Tulisan ini dimuat di Harian Kompas 11 Februari 2024
Oleh Reza A.A Wattimena, Pendiri Rumah Filsafat, Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik
Pengalaman tertindas adalah pengalaman universal manusia. Ia bisa dalam bentuk penindasan fisik, seperti perbudakan dan penjajahan. Namun, ia juga bisa mengambil bentuk lebih halus, yakni penindasan mental dan spiritual. Selama ratusan tahun, di bawah bendera kolonialisme Eropa dan Jepang, Indonesia mengalami keduanya.
Di balik setiap penindasan, selalu adalah gerakan perjuangan untuk melawan. Energi yang menekan akan ditanggapi dengan energi serupa yang melawan. Ini kiranya tidak hanya berlaku di dunia fisika dalam bentuk hukum ketiga mekanika Newton. Dunia sosial budaya pun memiliki pola serupa.
Ratu Adil
Buku Sindhunata yang berjudul Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik menggambarkan hal tersebut dalam konteks sejarah dan budaya Jawa pada masa kolonialisme Belanda. Ia mengambil rentang waktu antara abad 19 sampai dengan awal abad 20. Buku ini berisi pemaparan sejarah yang sangat luas, kaya serta reflektif. Ini tidak mengherankan, karena buku ini adalah disertasi Sindhunata di Hochschule für Philosophie München, Jerman pada 1992 lalu.
Pertanyaan utama di dalam buku ini adalah, bagaimana nasib rakyat kecil yang hidup dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda? Apa yang memberikan mereka harapan, dan mendorong mereka untuk melakukan perlawanan? Berhadapan dengan pemerintah kolonial Belanda, wong cilik, atau petani Jawa pada masa itu, tentu tak berdaya. Namun, mereka tetap melawan, dan kerap membuat Belanda kewalahan.
“Wong cilik adalah subjek yang bisu. Namun, dalam kebisuannya itu mereka menyimpan beribu kata dan harapan.” (hal. vii) Wong cilik adalah simbol dari mereka yang tertindas, terutama para petani Jawa yang hidup dalam hisapan kolonialisme Belanda. Di dalam ketertindasannya itu, mereka berharap pada Sang Ratu Adil yang akan memimpin mereka keluar dari penderitaan, dan membawa kebebasan serta kesejahteraan yang mereka rindukan.
Petani dilihat oleh Sindhunata tidak sebagai obyek pasif. Sebaliknya, petani menjadi subyek sejarah. Petani adalah pelaku yang sadar, dan terlibat dalam pembentukan budaya dan politik jamannya. Dengan sudut pandang ini, Sindhunata melakukan penelitiannya secara mendalam. Di dalam ranah ilmu-ilmu sosial, metode ini kerap kali disebut juga sebagai penulisan “sejarah dari bawah.”
Model penelitian semacam ini memang tidak bersifat argumentatif. Tidak ada argumen sistematif yang ditawarkan, seperti layaknya disertasi filsafat pada umumnya. Sindhunata memilih menggunakan metode historis-naratif. Ia bertutur dengan detil, disertai dengan refleksi yang mendalam, tentang kegelisahan, perjuangan serta harapan para petani yang hidup dalam kolonialisme Belanda.
Konsep kunci disini adalah gerakan Ratu Adil di Jawa. Gerakan ini terjadi dalam skala yang begitu luas di Jawa di abad 19 sampai awal abad 20. Sindhunata memilih empat gerakan utama di masa itu. Yang pertama adalah Perang Jawa pada masa politik merkantilisme. Yang kedua adalah Geger Pulung di dalam konteks politik tanam paksa. Yang ketiga adalah pemberontakan Kyai Hasan Mukmin, dan yang keempat adalah perang Ratu Adil dari gerakan Sarekat Islam di awal pergerakan nasional.
Konsep Ratu Adil berakar pada ramalan Jayabaya (Raja Kediri 1135-1159). Di dalam ramalan ini terdapat pemahaman sejarah yang disebut juga sebagai Yuga. Konsep Yuga menjanjikan hadirnya seorang pembaru dunia yang melepaskan dunia dari segala bentuk kejahatan. Kekacauan dan kehancuran diperlukan (masa Kaliyuga), supaya dunia bisa ditata ulang, dan menghadirkan sebuah masa kejayaan penuh kemakmuran serta keadilan.
Penjajahan dari pemerintah kolonial Belanda dianggap sebagai masa kehancuran dan kekacauan. Walaupun menyakitkan, namun masa ini tetap diperlukan. Kaliyuga adalah masa persiapan untuk datangnya masa keemasan. Ratu Adil adalah pembaru dunia yang melepaskan derita dan ketidakadilan dari kehidupan manusia.
Ramalan Jayabaya ini memberikan harapan pada Wong Cilik. Mereka tidak putus asa di hadapan penindasan yang seolah tak ada habisnya. Sejarah pun dipahami dengan cara baru. Kekuasaan dan keadaan politik secara keseluruhan yang ada perlu untuk ditanggapi secara kritis, ketika masyarakat hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang mutlak, seperti pandangan yang tersebar luas di berbagai kerajaan Nusantara di masa lalu.
Gerakan Ratu Adil adalah teriakan sekaligus harapan kaum tertindas. Penyebabnya cukup jelas, yakni kemiskinan ekonomis yang mencekik, dan ketertindasan politik yang mendalam. Ratu Adil juga tidak bisa dianggap sebagai impian kosong. Ia lahir dari tanah yang sungguh nyata, yakni penindasan tanpa henti terhadap sawah, ladang dan kebun milik petani yang hidupnya sungguh menjadi sulit. Ratu Adil adalah harapan sekaligus kesempatan untuk sungguh merasakan penderitaan wong cilik, yakni kaum yang tertindas oleh kerakusan orang lain, serta berjuang untuk pembebasan mereka.
Lebih jauh, Sindhunata melihat kaitan mendalam antara harapan akan Ratu Adil dengan Ayam Jago di dalam tradisi Jawa. “Dalam tradisi penantian akan Ratu Adil,” demikian tulisnya, “jago adalah simbol harapan bagi orang Jawa, khususnya Wong Cilik.” (hal. 604) Kaitan lebih dalam dilihatnya di dalam ritual pernikahan Jawa. Perjumpaan pengantin di dalam pernikahan itu bagaikan pemenuhan janji datangnya dunia baru, dimana cinta dan kedamaian menjadi warna utamanya. Di akhir bukunya, Sindhunata melihat hubungan antara Ratu Adil, Tradisi Jawa dan agama-agama besar dunia.
Refleksi Lanjutan
Ada tiga hal yang kiranya menjadi refleksi lanjutan dari karya Sindhunata ini. Pertama, membaca buku Sindhunata, mata saya terbuka. Saya jadi paham, mengapa bangsa Indonesia sulit sekali bergerak ke arah kemakmuran dan keadilan bersama untuk semua. Selama ratusan tahun, lewat penjajahan yang begitu kejam, budaya, struktur sosial dan alam dirusak demi kerakusan pemerintah kolonialisme Belanda. Sampai detik ini, kita masih mewarisi struktur kepemimpinan politik yang rusak, yang kerap tidak peduli pada kemakmuran serta keadilan rakyat, dan hanya berfokus pada pemuasan kerakusan hasrat mereka sendiri.
Dua, pemahaman akan melahirkan kesadaran baru. Buku Sindhunata ini menawarkan kesadaran baru untuk memahami jati diri bangsa kita, terutama yang terkait dengan sejarah Jawa dan kolonialisme Belanda. Secara bertahap, dengan kesadaran baru ini, kita bisa mulai mengambil langkah nyata untuk memperbaiki keadaan. Secara konkret, ini bisa dimulai dengan memilih dengan menggunakan akal sehat serta kejernihan nurani di dalam pemilu 2024 ini.
Tiga, lepas dari kekayaan dan kedalaman karya Sindhunata ini, saya ada satu catatan kritis untuk karyanya. Buku ini bersifat naratif dan historis. Ini merupakan kekuatan sekaligus kelemahan dari buku ini. Orang bisa hanyut dalam narasi yang indah, namun tak mendapatkan pengetahuan apapun yang bersifat sistematik. Dengan kata lain, tidak ada kebaruan argumen yang ditawarkan Sindhunata. Ia hanya melengkapi beragam penelitian yang sudah ada sebelumnya terkait dengan era kolonialisme Belanda di Indonesia, terutama di Jawa.
Lepas dari itu, kekayaan dan keindahan buku ini tentu tidak bisa dilewatkan oleh pembaca Indonesia. Pilihan kata Sindhunata begitu indah, tanpa kehilangan ketajamannya, sekaligus ilustrasi gambar yang memukau dari Budi Ubrux. Filsafat berbalut sastra dan sejarah tidak hanya membuka wawasan kita, tetapi juga menawarkan kenikmatan tiada tara. Ini adalah sebuah buku yang sempurna.