“Kami Bekerja 20 Jam, Dicambuk dan Disetrum” Pengakuan Korban Kerja Paksa di Myanmar

“kami-bekerja-20-jam,-dicambuk-dan-disetrum”-pengakuan-korban-kerja-paksa-di-myanmar

Sulitnya mencari pekerjaan di tanah air membuat Roni langsung mengiyakan ketika ada tawaran untuk bekerja di luar negeri. Awalnya ia ditawari untuk bekerja di Thailand, tapi kemudian Roni justru diseberangkan ke Myanmar.

Sesampai di Myanmar, perusahaan tempatnya bekerja memperlakukan para pekerja dengan sangat buruk. Kalau pekerja tidak bisa mencapai target, hukuman menanti.

“Saya pernah merasakan jam kerja itu sampai 20 jam dan tidak diberi makan. Jika ketahuan mengantuk saat bekerja, kami disuruh berdiri satu jam lalu dicambuk dan disetrum,” tutur Roni dalam Konferensi Pers, Rabu (21/8).

Kalau tidak bisa memenuhi target kerja, mereka mendapat hukuman dan disiksa. Mereka mesti bekerja dari jam 10 malam sampai jam 5 sore hari berikutnya. Para pekerja tersebut lalu ditempatkan dalam sebuah ruangan sempit yang diisi sekitar 20 orang. Mereka tidur berdesakan dalam ruangan tersebut.

“Ada sejumlah penyiksaan lain yang kami alami, tapi saya tidak kuat menceritakannya,” tutur Roni.

Di kawasan pabrik terdapat lapangan yang luasnya sekira lapangan sepak bola. Mereka diharuskan berlari mengelilingi lapangan pada pukul 12 siang kalau target tak tercapai.

Roni dan pekerja lain kesulitan untuk menyelamatkan diri karena kawasan perusahaan dijaga ketat oleh aparat militer bersenjata. Untuk bisa lolos dari penjagaan aparat, kemungkinannya sangat kecil.

Baca Juga: Prostitusi di Indonesia Lebih Rumit dari ‘Sekadar’ Kebebasan Seksual Perempuan

“Kemungkinan selamat atau tidaknya itu 90% mati, 10% hidup (kalau kabur dari tempat kerja),” ujarnya.

Roni berhasil menyelamatkan diri dari sindikat perdagangan manusia ketika ia direncanakan “dijual” ke perusahaan lain. Waktu itu Roni dibawa menyeberang sungai dari Myanmar menuju Mae Sot, Thailand, dari sana menempuh perjalanan darat ke Chiang Rai.

Selama perjalanan ke Chiang Rai, ada sejumlah check point yang dijaga polisi Thailand. Namun Roni dan teman-temannya tidak diberhentikan dan diperiksa kelengkapan paspor dan dokumennya. Sementara paspor dan telepon genggam mereka ditahan oleh perusahaan.

Ketika sampai di Chiang Rai, mereka ditempatkan di sebuah penginapan. Saat itulah Roni melarikan diri, melewati persawahan lalu masuk ke pemukiman warga. Ia minta bantuan warga untuk diteleponkan taksi. Salah seorang warga mau meneleponkan taksi, akhirnya dengan taksi tersebut Roni pergi ke bandara.

Ia tak mau datang ke kantor polisi. Pasalnya dari kejadian sebelumnya, pekerja yang menyelamatkan diri dengan mendatangi kantor polisi justru dikembalikan lagi ke sindikat perdagangan manusia tersebut.

“Jadi saya kabur ke bandara lalu ada NGO yang menyelamatkan saya,” tuturnya.

Meski begitu proses kepulangannya ke tanah air butuh waktu sangat lama.

Keluarga Korban Ikut Terdampak

Tidak hanya korban, kasus kerja paksa ini juga berdampak kepada kehidupan keluarga korban. Mereka yang terjerat oleh sindikat perdagangan manusia merupakan tulang punggung keluarga. Ketika mereka tidak mendapatkan upah, keluarga mereka di tanah air tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Istri atau keluarga mereka yang ditinggal akhirnya harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Seperti dituturkan Ami, istri salah satu korban kerja paksa dari Indramayu.

“Saat ini kami harus menjadi tulang punggung keluarga untuk mencukupi kebutuhan anak-anak kami. Kami harus bekerja dari pagi sampai malam agar kebutuhan tercukupi. Bahkan anak kami sampai putus sekolah,” tutur Ami dalam konferensi pers tersebut.

Tak hanya dampak ekonomi, kondisi kesehatan mental keluarga korban juga terganggu. Lantaran mereka mengetahui suami atau anak mereka yang bekerja di luar negeri ternyata menjadi korban sindikat dan mengalami penyiksaan serta kerja paksa.

“Psikis kami juga terganggu. Kami mendengar korban merengek minta dipulangkan. Ini membuat kami, keluarga korban sangat depresi. Bahkan ada salah satu dari kami hampir bunuh diri,” ucap Ami dengan terisak.

Para korban sindikat perdagangan manusia lewat kejahatan siber ini mengeluhkan perlakuan yang mereka terima di Myanmar kepada keluarga dan minta untuk dipulangkan. Karena itu keluarga korban sangat berharap agar pemerintah segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan korban. Hal ini diungkapkan Endang dari Semarang yang anaknya jadi korban di Myanmar.

Baca Juga: Desak Pengesahan RUU PPRT, Masyarakat Sipil Akan Gelar Aksi Mogok Makan di Depan Gedung DPR

“Minta tolong bapak Presiden untuk bisa memulangkan anak kami, korban yang ada di Myanmar. Dia mengeluh terus minta pulang, tidak kuat dengan pekerjaan dan penyiksaan yang dialami. Sebagai orang tua kami sampai sakit-sakitan. Tolong anak kami segera dipulangkan,” tutur Endang sambil berurai air mata.

Soal penyiksaan yang dialami korban juga dituturkan oleh Nur, istri salah satu korban. Nur bersaksi, berdasarkan keluh kesah yang disampaikan oleh suaminya, sindikat perbudakan kerja di Myanmar tidak segan melakukan kekerasan secara fisik. Mulai dari disetrum, dipukul dengan kayu, dijemur, hingga berjalan jongkok sambil membawa galon air di lapangan bola selama 1-2 jam. Namun tidak ada sepeser uang yang suaminya dapat selama bekerja.

Tidak membiarkan anggota keluarganya tersiksa, keluarga korban tidak diam. Berbagai upaya sudah dilakukan, tapi tak kunjung ada solusi.

Rosi misalnya, kakaknya tertahan di Myanmar selama kurang lebih 2 tahun. Berbagai langkah sudah ditempuh. Mulai dari membuat laporan kepada pemerintah daerah, BP2MI pusat, kepolisian, Kementerian Luar Negeri, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, hingga Komnas Perempuan.

Tapi nihil, kakaknya belum dapat pulang ke tanah air dan masih terus menanggung beban perbudakan kerja. Pun, LPK yang menawarkan pekerjaan belum ditangkap hingga saat ini, meski sudah teridentifikasi menjadi kaki-tangan sindikat perdagangan manusia.

Pola Migrasi Baru dan Pemerintah yang Abai

Sindikat perdagangan manusia atau perbudakan siber di sejumlah negara di Asia Tenggara ini memakai teknologi digital untuk menjerat korbannya. Karena itu tindak kejahatan ini disebut dengan cyber scam atau penipuan siber.

Hani Kristi dari Beranda Migran menjelaskan laporan OHCHR (2023) menyebutkan setidaknya ada 120 ribu korban cyber scam berada di Myanmar. Sementara 100 ribu korban ada di Kamboja dan ratusan ribu korban lainnya ada di Laos, Filipina dan Thailand.

Korban-korban ini berasal dari sejumlah negara di Asia seperti Indonesia, India, Filipina, Nepal dan Srilanka. Korban juga ada yang berasal dari beberapa negara di Afrika, seperti Kenya, Uganda, dan Maroko. 

Hani menjelaskan pada 2020-2024 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri sudah mengidentifikasi ada 3.700 kasus cyber scam. Tapi jumlah korban yang banyak tersebut tidak menggerakkan pemerintah untuk segera mengambil tindakan menyelamatkan korban.

Menurutnya masyarakat bisa menjadi sasaran empuk jerat sindikat cyber scam karena kesejahteraan masyarakat belum terpenuhi. Ini lantaran pembangunan yang belum berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan diperburuk dengan berbagai krisis.

Mulai dari krisis moneter hingga krisis kesehatan pada COVID-19 lalu. Persoalan ini tidak diiringi dengan antisipasi pemerintah terhadap dampak yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pembatasan aktivitas membuat masyarakat kehilangan pekerjaan sementara kebutuhan ekonomi harus dipenuhi demi bertahan hidup.

Baca Juga: Penerapan UU TPPO Terkendala, Kasus Perdagangan Orang Terus Meningkat

Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh jaringan sindikat di Asia Tenggara (khususnya di Thailand dan Myanmar) untuk menjaring calon korban. Hani melanjutkan ada pola baru yang dipakai para sindikat dalam menjerat korbannya. Lewat teknologi digital, sindikat tidak hanya menyasar masyarakat dengan ekonomi ke bawah atau mereka yang tinggal di pedesaan.

Sebaliknya, sindikat juga menyasar ke kalangan menengah yang berpendidikan tinggi. Contohnya, kasus perdagangan orang maupun kerja paksa yang menjerat sejumlah mahasiswi/a dengan kedok magang di luar negeri. Selain itu, sindikat banyak menggunakan platform media sosial sebagai sarana menjebak target mereka. 

Modus yang diterapkan oleh sindikat perbudakan modern sudah makin berkembang dan beragam. Sayangnya pola migrasi yang baru ini tidak direcognisi pemerintah. Justru pemerintah malah mempertanyakan apakah korban merupakan pelaku.

“Pemerintah selalu menyangkal bahwa perkembangan migrasi sudah menyasar semua lapisan masyarakat Indonesia dari berbagai background. Bahkan masuk ke dalam sistem pendidikan. Tanpa sedikit pun upaya pemerintah menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia di tengah perkembangan era globalisasi ini,” papar Hani.

Perkembangan baru ini membuat undang-undang yang ada tidak mampu memberikan payung hukum. Seperti Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran. Yang terjadi justru situasi ini dipakai pemerintah untuk membatasi prioritas penanganan korban.

Baca Juga: Film ‘Cross the Line’, Janji Manis Penyalur Kerja dan Isu Perdagangan Orang 

“Negara mengabaikan fakta bahwa warga negara yang terjebak dengan sindikat cyber scam ini adalah korban. Jadi pemerintah lebih fokus dalam mengidentifikasi korban. Apakah mereka ini termasuk korban TPPO atau malah dikategorikan sebagai pelaku dengan anggapan korban secara sadar mengetahui pekerjaan yang akan mereka lakukan,” urai Hani.

Dengan anggapan bahwa korban adalah pelaku inilah pemerintah tidak memprioritaskan penyelamatan korban. Jadi persoalan ini tidak dianggap sebagai permasalahan serius oleh pemerintah. Hani menegaskan persoalan cyber scam ini seharusnya menjadi isu darurat nasional.

“Banyak negara lain yang sudah melakukan penyelamatan. Sementara pemerintah Indonesia justru tidak menunjukkan kepedulian dan keseriusannya dalam menangani masalah ini,” pungkasnya.

Sementara itu Arif Maulana dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Sebagai upaya preventif, pemerintah harus memahami bahwa banyak upaya migrasi selain jalur konvensional. Hal ini agar pemerintah tidak membatasi identifikasi kasus dan tidak menyalahkan korban kerja paksa.

Lalu, sebagai upaya penanganan, pemerintah dapat melakukan pertemuan dan kerja sama dengan negara terkait (joint force). Pemerintah juga dapat membentuk satuan tugas (satgas) lintas kementerian yang berfokus pada penanganan dan pencegahan tindak perdagangan orang. Ini turut didesak agar pemerintah dapat memegang komitmen dalam melindungi warga negaranya.  

Arif menegaskan kasus kerja paksa maupun perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena melanggar hak hidup seseorang.

Baca Juga: Perjuangan Mary Jane Lepas Dari Hukuman Mati, Komnas HAM Beri Rekomendasi Grasi

Karena itu Arif menyatakan pandangan atau stigma yang menganggap korban perdagangan orang adalah pelaku karena mereka mau melakukan kejahatan tersebut adalah keliru.

“Mereka adalah korban, mereka bukan pelaku. Dalam pasal 18 UU TPPO dijelaskan bahwa korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang tidak dapat dipidana,” papar Arif.

“Mereka melakukan itu karena tidak ada pilihan lain. Nyawa mereka taruhannya, kalau mereka tidak melakukan itu mereka disiksa, dibunuh dan hak hidup mereka hilang. Saya kira pandangan-pandangan seperti itu harus dihapuskan. Dan tidak ada alasan bagi negara untuk mengabaikan satu pun nyawa warga negara Indonesia karena mereka bagian dari tumpah darah negara,” pungkasnya.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
“Kami Bekerja 20 Jam, Dicambuk dan Disetrum” Pengakuan Korban Kerja Paksa di Myanmar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us