Tasawuf Falsafi al-Jili dan Ibn Arabi

tasawuf-falsafi-al-jili-dan-ibn-arabi

2 min read

Pembahasan tentang sisi spiritual manusia menjadi topik yang cukup unik. Dalam konteks agama Islam, pengetahuan tentang spiritualitas atau kerohanian biasa disebut dengan tasawuf.

Seiring berkembangnya zaman, kini tasawuf telah terbagi menjadi berbagai macam cabang yang berkolaborasi dengan beberapa ilmu lain, salah satunya ialah ilmu filsafat yang biasa disebut dengan tasawuf falsafi.

Secara garis besar, tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional atau sebuah konsep ilmu ketuhanan yang kaya akan pola-pola pemikiran filsafat.

Meski begitu, tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat dikarenakan masih mengandung unsur-unsur ketasawufan dalam ajarannya dan tidak dapat pula disebut sebagai tasawuf murni sebab lebih sering diutarakan menggunakan bahasa filsafat.

Tasawuf falsafi juga tidak dapat dipahami dengan mudah oleh sebagian besar orang islam terutama kaum awam, sehingga pada maksud ajarannya sering disalah artikan menuju kesesatan. Berikut ini kita akan mengenal salah satu tokoh tasawuf falsafi yang pemikirannya berkembang dengan masih terpengaruh konsep tasawuf milik sufi lainnya, yakni al-Jili.

Beliau memiliki nama lengkap Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili yang lahir tahun 1365 M/767 H dan wafat pada tahun 1417 M/805 H. Baliau terlahir di sebuah daerah bernama Jilan yang terletak di selatan laut Kaspi.

Tempat lahirnya yang bernama Jilli (Gilan) kemudian menjadi nama sebutan dari al-Jili. Beliau merupakan seorang sufi yang terkenal di Bagdad serta memiliki gelar Syekh atau Quthb al-din atau gelar tertinggi dalam maqam sufi.

Ia pernah berguru pada tokoh tarekat Qadariyah yaitu Abdul Qadir al-Jilani. Di salah satu negeri di Yaman Selatan, bernama Zahid. Beliau berguru dan tinggal bersama gurunya yang bernama Syarifuddin bin Ismail bin Ibrahim al-Jabari, pada saat itulah beliau mulai menekuni dunia tasawuf.

Agaknya corak tasawuf yang dikembangkan al-Jili memiliki banyak kesamaan dengan Ibnu Arabi, sebab pada masa itu memang corak tasawuf yang dipelopori Ibn Arabi sedang naik daun, di samping perkembangan pemikiran filsafat yang mengalami puncak kejayaan.

Kemiripan dalam pola ajarannya pun membuat al-Jili dianggap sebagai pelanjut ajaran tasawuf Ibn Arabi, terutama tentang konsep nur Muhammad. Karya al-Jili tergolong sulit ditemukan, meski begitu terdapat karya beliau yang terkemuka berjudul al-Insam al-Kamil fii Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awail terdiri dari 2 juz dan 63 babnya yang masih tidak terlepas dari pemikiran tasawuf milik Ibnu Arabi.

Al-Jilli juga memiliki pemikiran yang dikembangkannya pada karya tersebut, yakni konsepnya yang bernama Insan Kamil. Pemahaman insan kamil atau tasawuf al-Jili masih berkaitan dengan pandangan adanya tajalli Tuhan dalam benda di muka bumi, benda mati maupun hidup atau alam semesta.

Alam merupakan cermin bagi Tuhan pada saat Dia ingin melihat diri-Nya, sebab pada alam juga terdapat sifat-sifat-Nya. Namun, Bentuk Tuhan lebih sempurna dilihat pada benda yang hidup.

Oleh karena itu, terdapat makhluk hidup yang menjadi bentuk wujud Tuhan paling sempurna, yaitu diri manusia. Pemikiran ini masih berhubungan dengan pemikiran nur Muhammad dan wahdat al-wujud milik Ibn Arabi.

Dalam pemikiran wahdat al-wujud, penglihatan atau pemahaman sufi antara dirinya dan Tuhan sudah tidak mempunyai batas antara wujud masing-masing, tetapi sudah menyatu.

Meski demikian, masih mutlak bahwa sejatinya diri manusia bukanlah Tuhan. Dengan wahdat al-wujud, sufi akan memperoleh tingkat insan kamil atau manusia sempurna. Ini berarti term insan kamil sebenarnya sudah muncul dalam pemikiran Ibn Arabi, hanya saja belum tersampaikan.

Tajali Tuhan yang berupa insan kamil dapat kita jumpai pada wali-wali Allah, sebab pada diri nabi dan rasul maupun wali Allah, dirasakan lebih tampak manifestasi sifat Tuhan berwujud manusia.

Pada tahap awal, wujud insan kamil dijumpai pada diri Adam, sebagai nabi pertama, kemudian berlanjut kepada para nabi setelahnya. Setelah itu, wujud insan kamil yang paling sempurna dijumpai pada diri Nabi Muhammad yang merupakan nabi terakhir di alam semesta.

Konsep insan kamil ini didasarkan al-Jilli pada salah satu hadis Nabi yang memiliki arti: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk-Nya.”

Itu adalah sebuah hadis yang menjadi acuan bagi al-Jilli untuk memberikan formulasi bahwa insan kamil merupakan media tajalli Tuhan yang paripurna.

Dalam mencermati konsep tasawuf milik al-Jili, ada sisi yang perlu dimengerti bahwasanya al-Jili memiliki tujuan dalam mengembangkan konsep insan kamil. Apa yang diinginkan al-Jili adalah suatu penjelasan tentang adanya keinginan Tuhan menampakkan diri-Nya melalui ciptaannya yang paling sempurna. Penampakkan Tuhan ini diistilahkan dengan tajalli Tuhan. [AR]

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Tasawuf Falsafi al-Jili dan Ibn Arabi

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us