Film ‘Maid’ Perjuangan Korban KDRT yang Berani Keluar dari Rumah

film-‘maid’-perjuangan-korban-kdrt-yang-berani-keluar-dari-rumah

Film “Maid” dibuka dengan seorang tokoh utama perempuan, Alex Russell (Margaret Qualley) bersama putri balitanya yang pergi meninggalkan rumah di malam hari, saat suaminya sedang tidur.

Alex Russel adalah perempuan berumur 25 tahun. Ia memutuskan lari dari suaminya, Sean Boyd (Nick Robinson), yang sudah banyak melakukan kekerasan. 

Satu malam setelah mereka bertengkar hebat, Alex secara diam-diam membawa putrinya yang baru berusia dua tahun, Maddy Boyd (Rylea Nevaeh Whittet) untuk kabur dari rumah. Mereka hanya membawa uang sekitar 18 dollar atau sekitar Rp. 270 ribu.

Mereka pergi tanpa kejelasan mau kemana, karena tidak tahu tempat yang harus dituju. Yang mereka butuhkan adalah ruang aman, minimal pada malam itu. Sampai akhirnya mereka harus tidur di dalam mobil di pinggir jalan

Pada adegan selanjutnya, mereka harus menjadi gelandangan dan keluar masuk penampungan, sesekali numpang di rumah saudara dan teman.

Film “Maid” adalah sebuah mini seri drama Amerika Serikat yang ditayangkan di Netflix dan dibuat oleh Molly Smith Metzler. Serial ini terinspirasi oleh memoar Stephanie Land, Maid: Hard Work, Low Pay, and a Mother’s Will to Survive. Ceritanya berfokus pada seorang ibu muda yang lolos dari hubungan yang kasar atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ KDRT, kemudian ia berjuang untuk menafkahi putrinya dengan mendapatkan pekerjaan membersihkan rumah. 

Baca Juga: Gerakan Waithood, dari Para Perempuan yang Pilih Menunda Perkawinan

Maid adalah film yang mendapatkan banyak penghargaan seperti Penghargaan Serikat Penulis Amerika untuk Long Form – Adapted, AFI TV Programs of the Year sekaligus sejumlah nominasi

Film Maid berfokus pada isu Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Amerika dengan segala kerumitan persoalan yang dihadapi perempuan. Film cukup detail mengangkat kebutuhan dasar perempuan korban yang mungkin dianggap “kecil” oleh publik, tetapi menjadi pertimbangan besar bagi perempuan untuk berani memutuskan berpisah atau pergi dari pasangannya.

Ini bisa jadi refleksi bagaimana seorang perempuan korban KDRT berani pergi ke luar dari rumah dan menghadapi persoalan baru seperti bagaimana mendapatkan tempat tinggal, mencari nafkah, kebutuhan pangan, perawatan anak, dan cara untuk memenuhi kebutuhan primer lainnya?. 

Setelah itu, Alex mendapatkan pekerjaan sebagai petugas kebersihan. Maka problem selanjutnya adalah dimana ia bisa menitipkan anaknya?. Alex kemudian dihadapkan pada satu pilihan yang tak mudah, yakni menitipkan Maddy kepada ibunya, Paula Langley (Andie MacDowell), seorang perempuan yang sedang mengidap bipolar. Kerisauan hatinya terjadi, seharusnya ia bisa membantu ibunya, namun ia jadi menambah berat beban ibunya. 

Maid menjadi film yang sangat istimewa karena banyaknya perjuangan Alex sebagai survivor digambarkan dengan detail sampai perjuangannya mendapatkan hak asuh anaknya ke pengadilan.

Walau Film ini berlatar belakang masyarakat di Amerika yang secara sistem sosial, politik, dan ekonominya kondisi lebih baik dibandingkan di Indonesia, tetapi situasinya tidak jauh beda yang dihadapi oleh para perempuan korban KDRT di Indonesia.

Kita coba kontekskan pada kasus KDRT di Jakarta misalnya. Selama ini aku tinggal di daerah Rusun Cawang, Jakarta Timur, sebuah kawasan masyarakat kelas bawah dengan segala persoalan masyarakat urban, sehingga isu-isu KDRT menjadi persoalan yang sering terjadi di daerah ini. Baru saja ku dengar, ada seorang perempuan memiliki dua putri, remaja dan balita.  Perempuan itu mengalami KDRT yang terus berulang tetapi terus kembali lagi pada suaminya.

Baca Juga: Deretan Pembunuhan Perempuan, Jakarta Feminist Minta Pemerintah Selesaikan Femisida

Sampai para saudara dan tetangga seperti merasa “kelelahan”mengingatkan korban untuk berani pergi dari pasangannya. Padahal hubungan perkawinan nya hanya terikat perkawinan siri/perkawinan yang tak tercatatkan oleh negara. Ini adalah perkawinan siri kedua yang dialami oleh perempuan korban ini. Dari dua perkawinan ini, dua-duanya ia mengalami KDRT dengan beragam bentuk.

Saat ini korban tak mampu memutuskan untuk berpisah dari pasangan keduanya, alasan utamanya karena ada kebutuhan tempat tinggal, pangan, pendidikan anak, pekerjaan dan kerja perawatan bagi anak. Kalau kebutuhan itu dilimpahkan pada keluarga besarnya, sementara keluarga besarnya juga dalam kondisi yang miskin juga, ini jadi membuat sulit bagi korban untuk mengambil keputusan.

Cerita ini jadi contoh bahwa tidak hanya di Amerika, di Indonesia pun perempuan mengalaminya, yaitu untuk berjuang memenuhi kebutuhan mendasar ini, persis sama yang digambarkan dalam cerita film Maid. Ini yang membuat seorang perempuan korban KDRT membutuhkan berkali-kali kekuatan sampai akhirnya berani memutuskan berpisah secara permanen.

Itupun tidak semua perempuan korban berani mengambil keputusan, pada kasus lain ada banyak perempuan sampai akhir hidupnya mengalami KDRT dari pasangannya.

Para perempuan KDRT ini, tidak cukup hanya mendapatkan dampingan hukum atau psikologi saja, namun mereka harus mendapatkan akses pangan, rumah dan pekerjaan. 

Jika dalam film Maid digambarkan ada dukungan dari pemerintah dan organisasi sosial di Amerika seperti tempat tinggal dan akses pekerjaan untuk para perempuan korban KDRT, bagaimana dengan di Indonesia?

Baca Juga: Viral Suami WNA Selingkuh dan Rebut Anak Kandung, Apa Upaya Hukum Yang Bisa Ditempuh?

Di konteks Indonesia, konstruksi sosial menempatkan perempuan subordinat untuk mengurus ruang domestik, sehingga semakin sulit bagi perempuan untuk membangun kemandirian atas putusannya.  Ada banyak “kewajiban” dan label tanggung jawab pada diri perempuan sebagai istri maupun sebagai ibu. Sehingga situasi ini semakin mempersulit perempuan untuk berani memutuskan sesuatu dalam hidupnya sendiri maupun untuk masa depan anaknya.

Maka, pemerintah Indonesia perlu melakukan pendekatan penanganan KDRT bagi perempuan secara komprehensif dan terintegrasikan pada banyak sektor.

Banyak perempuan memilih bertahan terus menjadi korban KDRT, salah satu alasan utamanya karena tidak tersedia dukungan penanganan menyeluruh bagi korban, baik untuk perempuan maupun anaknya. Kalau mau lepas dari pasangan, mau kemana?

Perempuan korban KDRT tidak tahu harus pergi kemana, sulitnya menemukan tempat yang aman dan terjamin kesejahteraan bagi dirinya maupun anaknya, minimal untuk proses pemulihan.

Situasi inilah yang dialami oleh perempuan korban yang ada di Rusun Cawang. 

“Bagaimana dengan tempat tinggal, keamanan anakku jika saya akan memutuskan bekerja, mas?,” Ungkap korban kepadaku.

Baca Juga: Buku ‘Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori’ Perjuangan Penyintas KDRT Berdamai dengan Masa Lalu

Perihal ini aku lalu coba komunikasikan dengan salah satu organisasi sosial yang fokus bantuan perempuan korban KDRT, tapi ternyata juga tidak ada layanan komprehensif dan terintegrasi bagi perempuan korban dan anaknya di wilayah Jakarta.

Layanan dukungan yang diberikan oleh organisasi sosial dan pemerintah sebatas dukungan psikologis maupun bantuan hukum jika dibutuhkan sampai proses pengadilan. Padahal tidak semua kasus KDRT penyelesaiannya akan masuk ke proses hukum formal. Tetapi kebutuhan tempat tinggal, pangan, kerja perawatan, dan pekerjaan sesuatu yang pasti dibutuhkan korban, apalagi mereka yang dari kelompok miskin.

Maka menjadi penting dipikirkan oleh pemerintah pusat sampai daerah, lembaga independen untuk perempuan, dan para aktivis hak perempuan dapat mengembangkan kebijakan penanganan perempuan korban kekerasan berbasis gender secara komprehensif. Mulai dari kebutuhan paling praktis (jangka pendek), seperti rumah aman, pangan, kesehatan, dan kerja perawatan bagi anak maupun dirinya sendiri. Kemudian kebutuhan yang lebih jangka menengah-panjang, seperti akses keterampilan hidup, bantuan hukum, tempat tinggal, sampai akses pekerjaan untuk meneruskan hidup bagi korban dan anaknya.

Pendekatan komprehensif ini tidak bisa diselesaikan oleh satu institusi saja, atau diharapkan pada masyarakat sipil tetapi kerja kolaborasi, baik pemerintah pusat sampai daerah, akademisi, masyarakat sipil, maupun swasta atau perusahaan.

Baca Juga: Kenapa Perlu Ada Konseling Bagi Laki-Laki Pelaku KDRT?

Perusahaan atau swasta sangat dibutuhkan perannya misalnya dalam konteks peningkatan skill ataupun peluang pekerjaan bagi setiap korban kekerasan berbasis gender yang membutuhkan pekerjaan untuk kelangsungan hidup.

Cerita film Maid dan satu kasus perempuan korban KDRT di Rusun Cawang, menjadi bukti dan gambaran umum pentingnya dukungan komprehensif bagi penanganan perempuan dan anak korban.

Selain penanganan, tentunya pencegahan juga harus terus menerus sosialisasi pada publik tentang kekerasan berbasis gender, sehingga dari hulu sampai hilir dapat dikerjakan secara masif oleh semua pihak.

(sumber foto: Netflix)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Film ‘Maid’ Perjuangan Korban KDRT yang Berani Keluar dari Rumah

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us