Membicarakan Kepahlawanan Perempuan: Supergirl dan Konstruksi Biner Maskulin-Feminin

membicarakan-kepahlawanan-perempuan:-supergirl-dan-konstruksi-biner-maskulin-feminin

Mubadalah.id – Ada 16 pahlawan nasional perempuan hingga tahun 2024 ini. Ya, angka kecil sih, dibandingkan 190 pahlawan nasional laki-laki. Ke depan, kita harus optimis akan muncul lagi dan lagi pahlawan nasional perempuan. Mereka yang bisa kita sebut sebagai para Supergirls dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini.

Bicara tentang Supergirl, istilah ini Stephanie Genz gunakan dalam bukunya, Postfemininities in Popular Culture, ketika membahas heroine (pahlawan perempuan). Perempuan super yang ia jelaskan adalah figur dalam pop culture sinema dan fiksi, yaitu Stephanie Pluma; asisten toko lingerie dan seorang bounty hunter, Olivia Joules; jurnalis cantik yang adalah mata-mata, dan Gracie Hart; agen FBI.

Dalam tulisan ini, saya memilih menggunakan, dan menganalisa, istilah Supergirl untuk membaca kepahlawanan perempuan. Kenapa? Ya, sebab mereka memang perempuan super, makannya menjadi sosok pahlawan, kan?

Bayangan Biner Maskulin-Feminin

Namun dalam konstruksi biner patriarki, perempuan super atau kuat itu tidak normal. Oleh karena itu, sebagaimana Genz, Supergirl dalam penilaian biner peran gender maskulin-feminin adalah a schizophrenic character (seorang skizofrenia/tidak normal).

Ia adalah orang yang tidak sesuai norma gender patriarki. Di mana, perempuan harusnya feminin, pasif, dan lemah, soal maskulin, aktif, dan super, itu bagian laki-laki. Konstruksi biner maskulin-feminin yang menghendaki perempuan tidak boleh lebih super dari laki-laki.

Being tough is not normal for women (menjadi kuat tidak normal bagi perempuan). Maka para pahlawan kita, seperti Nyi Ageng Serang, Laksamana Malahayati, dan perempuan lain yang maju ke medan perang, adalah tidak normal. Karena yang normal maju ke medan perang adalah laki-laki, dan bukan perempuan. Ya, begitu kesimpulannya, jika kita membaca mereka dengan kacamata biner patriarki.

Melampaui Biner Maskulin-Feminin

Meski patriarki memandang perempuan super tidak normal, tapi nyatanya Supergirl itu ada. Realitasnya banyak perempuan super yang punya daya kepahlawanan. Buktinya, ada 16 Supergirls yang menjadi pahlawan nasional, dan angka ini sangat mungkin akan terus bertambah. 

Lagian, perempuan super hanya tidak normal dalam kacamata biner patriarki, namun dalam paradigma Supergirl mereka adalah sosok yang telah melampaui bayangan biner itu. Mereka sosok yang berdaya tanpa harus terbelenggu peran gender maskulin-feminin.

Sebagaimana contoh, Nyi Ageng Serang yang memimpin pasukannya di Perang Jawa. Ia gambaran perempuan yang melampaui belenggu patriarki, yang membatasi peran maskulin berperang normalnya untuk laki-laki. Ia terjun langsung ke medan perang mengangkat senjata.

Jadi Supergirl tidak terikat oleh konstruksi biner patriarki. Sosoknya telah melampaui hal itu. Karakter Supergirl ini, menjadikannya, sebagaimana Genz, women new role model (model peran baru perempuan). Di mana, paradigma Supergirl tidak membatasi perempuan hanya untuk peran feminin, mereka juga dapat menjalankan peran maskulin. Ini soal kemampuan dan kesiapan saja.

Feminin Bukan Kelemahan

Supergirl adalah karakter yang melampaui konstruksi biner patriarki. Bukan perempuan yang menjadi maskulin dan tidak lagi feminin. Sebab, untuk menjadi super, girl tidak harus menjadi man. Jadi, paradigma ini tidak menyangkal karakter feminin yang melekat pada diri dan tubuh perempuan. Her ability to be both beautiful and strong (kemampuannya menjadi keduanya, cantik dan kuat).

Namun berbeda dengan konstruksi patriarki, paradigma Supergirl tidak melihat feminitas, atau aspek kewanitaan, sebagai simbol kelemahan. Supergirl meruntuhkan konstruksi biner patriarki antara maskulin-kuat dan feminin-lemah. Feminin dalam paradigma ini juga dapat menjadi sumber kekuatan. 

Karakter Olivia menjadi gambaran akan hal ini. Ia memanfaatkan kecantikan dan citra diri femininnya dalam menjalankan misi sebagai mata-mata. Feminitas Olivia menjadi senjata yang membuatnya berhasil menjalankan misi. Melalui karakter ini, Genz menggambarkan kalau feminitas yang melekat pada diri dan tubuh perempuan bukan sumber kelemahan. Itu juga sumber kekuatan Supergirl.

Dalam hal ini, paradigma Supergirl memberikan kita gambaran kepahlawanan berbeda dari bayangan yang selama ini dikonstruksi berdasarkan peran gender maskulin. Bahwa, pahlawan itu tidak melulu tentang karakter berotot dan maskulin. Pahlawan juga ada yang feminin, yang berdaya super berdasarkan kapasitasnya.

Saya jadi ingat dengan Fatmawati. Ia menjadi pahlawan bukan karena menembak musuh di medan perang, melainkan karena bangsa mau menghargai dedikasinya yang “menjahit” bendera di rumahnya. Fatmawati bukan sosok maskulin yang terjun di medan perang. Ia perempuan yang menjahit. Dan, itu justru menjadi peran supernya. Apa jadinya proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tanpa pengibaran bendera merah-putih?

Menjadi Supergirl

Super dalam makna feminin ini, menjadi satu poin pembeda Supergirl dengan bahasan Superwoman dalam diskursus feminisme. Jika Superwoman mengidealkan perempuan untuk menjadi super dengan daya penuh dalam segala hal. Perempuan tidak boleh punya celah untuk lemah. Paradigma yang rentan membebankan perempuan dalam beban doing it all (melakukan segalanya).

Maka Supergirl adalah menjadi perempuan super yang semampunya. Tidak harus tertuntut super dalam segalanya, cukup pada apa yang dapat ia lakukan. Karena setiap manusia, dalam hal ini perempuan, punya daya supernya masing-masing. Ada yang supernya dalam versi maskulin, seperti Nyi Ageng dan Malahayati yang melakukan amuk di medan perang. Dan, ada yang supernya versi feminin, seperti Fatmawati yang menjahit bendera di rumah.

Kita tidak harus mengidealkan Nyi Ageng dan Malahayati cakap menjahit di rumah. Pun, juga tidak harus mengidealkan Fatmawati terjun di medan perang. Ya, meski tidak menutup kemungkinan mereka dapat melakukannya. Namun, pada dasarnya mereka punya peran kepahlawanannya masing-masing.

Menjadi Supergirl bukan berarti menjadi pahlawan dalam segala hal. Setiap pahlawan perempuan punya kapasitas dan peran supernya masing-masing. Jika mereka lemah dalam suatu hal, itu juga tidak mengapa. Perempuan tetap menjadi manusia utuh dalam kapasitas dirinya sendiri, dan menjadi super dalam versi terbaik dirinya sendiri. []

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Membicarakan Kepahlawanan Perempuan: Supergirl dan Konstruksi Biner Maskulin-Feminin

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us