Huru-hara Larangan Berjilbab

huru-hara-larangan-berjilbab

“Kalau tak percaya kewajiban jilbab atau memang tak mau berhijab itu haknya, tapi melarang orang lain menggunakan jilbab karena ikut acara kemerdekaan itu melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan…”

Mubadalah.id – Kalimat di atas ialah potongan opini KH. M. Cholil Nafis (Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah) di laman dinding media sosialnya. Walau HUT Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-79 telah berlalu, tetapi persoalan yang mengapitnya masih hangat terbahas. Menyoal aturan melepas jilbab—bagi anggota Paskibraka putri yang berjilbab, misalnya.

Awal gegeran kala pimpinan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) bagi mereka, anggota Paskibraka, yang memakai hijab mesti melepasnya demi nilai keseragaman. Seragam yang dimaksud pun tak jelas pemaknaannya, sebatas kostum atau nilai sikap semata atau hal lain?

Beragam bukan Seragam

Padahal kata “seragam” dalam kamus ingatan masyarakat Indonesia kerap memunculkan sikap penolakan. Kita menengok beberapa dekade lalu sebuah ormas Islam—kini sudah bubar—ingin menyeragamkan aturan hukum Indonesia menjadi aturan sesuai syariat Islam. Padahal rahim Indonesia sejak nenek moyang kita sudah tertumbuhi partikel kemajemukan di pelbagai hal.

Banyak agama, bahasa, budaya, pulau, suku, kepercayaan, dlsb sesungguhnya wujud atas penolakan upaya seragamisasi. Bayangkan jika Indonesia seragam dalam semua lini tersebutkan di atas, niscaya tak akan seindah dan setentram sekarang. Tidakkah Pelangi itu indah karena tersusun dari warna yang beragama, bukan seragam warna saja.

Dalam pada itu, keberagaman di Indonesia memang nyata adanya tetapi upaya penyeragaman dalam bingkai dan hal apapun tak bisa dibenarkan. Peristiwa mutakhir, apapun alasannya, BPIP terkesan ingin menyeragamkan (bukan hanya) kostum dan peranti yang dikenakan anggota Paskibraka. Sebagai lembaga negara bertugas membina ideologi, yang mendapat gaji dari uang rakyat, justru mereka tak bisa memaknasi Pancasila secara implisit dan intim.

Secara definitif, jilbab berupa kain untuk menutup kepala, rambut, dan telinga. Pada praktiknya terbukti kerap terasosiasikan dengan agama Islam. Pemakainya, perempuan, berjilbab adalah upaya menjalankan perintah agama untuk menutup aurat.

Lantas, kala BPIP melayangkan aturan pelarangan lewat alasan konyol adalah bualan tak logis yang tak pantas digubris. Bagaimana mungkin hanya karena ingin terlihat “seragam” mesti rela melanggar aturan Tuhan? Kacau.

Telisik Peraturan

Selain memiliki indikasi berbau sekularisme, BPIP pun tanpa sadar telah melanggar konstitusi. Kita bisa melihat tata cara pakaian Paskibraka tertuang dalam Peraturan BPIP Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2022 tentang Program Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Penjelasan tertuang pada Bab VII Tata Pakaian dan Sikap Tampang Paskibraka.

Poin tersebut menyatakan kelengkapan seragam Paskibraka di antaranya: 1) setangan leher merah putih; 2) sarung tangan warna putih; 3) kaos kaki warna putih; 4) ciput warna hitam (untuk putri berhijab); 5) sepatu pantofel warna hitam; dan 6) tanda kecakapan/kendit (dikenakan saat pengukuhan Paskibraka).

Jelas tertuang ada ciput warna hitam (untuk putri berhijab) pada angka 4. Namun kepala BPIP, meminjam istilah KH. Cholil, telah “menyunat” peraturan ini lewat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 tahun 2024 entang Standar Pakaian, Atribut, dan Tampang Paskibraka dengan menghilangkan poin angka 4 tadi.

Motif Lain dan Antitesis

Entah alasan atau motif apa dengan tega tanpa rasa malu kepala BPIP mesti (seolah) bermain-main dengan ajaran agama. Lalu untuk apa bahasan peristiwa ini terus tergelembungkan, toh pada akhirnya anggota Paskibraka yang memakai hijab tetap mengenakannya pada saat bertugas di Ibu Kota Nusantara kemarin.

Persoalan sekecil apapun tak seharusnya ternilai proses akhirnya saja, melainkan bagaimana proses gejolak sebelumnya mendapat perdebatan. Kalau saja para akademisi, tokoh agama, politikus, ulama, dsb diam saja soal kasus ini bukan tak mungkin persoalan serupa bakal terulang kembali, bahkan mungkin lebih dahsyat dan parah.

Demikian, antitesis pelarangan ini bermunculan dari pelbagai juru dan pihak. Sampai-sampai seorang politisi, Muhamimi Iskandar, campur pendapat atas huru-hara ini agar Kepala BPIP, Yudian Wahyudi, diganti karena telah merusak persatuan bangsa dan membangkitkan radikalisme baru penuh dendam. Prestisius!

Apapun itu, BPIP kiranya perlu berbenah diri dalam bertugas. Tak boleh ada lagi peraturan tak ajeg dan tak ramah keagamaan yang bertendensi diskriminatif. Pada akhirnya  walahu BPIP sudah meminta maaf namun masih berkelit demi menjaga kesakralan dan wibawa.

Apakah jilbab dalam hal ini perempuan berjilbab berpotensi meresesi kesakralan dan wibawa pemakainya? Bukankah sakralitas dan wibawa Paskibraka terletak pada penjiwaan anggotanya kala bertugas menaik-turunkan Sang Bendera Pusaka? []

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Huru-hara Larangan Berjilbab

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us