Gemerlapnya kota Kudus saat ini, tak lekang akan warisan kuliner yang kaya akan sejarah dan cita rasa, yaitu jenang Kudus. Dalam setiap gigitanya, terkandung sejarah panjang Islamisasi di Kudus yang melibatkan peran besar Walisongo.
Islamisasi di Kudus tidak lepas dari peran sunan yang ada di lokasi tersebut, antara lain Sunan Kudus, Sunan Muria, Kyai Telingsing, dan Mbah Dudo (Indrahti, 2013). Mereka telah menyebarkan agama Islam dengan berbagai dinamikanya.
Salah satu syekh yang paling berpengaruh dalam proses islamisasi di Kudus adalah Syekh Ja’far Shaddiq, yang disebut juga sebagai Sunan Kudus.
Sunan Kudus, dalam upaya penyebaran agama Islam di Kudus, dikenal sebagai sosok bijaksana dan berpengetahuan luas. Beliau menghormati nilai-nilai warisan budaya dan tradisi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, serta menggabungkan nilai-nilai lama dengan nilai-nilai budaya Islam untuk menciptakan harmoni yang unik.
Pendekatan Sunan Kudus menggabungkan elemen budaya secara bijaksana, memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat Hindu di Kudus, sehingga proses penyebaran Islam berjalan lancar dan efektif. Sikapnya yang bijaksana dan simpatik membuat masyarakat Kudus menerima agama baru tersebut dengan sukacita.
Melalui proses islamisasi ini terjadilah akulturasi budaya, jenang Kudus tidak hanya menjadi makanan khas yang lezat saja, tetapi juga simbol dari keselarasan antara tradisi lokal yang fenomenal, dan agama Islam.
Jenang Kudus menjadi representasi nyata dari harmoni antara nilai-nilai budaya lokal dan ajaran Islam yang diusung oleh Sunan Kudus dalam proses penyebaran agama di Kudus.
Seperti halnya Sunan Kudus yang bijaksana dalam menggabungkan nilai-nilai warisan budaya dengan ajaran Islam, jenang Kudus juga mencerminkan perpaduan yang serupa yaitu, kebudayaan Islam Nusantara yang unik.
Tradisi dan sejarah pembuatan jenang dihubungkan erat dengan kisah Mbah Dempok dan cucunya. Mbah Dempok Soponyono, saat sedang bermain burung dara di tepi Sungai Kaliputu, mengalami insiden di mana cucunya tercebur dan hanyut.
Meskipun berhasil diselamatkan, cucu Mbah Dempok mengalami gangguan dari Banaspati, makhluk halus berambut api. Meskipun Sunan Kudus menganggap cucu Mbah Dempok telah meninggalkan, Syekh Jangkung meyakini bahwa cucunya hanya mati suri.
Untuk membangunkannya, Syekh Jangkung meminta ibu-ibu untuk membuat jenang bubur gamping. Mitos ini menjadi dasar dari industri jenang Kudus dan mengilhami ibu-ibu Desa Kaliputu untuk terlibat dalam industri jenang.
Sedangkan menurut cerita rakyat, jenang Kudus bermula dari ujian Sunan Kudus terhadap muridnya, Syekh Jangkung alias Saridin, dengan memakan bubur gamping di tepi Sungai Gelis di Desa Kaliputu.
Meskipun bubur gamping sebenarnya tidak layak dikonsumsi karena mengandung kalsium karbonat dan biasanya digunakan untuk material bangunan, Saridin tetap sehat.
Hal ini membuat Sunan Kudus menyatakan, “Suk nek ono rejaning jaman wong Kaliputu uripe seko jenang,” yang berarti bahwa suatu saat nanti, kehidupan warga Desa Kaliputu akan bergantung pada industri pembuatan jenang.
Menelaah dari sejarah yang ada, tentunya terdapat persinggungan antara jenang Kudus dan islamisasi yang telah terjadi di Kudus, salah satunya yaitu menurut (Saifuddin, 2013), setidaknya terdapat beberapa tanda yang memuat pesan simbolik, di antaranya adalah pertama, tokoh masyarakat lokal yang dalam hal ini diwakili oleh sosok Mbah Dempok Soponyono.
Mbah Dempok adalah seorang figur yang disegani yang mempunyai hobi bermain burung dara pada masa itu. Kedua, tokoh ulama yang berdakwah dan mensyiarkan agama Islam, yang dalam hal ini berwujud Sunan Kudus, Syekh Ja’far Shodiq dan muridnya yakni Syekh Jangkung (Saridin).
Ketiga, miniatur menara Kudus yang terbuat dari gundukan jenang yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai menara Kudus. Keempat, miniatur masjid. Kelima, iring-iringan pembawa tebok, dan keenam, prosesi pembuatan jenang.
Meskipun jenang Kudus telah menjadi bagian tak terpisahkan dari nilai religius masyarakat muslim di Kudus dan kerap dihadirkan dalam acara keagamaan, penggunaan jenang dalam konteks keagamaan dapat menimbulkan pertanyaan terkait akulturasi budaya.
Islam menekankan pentingnya kesucian dan kepatuhan pada ajaran agama tanpa menambahkan praktik-praktik keagamaan baru yang tidak diajarkan dalam Islam. Namun, dalam konteks keberagaman budaya, penting untuk mempertimbangkan bahwa budaya makanan adalah bagian penting dari identitas dan warisan budaya suatu komunitas.
Pendekatan yang mengutamakan dialog, pemahaman, dan toleransi antara nilai-nilai budaya dan ajaran agama dapat membantu menciptakan harmoni dan keselarasan dalam menjaga keberagaman dan keberlanjutan tradisi tanpa melanggar prinsip-prinsip agama yang bersangkutan.
Dengan menjaga keseimbangan antara nilai-nilai budaya dan kepatuhan pada ajaran agama, dapat terbentuk hubungan yang harmonis dan saling menghormati di tengah masyarakat yang kaya akan keberagaman budaya.
Fenomena Jenang Kudus ini tidak luput dari peran Walisongo dalam penyebaran agama Islam di Jawa khususnya daerah Kudus, Jenang Kudus sendiri memiliki makna dan simbolisme yang dalam acara keagamaan, yaitu Perayaan Satu Hijriah atau Satu Syura, perayaan Idul Fitri, dan perayaan Iduladha.
Jenang Kudus, makanan yang awalnya hanya camilan dari Desa Kaliputu, ternyata memiliki makna daan sejarah yang luar biasa unik, dengan proses pembuatan yang memerlukan kesabaran, ketekunan, dan kolaborasi, memiliki nilai-nilai kehidupan.
Filosofi ini mencerminkan nilai-nilai kehidupan dan keagamaan yang dihayati oleh masyarakat Jawa. Penghormatan terhadap proses pembuatan dan pemahaman akan simbolisme juga menjadi bagian integral dari proses dan pemaknaan Jenang Kudus.
Dalam konteks keagamaan, jenang Kudus menjadi simbol keberkahan, kemurahan rezeki, dan persatuan dalam berbagai acara keagamaan seperti karnaval “tebokan”. Dengan demikian, jenang Kudus tidak hanya menjadi sajian lezat dalam budaya kuliner Jawa, tetapi juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan antara sesama umat dalam konteks keagamaan. [AR]