Tradisi Setrika Payudara Bukan Lindungi Perempuan, Ini Kekerasan Berbasis Gender

tradisi-setrika-payudara-bukan-lindungi-perempuan,-ini-kekerasan-berbasis-gender

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan memicu trauma, khususnya bagi para korban kekerasan berbasis gender.

Masa remaja perempuan seharusnya meninggalkan kesan antusiasme dan kebahagiaan. Namun di sejumlah tempat di dunia, seperti di berbagai negara di Afrika, anak perempuan memasuki masa remaja dengan rasa cemas, takut, dan trauma. Ini akibat praktik yang disebut ‘setrika payudara’.

Breast ironing atau setrika payudara adalah proses meratakan atau menghancurkan jaringan payudara perempuan muda. Caranya menggunakan alat panas, seperti batu, palu, atau benda berat lainnya yang telah dipanaskan. Tidak hanya ditekan, payudara dipijat hingga dipukul untuk menghentikan pertumbuhannya.

Praktik ini dilakukan untuk menunda perkembangan payudara. Menurut para pelakunya, penyetrikaan payudara bertujuan melindungi anak perempuan dari pelecehan seksual, perkosaan, dan kehamilan dini. Para ibu atau anggota keluarga perempuan biasanya melakukan praktik ini pada anak-anak perempuan mereka. Harapannya, anak perempuan tersebut akan terlihat kurang menarik bagi laki-laki dan terhindar dari kekerasan seksual, serta lebih fokus pada pendidikan mereka.

Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) mengungkap, praktik ini juga dilakukan di sejumlah negara Afrika. Seperti Chad, Benin, Togo, Guinea Bissau, Afrika Selatan, Guinea-Conakry, dan lain-lain.

Terjadi Pada Anak dan Remaja Perempuan

Berdasarkan berbagai testimoni, para perempuan penyintas mengalami praktik setrika payudara sejak mereka memasuki masa pubertas. Ini ketika payudara mereka baru mulai berkembang. Bahkan, ada yang mengalami setrika payudara di usianya yang ke-8 tahun.

Melansir VoA Indonesia, penyetrikaan payudara dialami oleh sekitar 3,8 juta perempuan di Afrika, termasuk beberapa wilayah di Nigeria.  Patience Williams adalah salah satu penyintas tradisi ini. Ia baru berusia sepuluh tahun ketika menjalani setrika payudara. Ibunya menempelkan benda panas ke payudara Williams untuk menghentikan pertumbuhannya karena khawatir dia akan menarik perhatian laki-laki.

“Ini sangat menyakitkan. Segera setelah selesai, saya merasa tubuh saya panas,” jelasnya, dilansir dari VoA Indonesia. Kini Patience Williams gencar menyerukan agar praktik tersebut dihentikan.

Beberapa kasus setrika payudara tidak dilakukan hanya satu kali pada satu perempuan. Penyetrikaan payudara bisa berlangsung berbulan-bulan. Menekan payudara dengan benda panas bukan satu-satunya cara. Beberapa anak perempuan atau perempuan muda diharuskan mengenakan pengikat di dada untuk menekan payudara. Alhasil, mereka kesulitan bernapas.

Para ibu dan anggota keluarga perempuan melakukan setrika payudara pada anak-anak perempuan mereka karena tradisi dan stigma. Konon, anak perempuan yang gagal melalui proses meratakan payudara menjadi incaran predator seksual di sekitarnya. Atau, mereka terisolasi dari anak-anak perempuan seusianya. Ibu mereka juga dicemooh karena dianggap mendukung anaknya jadi tidak patuh. Hal itu menjadi alasan perempuan dipaksa melakukan setrika payudara oleh ibu dan kerabat perempuannya sendiri.

Merusak  Fisik dan Mental Perempuan

Setrika payudara adalah praktik berbahaya. Ada berbagai risiko kesehatan yang serius akibat ‘tradisi’ ini. Salah satunya kerusakan jaringan. Payudara yang terkena benda panas, apa lagi dengan cara ditekan paksa, dapat mengalami luka bakar, lecet, dan infeksi. Muncul pula kekhawatiran bahwa praktik ini dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Selain itu, metode setrika payudara dengan cara melakukan kekerasan pada payudara, mengancam nyawa perempuan.

Praktik tersebut dilakukan pada perempuan muda yang jaringan payudaranya baru berkembang. Makanya, ia dapat menyebabkan gangguan permanen pada pertumbuhan dan perkembangan payudara. Hal ini juga menimbulkan masalah jangka panjang ketika perempuan tersebut tumbuh dewasa dan punya anak. Mereka kesulitan menyusui anaknya karena rasa sakit dan hancurnya beberapa saraf pada payudara.

Baca Juga: Mengapa Sunat Perempuan Ditentang Negara-Negara Di Dunia?

Tentu saja masalahnya tidak berhenti pada luka fisik. Anak perempuan yang mengalami setrika payudara menderita trauma psikologis mendalam. Memori menyakitkan tentang tradisi yang ditimpakan pada mereka menghantui sampai dewasa. Belum lagi, anak perempuan dilarang menangis saat mengalami setrika payudara karena dianggap lemah dan bikin malu keluarga. Kadang, jika penyintas tumbuh dewasa dan memiliki anak perempuan, keluarga atau lingkungan penyintas pun menuntut hal serupa dilakukan pada anak itu.

Ketika perempuan penyintas setrika payudara pindah ke daerah atau negara lain, mereka mungkin bertemu dengan perempuan lain yang tidak pernah mengalami hal serupa. Bentuk payudara dan pengalaman yang berbeda menimbulkan krisis identitas hingga perasaan tidak layak. Setrika payudara bukan melindungi perempuan, tapi justru tidak memanusiakan perempuan.

Pelanggaran HAM dan Kekerasan Berbasis Gender

Tradisi setrika payudara adalah praktik kekerasan berbasis gender. Hal ini sama dengan mutilasi alat kelamin perempuan (Female Genital Mutilation atau FGM) atau lebih dikenal dengan istilah ‘sunat perempuan’.

Di satu sisi, kesadaran mengenai darurat tradisi FGM mulai meningkat di kalangan masyarakat. Namun, bahaya dan urgensi atas tradisi penyetrikaan payudara belum mendapatkan banyak perhatian. Baik tradisi setrika payudara maupun FGM masih terjadi di tengah ragam budaya masyarakat hingga saat ini.

Aktivis gender Benjamin Ocheche menyebut, perempuan muda yang telah mengalami setrika payudara sejak 2020-2024 setidaknya mencapai angka dua juta di seantero negeri. Sementara itu, data terbaru Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mencantumkan bahwa perempuan muda yang mengalami setrika payudara berada di angka 3,8 juta. Tambah mereka, praktik ini merupakan satu dari lima kejahatan berbasis gender yang jarang terlaporkan.

Baca Juga: Jika Perempuan Tidak Disunat Maka Berdosa dan Langgar Agama? Ini Mitos Yang Keliru

Tantangan utama mencatat data ini adalah karena praktik penyetrikaan payudara biasanya dilakukan secara diam-diam. Para perempuan penyintas cenderung menahan sakit dan bungkam karena setrika payudara dipercaya sebagai ‘tradisi’. Mereka juga dibuat mempercayai bahwa praktik tersebut dilakukan demi kebaikan mereka sendiri. Alhasil, tidak banyak laporan yang masuk terkait praktik tersebut sebagai kejahatan berbasis gender.

Jelas pula bahwa setrika payudara adalah pelanggaran terhadap hak-hak dasar perempuan sebagai manusia. Tumbuh kembang tubuh seseorang mestinya tidak berhak diatur orang selain pemilik tubuh itu sendiri. Tradisi-tradisi seperti setrika payudara dan FGM adalah tanda bahwa masyarakat patriarkal-misoginis kerap ikut campur dan mengontrol tubuh perempuan, bahkan hingga melakukan tindakan ekstrem yang merusak tubuh perempuan.

Mengubah Perspektif

Tradisi setrika payudara adalah salah satu dari begitu banyak contoh kesalahan persepsi terhadap perempuan dan kekerasan seksual.

Dalam kasus kekerasan seksual, masyarakat kerap lupa atau mengabaikan fakta bahwa akar masalahnya ada pada pelaku. Alih-alih, justru perempuan yang selalu diimbau untuk ‘menjaga diri’. Mulai dari anjuran mengenakan pakaian tertutup, larangan keluar di malam hari, hingga tindakan ekstrem seperti mutilasi alat kelamin dan setrika payudara.

Misoginisme seperti ini diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Perwujudannya ada pada anjuran orang tua, norma, tabu dan stigma masyarakat, dan sebagainya. Bahkan, kontrol terhadap tubuh perempuan juga mewujud pada produk-produk hukum negara seperti undang-undang dan peraturan daerah. Pada cakupan masyarakat tradisional, hal itu hadir pada tradisi dan nilai-nilai leluhur yang dianut.

Padahal, bukan salah perempuan karena terlahir sebagai perempuan. Bukan salah perempuan menjadi rentan mengalami kekerasan seksual karena tindakan pelaku. Sudah saatnya mengubah perspektif dan lebih berpihak pada korban. Kasus kekerasan seksual seharusnya bukan menjadi tanggung jawab korban yang mengalaminya. Toh, kekerasan seksual pada dasarnya tidak boleh dilakukan siapa pun dan tidak pantas terjadi pada siapa pun.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Tradisi Setrika Payudara Bukan Lindungi Perempuan, Ini Kekerasan Berbasis Gender

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us