Angga Arifka Follow Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com
2 min read
Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, memiliki pandangan kritis terhadap agama sehingga telah memicu perdebatan besar sejak awal. Analisis Freud terhadap agama berakar pada teori-teorinya yang lebih luas tentang jiwa manusia, khususnya konsep-konsepnya tentang pikiran bawah sadar, represi, dan Oedipus complex.
Ia menganggap agama sebagai neurosis kolektif, ilusi yang berakar pada kebutuhan psikologis dan hasrat kekanak-kanakan manusia. Meskipun kritik Freud terhadap agama bersifat inovatif dan berpengaruh, kritik tersebut juga menghadapi kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk teolog, filsuf, dan psikolog.
Analisis Freud terhadap Agama
Pembahasan agama yang paling komprehensif oleh Freud dapat ditemukan dalam karya-karyanya The Future of an Illusion dan Totem and Taboo. Dalam tulisan-tulisannya, Freud berpendapat bahwa agama pada dasarnya adalah ilusi—sistem kepercayaan yang dibangun oleh manusia untuk mengatasi kecemasan psikologis yang mendalam, khususnya kecemasan yang timbul dari rasa takut akan kematian dan ketidakpastian hidup.
Menurut Freud, kepercayaan agama adalah proyeksi dari keinginan bawah sadar kita, khususnya kebutuhan akan figur ayah yang protektif. Penafsiran Freud tentang agama terkait erat dengan teorinya tentang Oedipus complex, yang menyatakan bahwa anak-anak mengalami keinginan bawah sadar untuk melenyapkan ayah mereka dan memiliki ibu mereka.
Kompleks (complex) ini biasanya diselesaikan dengan internalisasi otoritas ayah, yang menurut Freud meletakkan dasar bagi pengembangan kepercayaan agama. Ia berpendapat bahwa agama adalah bentuk neurosis kolektif, di mana figur Tuhan mewakili ayah yang diinternalisasi, menawarkan perlindungan dan bimbingan moral, tetapi juga menanamkan rasa takut dan bersalah.
Dalam Totem and Taboo, Freud berteori bahwa asal-usul agama dapat ditelusuri kembali ke peristiwa utama dalam sejarah manusia, di mana sekelompok anak laki-laki secara kolektif membunuh ayah mereka karena cemburu dan takut.
Tindakan ini, menurutnya, menimbulkan rasa bersalah, yang kemudian disublimasikan ke dalam penciptaan ritual dan tabu keagamaan. Ritual-ritual ini, dalam pandangan Freud, berfungsi sebagai sarana untuk menebus dosa utama dan membangun kembali tatanan sosial.
Freud lebih jauh menguraikan pandangannya dalam The Future of an Illusion, di mana ia menegaskan bahwa agama adalah ilusi yang memenuhi keinginan kita yang paling dalam. Ia berpendapat bahwa doktrin agama didasarkan pada pemenuhan keinginan daripada bukti empiris, dan dengan demikian, doktrin-doktrin tersebut pada akhirnya tidak dapat dipertahankan dalam menghadapi rasionalitas ilmiah.
Freud percaya bahwa seiring dengan kemajuan peradaban, ketergantungan pada agama akan berkurang, memberi jalan bagi pemahaman dunia yang lebih matang dan berbasis sains.
Kritik terhadap Pandangan Freud
Kritik Freud terhadap agama, meskipun berpengaruh, telah menemui kritik yang substansial. Salah satu kritik utama adalah bahwa interpretasi Freud tentang agama bersifat reduksionis, mereduksi pengalaman dan kepercayaan agama yang kompleks menjadi sekadar fenomena psikologis.
Para kritikus berpendapat bahwa pendekatan Freud gagal memperhitungkan keragaman tradisi keagamaan yang kaya dan pengalaman mendalam tentang hal-hal sakral yang dilaporkan banyak orang.
Salah satu kritik yang paling menonjol datang dari Carl Jung, mantan murid Freud yang kemudian mengembangkan pendekatannya sendiri terhadap psikologi. Jung berpendapat bahwa analisis Freud tentang agama terlalu negatif dan meremehkan. Sementara Freud memandang agama sebagai respons neurotik terhadap konflik psikologis, Jung melihatnya sebagai ekspresi vital dari jiwa manusia.
Menurut Jung, simbol dan ritual keagamaan adalah manifestasi dari alam bawah sadar kolektif dan memainkan peran penting dalam mempromosikan integrasi dan keutuhan psikologis. Bagi Jung, agama bukan sekadar proyeksi keinginan kekanak-kanakan, tetapi sarana penting untuk terhubung dengan aspek diri yang lebih dalam dan yang ilahi.
Kritik penting lainnya terhadap pandangan Freud datang dari para filsuf dan teolog yang berpendapat bahwa analisis Freud tentang agama didasarkan pada pemahaman yang salah tentang kepercayaan agama.
Pernyataan Freud bahwa kepercayaan agama hanyalah ilusi yang berakar pada pemenuhan keinginan telah ditentang oleh para pemikir yang berpendapat bahwa perspektif ini mengabaikan dimensi pengalaman dan eksistensial agama.
Misalnya, teolog Paul Tillich mengkritik pandangan Freud terhadap agama sebagai ilusi, dengan menyatakan bahwa keyakinan agama bukan hanya tentang pemenuhan keinginan, tetapi melibatkan pertemuan sejati dengan masalah utama keberadaan manusia.
Tillich berpendapat bahwa kritik Freud gagal untuk terlibat dengan pertanyaan eksistensial yang ingin ditangani oleh agama, seperti hakikat keberadaan, masalah kejahatan, dan makna hidup.
Selain itu, teori Freud tentang agama sebagai neurosis kolektif telah dikritik karena kurangnya dukungan empiris. Meskipun ide-ide Freud meyakinkan dari sudut pandang teoretis, sebagian besar bersifat spekulatif dan tidak didasarkan pada penelitian empiris yang sistematis.
Para kritikus telah menunjukkan bahwa teori Freud sangat bergantung pada asumsi bahwa semua kepercayaan agama berasal dari Oedipus complex, sebuah ide yang semakin dipertanyakan dalam psikoanalisis dan antropologi.
Lebih lanjut, banyak sarjanawan berpendapat bahwa teori Freud terlalu bergantung pada model keluarga yang sempit dan spesifik secara budaya dan gagal memperhitungkan berbagai macam praktik dan kepercayaan agama di berbagai budaya.
Selain kritik-kritik ini, prediksi Freud bahwa agama akan menurun seiring dengan kemajuan sains dan rasionalitas tidak terbukti seperti yang diantisipasinya. Meskipun sekularisasi telah terjadi di beberapa bagian dunia, agama tetap menjadi kekuatan yang kuat secara global, dan di banyak tempat, kepercayaan agama telah mengalami kebangkitan.
Ketahanan agama ini menunjukkan bahwa Freud mungkin telah meremehkan daya tarik abadi dari keyakinan agama dan kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang melampaui sekadar proyeksi psikologis.
Terlepas dari kekurangan analisis Freud, karyanya tetap menjadi titik referensi penting dalam dialog yang sedang berlangsung antara psikologi, filsafat, dan teologi mengenai hakikat dan peran agama dalam kehidupan manusia.