Sujatin Kartowijono Sang Aktivis Kesetaraan Gender dari Yogyakarta

sujatin-kartowijono-sang-aktivis-kesetaraan-gender-dari-yogyakarta

2 min read

Jauh sebelum Indonesia merdeka posisi perempuan dalam struktur sosial menjadi makhluk number of second atau makhluk kelas dua setelah laki-laki.

Hampir segala lini kehidupan perempuan diatur oleh laki-laki. Hal ini berdampak buruk sebab tidak terpenuhinya hak-hak perempuan yang tidak disadari dan dimengeri oleh laki-laki.

Pembatasan berpendapat juga turut melemahkan posisi perempuan bahkan protes dianggap sebagai sebuah pembangkangan pada kehendak laki-laki. Seolah kebenaran hanya milik laki-laki saja, jadi apa pun yang dimau oleh laki-laki, mereka akan memaksakan sesuai kehendaknya baik memainkan legitimasi ayat-ayat suci ataupun dengan relasi kuasa yang dimilikinya.

Era sebelum Indonesia Merdeka, banyak perempuan yang tidak mengakses pendidikan atau mungkin tidak ada kesempatan untuk belajar maka mereka akan rentan mendapatkan perlakuan semena-mena dalam diskursus patriarki.

Perempuan hanya diposisikan sebagai barang yang bisa dimiliki dan dibuang sesuka hati. Secara tidak sadar Perempuan pun mengaminkan apa yang dialaminya sebagai kodrat dari yang Maha Kuasa, padahal itu adalah konstruksi patriarki yang sengaja dibangun agar laki-laki tetap langgeng posisinya di atas perempuan.

Namun, konstruksi patriarki ini tidak berlaku bagi mereka yang mengenyam pendidikan dan memiliki kesadaran intelektual. Sebut saja misalnya R.A Kartini, Dewi Sartika, Ruhana Kudus, Hj. Rangkoyo Rasunan Said, Nyai Hajar Dewantoro, R.A Soekanto, Siti Hayinah, Siti Munjiyah dan termasuk tokoh yang kita bahas ini, Sujatin Kartowijono.

Semua tokoh emansipasi wanita tersebut saya lihat mereka memang terlahir dari keluarga berada dan terpandang jadi wajar jika mereka mendapatkan akses pendidikan yang kemudian mengubah bola pikir mereka.

Hal ini tidak mungkin digapai dan jadi gerakan jika mereka lahir dari keluarga kekurangan atau miskin. Pada masa Kolonial Belanda orang yang diizinkan sekolah hanya anak-anak bupati atau pejabat negeri ini, yang termasuk juga saudagar dan tuan tanah.

Meskipun mereka lahir dari keluarga berada tetapi namun yang perlu diapresiasi adalah semangat mereka belajar sampai membentuk gerakan-gerakan perempuan bahkan ada yang masih eksis hingga hari ini misalnya ‘Aisiyah.

Hal yang cukup miris adalah nama-nama tokoh perempuan tidak banyak muncul ke permukaan bahkan sedikit yang masuk dalam mata pelajaran sejarah Indonesia hampir semua tokoh yang dimunculkan adalah laki-laki.

Ini membuktikan bahwa alam pikiran patriarki belum benar-benar sirna dari negeri ini. Saya saat ini lebih senang dengan kajian sejarah berbasis tokoh-tokoh lokal yang mana mereka terkubur oleh sejarah, dan harus dimunculkan ke permukaan.

Saya kira kajian seperti ini tidak banyak yang menekuni kecuali mereka yang suka sejarah, antropologi atau sosiologi. Kali ini saya akan mengangkat nama aktivis kesetaraan gender dari Yogyakarta yaitu Ibu Sujatin Kartowijono. Nama ini mungkin tidak pernah didengar apa lagi dirayakan sebagaimana Kartini.

Sujatin lahir di Wates pada 9 Mei 1907 dan wafat pada 1 Desember 1983 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia lahir dari keluarga priyayi, ayahnya Mahmud Joyohadinoro merupakan seorang pegawai kereta api milik Belanda. Sementara ibunya, R.A Kiswari merupakan seorang bangsawan Yogyakarta.

Sejak kecil Sujatin hidup dalam lingkungan patriarkis, dan bahkan ia diperlakukan kurang baik oleh ayahnya sebab dirinya seorang perempuan. Sikap ayahnya seperti itu pada Sujatin sebagai bentuk rasa kecewaya karena tidak mendapat anak laki-laki.

Bentuk atau model konstruksi semacam ini mungkin mengadopsi budaya jahiliah di Timur Tengah sebelum Rasulullah lahir. Bagi bangsa Arab jahiliyah anak laki-laki sangat diagungkan dibandingkan anak perempuan.

Mendapat perlakuan yang tidak enak dari ayahnya, Sujatin semangat belajar dan ia yakin bahwa yang akan membawa derajat tinggi adalah pendidikan. Sejak remaja ia suka sekali membaca buku-buku baik berbahasa Belanda, Inggris, Jawa, dan Indonesia.

Setelah dewasa ia aktif sebagai aktivis Jong Java dan banyak menulis kegelisahanya di Koran Jong Java dengan menyamarkan namanya jadi Garbera.

Sekitar tahun 1926 Sujatin dan teman-temannya mendirikan organisasi Poetri Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Organisasi ini banyak menghimpun guru dari berbagai daerah dan sempat mengadakan kongres perempuan.

Kongres perempuan pertama terjadi pada 22-25 Desember 1928 di Joyodipuran Yogyakarta. Saat itu peserta yang hadir sekitar 600-an aktivis perempuan.

Karier Sujatin semakin melejit saat ia banyak bergabung ke berbagai organisasi perempuan. Saya sangat salut dengan ia sebab rela meninggalkan kekasihnya demi memperjuangkan hak-hak perempuan.

Ia sibuk wira-wiri Jakarta-Yogyakarta-Surabaya untuk menghimpun suara perempuan agar merdeka dari belenggu patriarki. Idealismenya sangat tinggi sampai-sampai ia selalu menolak ketika diajak pacarnya main.

Yang ada dalam pikiranya saat itu hanya bagaimana perempuan bisa memiliki posisi dalam struktur sosial.  Kartini merupakan sumber inspirasi bagi Sujatin dalam pergerakan kesetaraan gender.

Ia banyak membaca tulisan-tulisan Kartini dan sering kirim surat padanya. Sujatin memiliki kesadaran bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki.

Ia berjasa besar untuk negeri ini terutama peranya dalam mengangkat derajat kaum perempuan. Berkat perjuanganya dengan beberapa tokoh lain kini muncul berbagai macam organisasi perempuan yang menguliti berbagai isu sesuai dengan dinamika perkembangan zaman.

Akhir kata untuk menutup tulisan ini, perlu saya garisbawahi bahwa banyak tokoh perempuan yang berjasa besar namun namanya terpendam oleh debu sejarah.

Maka, salah satu upaya saya yaitu mengangkat nama-nama yang terpendam itu melalui tulisan sederhana. Kita terlalu dosa besar jika melupakan jasa-jasa besar para pendahulu, terlebih tidak melanjutkan apa yang mereka perjuangkan. [AR]

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Sujatin Kartowijono Sang Aktivis Kesetaraan Gender dari Yogyakarta

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us