Stop Sebut Buruh Migran ‘Pahlawan Devisa’, Ini Konstruksi Patriarki di Era Surplus Pekerja

stop-sebut-buruh-migran-‘pahlawan-devisa’,-ini-konstruksi-patriarki-di-era-surplus-pekerja

Pertumbuhan penduduk yang cepat telah menyebabkan Indonesia menghadapi surplus pekerja karena jumlah angkatan kerja yang melimpah. Surplus tenaga kerja yang tidak diimbangi dengan peningkatan lapangan pekerjaan mendorong munculnya berbagai alternatif. Salah satu di antaranya adalah bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara pengirim buruh migran tertinggi kedua di Asia Tenggara (Kontan, 2023). Dari total 4,6 juta buruh migran internasional Indonesia, 44% di antaranya adalah perempuan yang memilih bekerja di sektor non-formal seperti pekerja rumah tangga (PRT). Sayangnya, pilihan ini sering kali menjadi ajang eksploitasi ketika negara pemberi kerja memanfaatkan tenaga kerja murah dari negara berkembang. Sementara negara asal pekerja sendiri gagal menyediakan pekerjaan yang layak dan aman bagi warganya. 

Beragam faktor yang mendorong perempuan bermigrasi umumnya terkait dengan kesulitan ekonomi di dalam negeri. Seperti kemiskinan, upah yang rendah, dan minimnya kerja yang layak. Di samping itu, feminisasi migrasi (feminization of migration) menjadi salah satu karakteristik umum negara miskin. Ini justru sering dianggap kurang penting untuk pembahasan arus investasi yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi (Soetjipto, 2017). Meskipun sering diabaikan, remitansi dari buruh migran perempuan berkontribusi dalam menyumbang devisa bagi negara. Sehingga mereka dijuluki sebagai ‘pahlawan devisa’ negara (Udasmoro & Setiadi, 2021). 

Baca Juga: The Voice: Miskin dan Putus Asa, Para Perempuan Putuskan Jadi Pekerja Migran

Namun, realitas di balik gelar pahlawan devisa negara tak seindah yang dibayangkan. Buruh migran perempuan terjebak dalam kondisi yang disebut sebagai triple burden atau beban ganda simultan: sebagai buruh, sebagai migran, dan sebagai perempuan dalam kondisi rentan (Pettman, 2010). Tak jarang, mereka juga menghadapi absennya perlindungan hukum dan perlindungan sosial yang merupakan hak-hak mendasar pekerja (Habibi, 2016).

Ironisnya, label ‘pahlawan devisa negara’ tetap disematkan pada para buruh migran perempuan. Padahal, mereka kerap menghadapi eksploitasi dan perampasan hak. Mengembalikan hak-hak mereka bukan hanya tentang memperbaiki kondisi kerja. Tetapi juga tentang menghapus diskriminasi gender dan memperjuangkan hak-hak dasar buruh. 

Diskriminasi gender juga telah lama menjadi tantangan utama. Struktur patriarkis yang masih dominan memperkuat pandangan bahwa pekerjaan domestik adalah tanggung jawab perempuan semata. Pemahaman ini melanggengkan subordinasi terhadap pekerjaan yang khusus bagi perempuan karena dianggap tidak memerlukan keahlian tertentu. Akibatnya, kontribusi perempuan dalam kerja domestik diremehkan — bahkan dianggap tidak penting — baik secara ekonomi maupun sosial. Stereotipe ini yang membatasi partisipasi perempuan sebagai buruh dengan martabat yang sama dengan laki-laki. 

Mengurai dan Menggugat Kembali Martabat Buruh Migran Perempuan 

Buruh migran perempuan di sektor informal menjadi salah satu kelompok rentan dalam pasar global saat ini. Mereka sering kali terpaksa memilih pekerjaan di luar negeri untuk memperbaiki kondisi ekonomi, meski harus menghadapi risiko eksploitasi dan kekerasan. Alasan utama di balik fenomena ini mencakup minimnya persyaratan kualifikasi pendidikan di sektor informal (Prastiwi, 2016). 

Kehidupan buruh migran perempuan kerap berada di bawah perlindungan hukum yang minim dan akses terbatas terhadap jaminan sosial (Udasmoro & Setiadi, 2021). Mereka cenderung terperangkap dalam pekerjaan tidak stabil dengan jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Kasus eksploitasi kerap terjadi, terutama dalam sektor informal (Low et al., 2023). Selain itu, banyak dari mereka dihadapkan pada tuntutan membayar uang sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan. Meskipun dipandang sebagai pahlawan devisa, realitas yang dihadapi oleh buruh migran perempuan jauh dari glamor yang disorot oleh pemerintah. 

Baca Juga: Apa Saja Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Bekerja Sebagai PRT di Luar Negeri?

Upaya pemerintah dalam mereformasi kebijakan ketenagakerjaan sangat krusial untuk melindungi buruh migran perempuan. Aturan ketenagakerjaan yang kaku di Indonesia menyebabkan penciptaan lapangan kerja terhambat serta kegagalan memberikan perlindungan yang memadai bagi mereka yang bekerja di luar negeri (Adha et al., 2020). Reformasi ini harus mencakup perluasan lapangan kerja serta peningkatan perlindungan bagi buruh yang rentan. Selain itu, upaya ini juga harus didukung oleh advokasi buruh dan gerakan buruh yang kuat untuk memastikan hak-hak pekerja terlindungi.

Mengatasi surplus pekerja dan tingginya angka buruh migran perempuan di Indonesia membutuhkan pendekatan yang sistemik, bukan sekadar solusi individu. Negara harus tanggap merespon karena permasalahan ini terkait dengan ketimpangan struktural yang memerlukan intervensi pada level sistem. Dengan membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya di dalam negeri, pemerintah dapat memastikan bahwa rakyat tidak perlu mencari pekerjaan sebagai buruh migran yang berisiko dan rentan terhadap eksploitasi. 

Jalan Panjang Menuju Keruntuhan Konstruksi Patriarkis 

Belakangan, paradigma feminisme memunculkan salah satu konsep terkait dengan perempuan dan migrasi. Yakni feminisasi migrasi (feminization of migration). Sebelumnya, kajian migrasi — seperti dalam karya E.G Ravenstein (1885) — lekat dekat corak laki-laki karena pemenuhan kebutuhan ekonomi yang mendorong mereka untuk bermigrasi. Ravenstein beranggapan bahwa pemenuhan kebutuhan ekonomi bukan menjadi tanggung jawab perempuan, seolah-olah perempuan sangat bergantung pada peran laki-laki. Namun, saat ini, studi populer dan akademis semakin menekankan pentingnya mempertimbangkan peran perempuan dalam migrasi dan memahami kesetaraan gender. 

Dalam buku The Second Sex, Simone de Beauvoir menyoroti ketidaksetaraan perempuan dan posisi mereka yang sering dianggap rendah. Menurut Beauvoir dan Parshley (1949), perempuan terjebak dalam ruang domestik yang menguntungkan laki-laki karena takdir fisiologis. Judith Butler (2002), dalam Gender Trouble, menguatkan argumen ini dengan menekankan bahwa gender tidak ditentukan secara alami, melainkan terbentuk melalui interaksi sosial. Dalam konteks buruh migran perempuan, Butler mengkritisi pembatasan sosial terhadap peran gender yang membatasi interaksi individu di masyarakat dalam usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi. 

Baca Juga: Lari Dari Kebun Sawit: Perempuan Dan Buruh Migran Terjebak di Malaysia

Konstruksi sosial juga mempertahankan subordinasi perempuan dalam pekerjaan domestik (Wuryandari, 2022). Perempuan sering tersegmentasi dalam pekerjaan perawatan seperti pengasuhan, yang sering diabaikan dan dinilai rendah karena dianggap tidak memerlukan keterampilan (Soetjipto, 2017). Keterkaitan ini menunjukkan ketidaksetaraan gender yang masih tersisa dalam struktur sosial, serta rendahnya partisipasi laki-laki dalam pekerjaan di sektor domestik. Transformasi struktural diperlukan untuk menciptakan kondisi yang adil dan inklusif tanpa mengabaikan gender, serta mengatasi stereotip bahwa perempuan sering dianggap rentan dan tidak mandiri.

Terlebih lagi, perempuan sering dikonstruksikan dalam kerangka keluarga patriarkis sebagai pihak yang harus berkorban demi memenuhi kebutuhan ekonomi dan melepaskan diri dari kemiskinan. Meskipun memberikan kontribusi melalui remitansi yang besar, pengorbanan mereka sering tidak diakui sebanding dengan laki-laki dalam struktur keluarga yang patriarkis. Oleh karena itu, mereka terperangkap dalam konstruksi sosial-budaya yang didominasi oleh struktur patriarkis, sebagaimana dijelaskan oleh Simone de Beauvoir. 

Dalam banyak kasus, perempuan buruh migran menghadapi diskriminasi ganda berdasarkan identitas gender. Kekerasan berbasis gender di tempat kerja juga dialami perempuan yang menyebabkan mereka terpinggirkan dalam upaya memperoleh hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Meruntuhkan struktur patriarkis menjadi suatu keharusan ketika ada kehendak kolektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Namun, sekali lagi, tanpa kehendak politik dan upaya nyata untuk meruntuhkan konstruksi yang patriarkis, impian hanya akan tetap menjadi mimpi. 

Refleksi Akhir 

Surplus pekerja telah mengantarkan Indonesia ke dalam tantangan yang tak terbayangkan sebelumnya. Tingginya angka partisipasi tenaga kerja tidak sejalan dengan ketersediaan kerja yang tersedia. Akibatnya, sebagian dari mereka terpaksa bekerja di luar negeri dengan harapan mendapatkan penghasilan yang tinggi. Namun, realitas tak seindah yang diharapkan; pekerjaan domestik yang didominasi oleh buruh migran perempuan sangat rentan terhadap absennya jaminan sosial dan kehampaan hak. Ironisnya, mereka tetap disebut sebagai pahlawan devisa meskipun hak-hak yang dirampas diabaikan. 

Dengan demikian, perlindungan sosial melalui jaminan sosial merupakan langkah awal dalam memutus siklus eksploitasi terhadap buruh migran di sektor domestik, yang mayoritasnya adalah perempuan (Adha et al., 2020). Melalui jaminan sosial, mereka dapat dilindungi dari risiko eksploitasi selama bekerja. Namun, yang perlu ditekankan adalah perlunya kekuatan politik global untuk meratifikasi jaminan sosial ini di negara-negara tempat para buruh migran berada. Ketika banyak negara enggan meratifikasi konvensi internasional yang melindungi hak-hak buruh migran, perlindungan sosial hanyalah janji manis utopis belaka. 

Di era saat ini, feminisasi migrasi tampak seperti hal yang biasa terjadi. Padahal, pilihan perempuan untuk bekerja di luar negeri sebagai buruh domestik — meskipun dihadapkan pada keterbatasan pendidikan dan keterampilan — disebabkan oleh minimnya lapangan kerja di dalam negeri yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Keputusan ini, meski pragmatis, membawa tantangan besar yang Otto Hospes sebut sebagai “kehampaan hak”. Dalam konteks demikian, penting untuk lebih mendalami isu pelanggaran hak dan dominasi patriarki terhadap buruh migran perempuan di negara yang menjadi pengirim buruh migran terbesar kedua di Asia Tenggara.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Stop Sebut Buruh Migran ‘Pahlawan Devisa’, Ini Konstruksi Patriarki di Era Surplus Pekerja

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us