Orang ramai kini tak menjuluki Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara atau pemerintahan Indonesia, tapi ‘Raja’. Ekspansi politik dinasti dengan mengakali konstitusi membuat banyak orang menyematkan predikat ‘Raja’ untuk Jokowi. Lahir dan besar di Solo, Jawa Tengah, predikat itu menjadi komplit: Raja Jawa. Selamat datang di Kerajaan Jawa.
Lintang-pukang 10 tahun memimpin, Jokowi menekuk konstitusi dan memberangus demokrasi. Ia pakai modalitas simbolik, kekuasaan, dan struktural untuk melegitimasi aneka penyelewengan.
Dalam kebebasan pers, kasus kekerasan terhadap jurnalis pun masih tinggi selama 10 tahun ia memimpin. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 662 jurnalis yang mendapat kekerasan pada periode tersebut. Tiap tahun rata-rata ada 40 jurnalis mendapat kekerasan. Jenis kekerasan pun beragam, dari pemukulan, teror, hingga penyensoran.
Sebanyak 11 jurnalis pun mendapat kekerasan dari aparat saat meliput demo Kawal Putusan MK di gedung DPR pada 22 Agustus lalu. Dalam kekerasan itu juga melibatkan tindakan fisik, ancaman pembunuhan, dan penggunaan kekuatan berlebihan, seperti gas air mata.
Namun demikian, kekerasan dalam demokrasi tak melulu fisik. Filsuf Slovenia, Slavoj Zizek, mengapungkan jenis kekerasan simbolik. Kekerasan jenis ini kerap tak disadari oleh warga negara, tapi daya rusaknya tak ketulungan. Alat kekerasan pun bukan palu atau tinju, tapi modalitas yang dimilikinya terutama otoritas.