Mubadalah.id – Berapakah harga Pekerja Rumah Tangga (PRT)? Pertanyaan ini barangkali pantas diajukan kepada mereka yang sukar mengerti betapa pentingnya menjadi seorang perempuan yang perannya sentral mengurus rumah tangga.
Sebagai perempuan, mereka tidak hanya berperan sebagai ibu biologis yang mengurus segala pekerjaan domestik tak berupah, akan tetapi juga ada yang berani menjadi seorang Pekerja Rumah Tangga meski upahnya sampai saat ini jauh dari kelayakan.
Diakui atau tidak, kerja perawatan sebagaimana yang dilakukan ibu biologis atau pekerja rumah tangga (PRT) masih erat ikatannya meski hingga saat ini dianggap remeh. Asumsi tersebut membuat pekerjaan yang sebenarnya berat itu mendapat upah rendah, bahkan seorang ibu tidak mendapat bayaran sama sekali. Hal ini jelas merugikan perempuan.
Alih-alih masyarakat awam, bahkan Adam Smith, sang peletak dasar sistem ekonomi liberal tidak menyadari peran penting ibunya. Baginya, individu bekerja hanya untuk kepentingan pribadi. Individu-individu bekerja atas dasar kesadaran posisi mereka sendiri.
Dalam refleksi sang filsuf, pekerjaan ‘ibu rumah tangga’ yang mengendalikan segala pekerjaan domestik bukanlah sebuah profesi. Sebab, tugas sang ibu berangkat dari kesadaran dan kewajiban sendiri yang memilih melahirkan dan merawat sang calon bapak ekonomi modern itu hingga sukses.
Pandangan Adam Smith
Katrine Marçal membantah Smith dalam bukunya, Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? Feminis Swedia itu dengan tegas menyatakan bahwa Smith telah meremehkan peran ibunya yang sudah susah payah menjadi pejuang tunggal melahirkan, merawat, dan menemaninya sejak kecil hingga masyhur.
Sang ibu memasak, mencuci, dan menjaga kebersihan rumah agar Smith hidup layak. Akan tetapi, pekerjaan-pekerjaan berat itu tidak berarti di mata Smith.
Dalam hal ini. jelas, tak ada tepuk tangan, lampu sorot, atau bintang lencana untuk prestasi sang ibu yang telah berhasil membawa nama putranya ke panggung dunia apalagi, upah yang diakadkan sebagai bayaran Sang Ibu selama merawatnya.
Penjinakan tubuh perempuan dalam sistem negara pernah berlangsung pada era Orde Baru. Represi yang Julia Surya Kusuma tulis dalam karya monumentalnya, Ibuisme Negara.
Di bawah rezim Orde Baru, selain bertugas mengendalikan segala peran domestik dan merawat keluarga, perempuan yang mendapatkan peran dan tanggung jawab semu untuk menjadikan mereka warga negara yang baik: ibu dan istri yang patuh pada suami.
Konstruksi demikian juga seolah-olah ingin memberi perempuan kesempatan agar setara—dengan laki-laki—sebagai warga negara. Tanpa sadar perempuan menjadi korban karena tatanan tersebut justru melemahkan mereka.
Perempuan, dalam konstruk Orde Baru, adalah makhluk kelas dua tanpa daya yang meringkuk di bawah bayang-bayang laki-laki.
Alih-alih menagih hak dan menjalankan kewajiban dengan baik, sebagai ibu dan istri pejabat, perempuan cuma mendapat warisan organisasi kerelawanan oleh negara.
Dharma Wanita
Pada 5 Agustus 1974, Dharma Wanita resmi didirikan. Tanpa gaji, seluruh istri pegawai negeri otomatis menjadi anggota organisasi tersebut selama sang suami masih menjabat.
Peran mereka dianggap jembatan pemberdayaan perempuan. Kenyataannya, keberadaan organisasi tersebut tidak pernah otonom.
Posisi subordinat ini tentu menimpa seorang ibu yang juga memilih profesi sebagai PRT. Dalam profesi tersebut, pemberi kerja (majikan) kerap memberi upah tak layak atas produk kerja PRT. Upah rendah itu mematahkan harapan para perempuan—yang kebanyakan hijrah dari desa—demi kehidupan lebih sejahtera.
Di Madura, banyak perempuan yang optimis untuk mengubah nasib mereka yang kurang baik selama di kampung. Kerja keras para perempuan ini dalam perantauan menjadi salah satu upaya mereka untuk menyeimbangkan ekonomi keluarga.
Mereka rela menjadi PRT yang jauh dari keluarga dan sanak saudara walaupun hingga saat ini, pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) untuk diupah dengan layak belum jelas perkembangannya.
Pada 2015, International Labour Organization dan Universitas Indonesia mencatat bahwa di Indonesia jumlah PRT mencapai 4,2 juta jiwa dan angka ini terus meningkat. Tak ada yang rendah pada penyandang profesi PRT. Semua orang berhak menentukan takdirnya sendiri. Akan tetapi, kelayakan hidup PRT perlu kita sikapi agar takdir tersebut memang pantas mereka miliki.
Sejauh ini, PRT dipandang miring oleh kebanyakan orang. Hanya karena memiliki tugas sebagaimana seorang ibu yang mengurus pekerjaan rumah tangga, PRT dianggap bukan sebuah profesi.
Kultur Machois
Faktor inilah yang membuat posisi mereka rawan direndahkan—seperti ibu yang tak berdaya di kultur machois. PRT senantiasa dituntut tunduk nyaris tanpa syarat pada perintah majikan.
Mereka diperkuda seenak jidat. Jika dijatuhi nasib paling nahas, mereka bisa didera siksa majikan yang semena-mena. Meski tak semua, kadang kita merasa bahwa profesi PRT tidak berbeda jauh dengan hidup seorang hamba. Sistem kerja PRT condong menguntungkan si majikan.
Kesejahteraan ruang domestik bukan persoalan receh. Keluarga merupakan unit sosial terkecil, tapi menjadi faktor paling dasariah dalam menetukan keberhasilan aktualisasi diri anggota-anggotanya. Itulah mengapa peran PRT begitu urgen dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka bekerja sepanjang waktu, menjaga rumah tetap bersih, memasak makanan enak dan bergizi bagi penghuni rumah, serta memberi perawatan yang layak untuk anggota keluarga.
Namun, seorang ibu—jika boleh kita sematkan pada perempuan PRT—yang konon di telapak kakinya terhampar surga, rentan secara hukum. Baik di dalam maupun luar negeri, siklus pekerjaan dan keseharian PRT terasa monoton.
Tugas Domestik
Tugas domestik yang tak kunjung usai, jam kerja tak teratur, dan minimnya waktu libur membuat sang pekerja menjadi sosok tertutup yang hanya menunggu perintah. Payung hukum yang tak adekuat takkan menjamin keamanan sosial dan melindungi mereka dari intimidasi. Apalagi undang-undang tersebut memang tak pernah ada. Miris dan ironis jika negara bersikap bodo amat terhadap persoalan ini.
Sejumlah intelektual dan akademisi telah menggaungkan pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Mereka menuntut pemerintah mengambil sikap untuk menjamin hak-hak PRT terpenuhi sebagaimana mestinya.
Akan tetapi, di lain pihak, penolakan dan pengabaian atas nasib PRT juga tak kalah bergema. Walhasil, berita kasus-kasus keji terhadap PRT pun masih mengiris telinga.
Sementara itu, 2022 juga telah menorehkan luka yang mestinya membuat akal sehat kita jera. Kasus kekerasan menimpa PRT Riski Nur Askia yang mendapat siksa dari majikannya. Ia disirami air cabai, dipaksa telentang di lantai dengan telanjang.
Si majikan merupakan ASN yang identitasnya telah dikantongi polisi. Akan tetapi, sampai peristiwa itu terkuak media, sang korban belum juga mendapat keadilan. 2.637 kasus kekerasan menimpa PRT sepanjang 2017 hingga 2022. Jika negara terus menutup mata, Indonesia akan tetap menjadi neraka bagi profesi PRT dan perempuan.
Kontrak tertulis harus ada antara PRT dengan pemberi kerja untuk menjamin hak dan kewajiban kedua belah pihak. PRT juga membutuhkan kategori mutlak untuk meminimalkan jam dan ranah kerja—yang selama ini centang perenang—guna mengurangi beban PRT. Regulasi tersebut harus tertuang dalam rencana pokok-pokok pikiran RUU bagian Kategori dan Lingkup Kerja. Kondisi kerja yang kondusif akan meningkatkan produktivitas ekonomi dan menurunkan—syukur-syukur melenyapkan—kemiskinan.
RUU PPRT
Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga mestinya juga tidak hanya sekedar wacana tanpa tindakan nyata. Kualitas kepedulian dan hukum yang sah atas profesi PRT tidak hanya akan memengaruhi kesejahteraan, tetapi juga kesentosaan psikis mereka sebagai warga negara yang sejauh ini gagal mendapat perhatian.
Pada skala lebih luas, RUU PPRT juga akan mempersempit jarak sosial dan ekonomi, serta menciptakan kesetaraan dalam lingkungan kerja.
Dalam “Sajak Gadis dan Majikan”, Penyair Burung Merak W.S. Rendra telah menunjukkan bahwa perlindungan terhadap PRT memang tidak ada sejak 1975. Hingga kini, payung hukum untuk PRT masih mengendap penuh kontroversi, tak kunjung menjadi undang-undang yang sah.
Padahal, sila kelima landasan ideologi negara ini telah berteriak sejak 77 tahun lalu: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi keadilan itu tak jua singgah di hadapan nasib pekerja rumah tangga, di hadapan takdir ibu. []