Aksi unjuk rasa dengan skala besar terjadi di beberapa kota, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta pada 22 Agustus 2024. Demonstrasi ini diselenggarakan sebagai respons terhadap keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ingin melakukan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 60 tahun 2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah.
Pergerakan dari masyarakat terjadi setelah hari Rabu, 21 Agustus 2024, pengguna media sosial ramai menggunakan tagar #KawalPutusanMK dan #DemokrasiDihabisi. Tidak hanya itu, media sosial juga dibanjiri unggahan gambar Garuda Pancasila dengan latar belakang biru bertuliskan “Peringatan Darurat”.
Proses menggerakkan massa melalui media sosial sebenarnya bukan hal yang baru. Kegiatan aktivisme dalam dunia digital, atau yang sering disebut dengan aktivisme digital, sudah beberapa kali dilakukan oleh sebagian masyarakat untuk menunjukkan aspirasinya terhadap isu tertentu, seperti penolakan terhadap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), UU Cipta Kerja, dan RUU permusikan.
Read more: Gaduh tapi acuh? Bagaimana meramaikan aktivisme digital berkualitas untuk mendorong perubahan sosial
Lantas, seberapa besar potensi aktivisme digital dalam menggerakkan masyarakat?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Masitoh Nur Rohma, dosen jurusan Hubungan Internasional dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Masitoh mendefinisikan aktivisme digital sebagai aktivisme sosial menggunakan media teknologi untuk mempromosikan gerakan sosial dan menekankan bahwa hal itu dapat memengaruhi tindakan kehidupan nyata. Ia menekankan teknologi dapat menjadi sarana penyebaran informasi dengan lebih cepat dan akurat.
Dengan adanya kemajuan teknologi dan berkembangnya jumlah pengguna media sosial, Masitoh menganggap aktivisme digital ini bisa menjadi cara baru untuk membuat menaikkan level kesadaran masyarakat terhadap sebuah isu.
Meskipun kegiatan ini dapat menjadi senjata ampuh dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat, Masitoh berpendapat aktivisme digital juga harus diimbangi dengan aksi di dunia nyata.
Masitoh tidak menampik bahwa aktivisme digital ini bisa menunjukkan seberapa besar respons masyarakat terhadap sebuah isu yang sedang ramai diperbincangkan dan bisa memberikan tekanan kepada pihak lain, namun menurutnya perlu ada tindakan yang jelas agar akhirnya perubahan sosial ini terjadi dan tidak sekadar menjadi tren di media sosial semata.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.