa hampa tersebut. Di dalam dunia digital lahirlah para pemburu perhatian. Mereka melakukan segala hal untuk mendapatkan like atau love di media sosial, mulai dari menari-nari, sampai dengan telanjang. Harga diri dan kebahagiaan hidup mereka pun amat tergantung dengan jumlah like dan love yang mereka terima di beragam media sosial tersebut.

Lima, kerinduan lebih dalam sebenarnya adalah kebutuhan untuk diakui. Media sosial menjadi tempat untuk mencari pengakuan. Ini sebenarnya merupakan kebutuhan dasar manusia. Namun, di dalam dunia digital dan masyarakat dangkal, kebutuhan dasar ini meluap hebat secara tak wajar, sehingga seolah menjadi satu-satunya yang terpenting di dalam hidup ini.

Enam, di tengah kedangkalan dan hiruk pikuk dunia digital, agama kematian dari tanah gersang pun merangsek. Kehadirannya memperbodoh dan mempermiskin bangsa kita. Sebenarnya, agama kematian tidak bisa disebut agama, karena agama menghadirkan tata kedamaian dalam hidup, dan bukan kerusakan. Ideologi kematian, sebenarnya, adalah konsep yang lebih tepat untuk menggambarkannya.

Tujuh, kedangkalan hidup berujung panjang. Orang menjadi dangkal berpikir, dan cepat menghakimi. Tak heran, perkembangan dunia digital bergandeng erat dengan cancel culture. Ini adalah tindakan menyerang pribadi orang di dunia digital dengan tujuan menghancurkan reputasi serta karirnya. Fitnah dan sikap menghakimi begitu cepat persis terkait dengan kedangkalan berpikir yang ada.

Delapan, pandangan Martin Heidegger Heidegger tentang ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit) tetap penting di sini. Kedangkalan adalah kata lain dari ketidakberpikiran. Orang mungkin mampu berhitung dan menghafal dengan baik. Namun, ia tidak mampu mempertanyakan secara kritis keadaan yang terjadi, dan melihat lebih dalam dari apa yang tampak di panca indera.

Sembilan, tesis ketidakberpikiran terhubung dengan tesis banalitas kejahatan (Banalität des Bösen), sebagaimana dirumuskan oleh Hannah Arendt. Apa yang salah dibiarkan saja, sehingga menjadi biasa. Ia tidak lagi dilihat sebagai salah, melainkan sebagai sesuatu yang wajar. Akar dari banalitas kejahatan adalah ketidakberpikiran dan kedangkalan yang justru menjadi budaya di dalam dunia digital.

Memaknai-Digitalitas_cover

(Buku silahkan dicek di berbagai toko online)

Korupsi Politik

Ujung dari ini semua adalah korupsi politik. Dalam arti ini, korupsi politik berarti pembusukan yang berurat akar di dalam dunia politik. Inilah yang persis terjadi di Indonesia. Politik berubah dari upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama menjadi ajang memperebutkan kekuasaan demi memuaskan hasrat kerakusan belaka.

Korupsi membuat politik menjadi tak bermutu. Partai-partai politik menjadi busuk, karena diisi manusia-manusia berwawasan sempit dan rakus. Pembagian kekuasaan dalam wujud legislatif, yudikatif dan eksekutif juga menjadi busuk, karena semuanya melanggar sumpah jabatannya untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan pun justru merusak rasa keadilan dan mempermiskin rakyat.

Ada dua ciri dasar dari politik yang tak bermutu. Pertama, politik tersebut bersifat konservatif. Tradisi dan budaya lama yang korup serta busuk dipertahankan. Berbagai masalah sosial, mulai dari kemiskinan sampai kebodohan, pun tak terselesaikan, dan justru semakin besar. Inilah kiranya yang dialami Indonesia sekarang ini.

Yang kedua, politik tak bermutu selalu bersifat eksklusif. Satu kelompok mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan kelompok lainnya. Diskriminasi pun terjadi, dan menciptakan ketidakadilan besar di dalam masyarakat. Satu catatan penting disini: toleransi, sebagai lawan dari sikap eksklusif, hanya berlaku untuk kelompok-kelompok toleran. Kelompok radikal yang berbau ideologi kematian tak layak mendapatkan tempat di dalam masyarakat beradab.

9579235f-17b4-40c2-9029-71c569d21c6c

(Buku silahkan dicek di berbagai toko online)

Empat Langkah Perubahan

Segala yang nyata selalu bersifat relatif. Ia terus berubah, tanpa pernah berhenti. Lebih jauh, segala yang bersifat relatif, atau bergantung pada hal-hal lainnya, tidaklah sungguh nyata. Dalam konteks ini, kedangkalan, korupsi politik dan menjamurnya agama/ideologi kematian bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak.

Ada empat hal yang bisa dilakukan. Pertama, transformasi kesadaran mesti dilakukan. Secara global, kesadaran manusia harus meningkat dari yang sempit distingtif-dualistik menuju ke tingkat yang lebih tinggi (Lihat buku dan link berikut: Kesadaran, agama dan politik) cek link ini: Transformasi Kesadaran. Pendidikan, dalam segala bentuknya, adalah unsur yang amat penting. Bukan pendidikan dogmatis menghafal dan menghitung tiada guna, tetapi pendidikan yang membangun kesadaran dan membebaskan manusia dari kebodohan serta kemiskinan (Lihat buku berikut: Naskah Final, Mendidik Manusia).

Dua, dalam hal ini, kita mesti belajar dari tradisi pencerahan Eropa. Akal budi mesti menjadi penentu kehidupan bersama, bukan agama ataupun tradisi yang sudah membusuk. Tradisi dan agama harus menjadi urusan pribadi yang tak boleh luber ke dunia sosial politik. Pola pikir ilmiah yang bersifat rasional dan kritis juga harus menjadi bagian dari keseharian masyarakat kita, termasuk di dalam penggunaan teknologi digital.

Tiga, bangsa kita perlu mengembangkan agama kehidupan. Agama kehidupan adalah agama yang mencerdaskan dan membebaskan manusia dari kebodohan maupun kemiskinan. Agama kehidupan berpijak pada pengetahuan tentang dunia, dan bukan pada mitos yang diturunkan secara buta dari nenek moyang. Sudah terlalu lama kita hidup dalam cengkraman agama/ideologi kematian yang merusak.

Empat, dalam hal politik, kita mesti mengubah haluan. Kita mesti meninggalkan politik konservatif eksklusif yang selama ini ada. Sebaliknya, kita mesti memeluk politik progresif inklusif untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran yang merata untuk semua (Lihat buku berikut: Teori Politik Progresif Inklusif). Dalam kerangka berpikir politik progresif inklusif, dunia digital tidak lagi melahirkan kedangkalan, melainkan menjadi alat untuk membangun peradaban yang adil dan makmur untuk semua.

Dunia digital adalah dunia dengan segala kemungkinan. Sisi gelap dan sisi terangnya bertaut erat, tanpa sungguh bisa terpisahkan. Dengan pemikiran rasional-kritis dan kesadaran yang tinggi, dunia digital bisa menjadi alat perjuangan untuk mewujudkan keadilan serta kemakmuran bersama. Korupsi politik, seperti yang tengah terjadi sekarang ini, pun bisa diakhiri, atau mungkin dikurangi daya sengatnya. Tunggu apa lagi?

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Dunia Digital, Kedangkalan Kita dan Korupsi Politik

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us