Tanya-Jawab
Pertanyaan
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bagaimana hukum salat di kereta api dengan posisi kereta berjalan (setahu saya ke arah timur), salatnya sambil duduk di kursi kereta sementara di gerbong kereta ada atau disediakan musala, serta waktu untuk salat dengan jamak qasar masih sangat panjang (penanya: Mahmud Tsulatsi, Depok).
Jawaban
Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahim,
Penanya yang dirahmati Allah Swt. Pada dasarnya, salat bisa dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya sebagaimana sudah banyak disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fikih. Hanya saja, ada beberapa pembahasan khusus terkait salat di atas kendaraan ketika sedang melakukan perjalanan.
Secara umum, salat dapat diklasifikasikan menjadi dua, salat fardu dan salat sunah. Melihat pertanyaan di atas berkaitan dengan salat fardu, maka kami akan lebih fokus pada pembahasan salat fardu yang dilakukan di atas kendaraan.
Berdasarkan keterangan para ulama ahli fikih, salat fardu apabila dilaksanakan di atas kendaraan (contoh: kereta api), tetap harus dilakukan dengan memenuhi semua syarat-syarat dan rukun-rukunnya, seperti berdiri, menghadap kiblat, membaca Al-Fatihah, dan lain-lain. Di antaranya sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Munawi dalam kitabnya yang berjudul Faidhul Qadir:
فيض القدير، ج. ٤، ص. ١٩
فَاِنْ صَلَّى فَرْضًا عَلَى الدَّابَةِ وَهِيَ سَائِرَةٌ لَمْ يَصِحَّ وَاِنْ كَانَتْ وَاقِفَةً وَاَتَمَّ الْأَرْكَانَ صَحَّ لَكِنْ نُزُوْلُهُ وَصَلَاتُهُ عَلَى الْأَرْضِ حَيْثُ اَمْكَنَ أَفْضَلُ
“Apabila seseorang menjalankan salat fardu di atas kendaraan sementara kendaraannya sedang berjalan, maka hukum salatnya tidak sah. Apabila kendaraan tersebut berhenti dan rukun-rukunnya dijalankan secara sempurna, maka hukum salatnya adalah sah. Namun, turun dari kendaraan dan salat yang dilakukan di atas bumi (sebagaimana normalnya) itu lebih baik.”
Keterangan al-Munawi di atas, yakni tidak sah salat yang dilakukan ketika kendaraan dalam keadaan berjalan adalah bukan tanpa alasan. Sedangkan alasan tersebut dapat kita saksikan bersama dalam keterangan Syaikh Khatib al-Syarbini dalam salah satu kitabnya, Syarh al-Iqna’, dengan redaksi sebagai berikut:
شرح الإقناع ج. ١، ص. ٤٦٤-٤٦٥ (دار الفكر)
وَلَوْ صَلَّى فَرْضًا عَيْنًا اَوْ غَيْرَهُ عَلَى دَابَةٍ وَاقِفَةٍ وَتَوَجَّهَ لِلْقِبْلَةِ وَاَتَمَّ الْفَرْضَ جَازَ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعْقُوْلَةً وِاِلَّا فَلَا يَجُوْزُ لِاَنَّ سَيْرَ الدَّابَةِ مَنْسُوْبٌ اِلَيْهِ
“Apabila seseorang menjalankan salat fardu, baik fardu ain ataupun lainnya, di atas kendaraan yang sedang berhenti dan menghadap kiblat, serta menyempurnakan fardunya salat, maka hukum salatnya adalah sah. Namun, apabila tidak (menghadap kiblat atau kendaraannya sedang berjalan), maka tidak sah sebab berjalannya kendaraan distatuskan sebagaimana berjalannya orang yang salat tersebut.”
Dari keterangan Syaikh Khathib al-Syarbini ini dapat dipahami bahwa alasan mendasar dari tidak sahnya salat di atas kendaraan yang sedang berjalan sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Munawi di atas adalah karena “berjalannya kendaraan statusnya disamakan dengan berjalannya orang yang sedang salat.” Oleh sebab itu, apabila kendali kendaraan bukan dilakukan oleh orang yang sedang salat, hukum salatnya tetap dihukumi sah selama syarat-syarat dan rukun-rukunnya dijalankan dengan sempurna. Hal ini sebagaimana keterangan yang diambil dari kitab al-Bujairami ‘ala al-Khathib karya Syaikh Sulaiman al-Bujairami:
حاشية البجيرمي على الخطيب، ج. ١، ص. ٤٦٤-٤٦٥ (دار الفكر)
(قوله: لِاَنَّ سَيْرَ الدَّابَةِ مَنْسُوْبٌ اِلَيْهِ) -إلى أن قال- وَقَالَ اج: يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهَا لَوْ كَانَ لَهَا قَائِدٌ يَلْزَمُ زِمَامَهَا يُسِيْرُهَا بَحَيْثُ لَا تَخْتَلِفُ الْجِهَّةَ جَازَ ذَلِكَ كَالسَّرِيْرِ وَالصَّلاَةِ فِي الْمِحَفَّةِ السَّائِرَةِ لِمُرَاعَاةِ مَنْ بِيَدِهِ زِمَامُ الدَّابَةِ الْقِبْلَةَ شرح م ر.
“Dipahami dari keterangan ini (yakni, sebab berjalannya kendaraan distatuskan sebagaimana berjalannya orang yang salat tersebut), apabila ada orang lain yang memegang kendali laju kendaraan, sekiranya tidak berubah-berubah arah laju kendaraan tersebut (selalu menghadap kiblat), maka hukum salatnya adalah sah, seperti halnya kasus orang yang salat di atas tandu karena pengendali kemudi tersebut tetap mengarahkan arah laju kendaraan menghadap kiblat.”
Dengan ini, melihat permasalahan yang disebutkan dalam pertanyaan, hukum salatnya adalah tidak sah. Salah satu alasannya adalah karena ketika salat posisinya tidak menghadap ke arah kiblat, padahal menghadap kiblat dalam salat fardu, baik dilakukan di atas kendaraan atau tidak, harus dilaksanakan mulai takbiratulihram sampai salam. Sebab, keterangan-keterangan yang menyebutkan bahwa boleh (sah) salat di atas kendaraan yang dimaksud adalah salat-salat sunah dan salat dalam keadaan perang (syiddatul khauf) bukan salat fardu pada umumnya. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Minhaj al-Qawim dan Syaikh Mahfudz al-Turmusi dalam kitabnya Mawahub Dzi al-Fadhal menyebutkan:
شرح منهاج القويم مع حاشية الترمسي، ج. ٣، ص. ٢٣٩-٢٤١ (دار المنهاج)
وَيَجِبُ اِسْتِقْبَالُهَا فِيْ كُلِّ صَلَاةٍ (اِلَّا فِيْ صَلاَةِ شِدَّةِ الْخَوْفِ) -الى أن قال- (وَاِلَّا فِيْ نَفْلِ السَّفَرِ) المُعَيَّنِ الْمَقْصَدِ (المُبَاحِ) اَي الْجَائِزِ وَاِنْ كُرِهَ اَوْ قَصُرَ
(قوله: في كل صلاة) اَيْ مِنْ فَرْضٍ وَنَفْلٍ إِذْ هُوَ شَرْطٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ قَادِرٍ عَلَيْهِ اِذَا كَانَ فِي الْأَمْنِ
“Wajib untuk menghadap kiblat pada setiap salat, baik salat wajib maupun sunah, kecuali salat yang dilakukan dalam keadaan genting (misal: perang) dan salat sunah yang dilakukan dalam perjalanan, yang perjalanan tersebut memiliki tujuan yang jelas dan bukan perjalanan maksiat. Sebab, menghadap kiblat adalah syarat sahnya salat bagi orang yang mampu apabila dalam keadaan aman.”
Namun, selanjutnya muncul pertanyaan baru, apabila tidak sah salatnya, apakah tetap wajib menjalankan salat (misalnya dengan cara turun dari kendaraan) atau tidak wajib (cukup untuk diqada ketika sudah sampai di tempat tujuan)?
Dalam kaitannya dengan pertanyaan baru ini, ulama berbeda pendapat sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Majmu’ ‘ala Syarhil al-Muhadzdzab karya Imam an-Nawawi:
المجموع شرح المهذب، ج. ٣، ص. ٢٤٢
(فَرْعٌ) قَالَ اَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوْبَةُ وَهُمْ سَائِرُوْنَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ اِلَى الْقِبْلَةِ اِنْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ اَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ اَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَاِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيْهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْاِعَادَةُ لِأَنَّهَا عُذْرٌ نَادِرٌ هَكَذَا ذَكَرَ الْمَسْأَلَةَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ صَاحِبُ التَّهْذِيْبِ وَالرَّافِعِيْ
(Cabangan: Para ulama pengikut madzhab Imam Syafi’i mengatakan: “Apabila salat wajib telah tiba, sementara kondisinya masih dalam perjalanan, dikhawatirkan apabila turun (dari kendaraan) untuk menjalankan salat di atas bumi dan menghadap kiblat akan tertinggal dari rombongan atau khawatir pada keselamatan dirinya atau harta kekayaannya, maka baginya tidak diperkenankan untuk meninggalkan salat tersebut, melainkan tetap salat di atas kendaraan untuk menghormati datangnya waktu salat dan baginya wajib untuk mengulanginya lagi (mengqada), karena ini termasuk uzur yang jarang terjadi.”)
Sementara itu, berdasarkan keterangan Qadhi Husain, wajib salat di atas kendaraan meskipun tidak menghadap kiblat. Namun, apakah ketika sudah sampai di tempat tujuan wajib untuk mengulangi salat tersebut atau tidak, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagaimana keterangan berikut:
المجموع شرح المهذب، ج. ٣، ص. ٢٤٢
وَقَالَ الْقَاضِي حُسَيْنُ يُصَلِّي عَلَى الدَّابَّةِ كَمَا ذَكَرْنَا قَالَ وَوُجُوْبُ الْإِعَادَةِ يَحْتَمِلُ الْوَجْهَيْنِ اَحَدُهُمَا لَا تَجِبُ كَشِدَّةِ الْخَوْفِ وَالثَّانِي تَجِبُ لِأَنَّ هَذاَ نَادِرٌ
(Qadhi Husain berkata: Baginya tetap wajib untuk menjalankan salat di atas kendaraan, sedangkan kewajiban untuk mengulanginya lagi (mengqada) ada dua pendapat, pertama mengatakan tidak wajib mengulangi sebab kasus ini seperti salat syiddatul khauf, kedua wajib untuk mengulanginya (mengqada) sebab ini adalah masalah yang jarang).
Sedangkan, menurut Imam Haramain dan Imam al-Ghazali mengatakan bahwa setiap salat yang pada akhirnya harus diqada, maka salat tersebut tidak wajib dilakukan ketika waktu salat tersebut tiba. Keterangan tersebut sebagaimana disebutkan dalam keterangan berikut ini:
حاشية ابن قاسم على غرر البهية، ج. ١، ص. ٢٠٧
وَنَقَلَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلًا أَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ تَفْتَقِرُ إلَى الْقَضَاءِ لَا يَجِبُ فِعْلُهَا فِي الْوَقْتِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
-Salat fardu yang dilakukan di atas kendaraan tetap wajib untuk menghadap kiblat.
-Apabila salat fardu yang dilakukan di atas kendaraan tidak dapat dilakukan dengan menghadap kiblat, maka:
- Menurut sebagian ulama, baginya tetap wajib menjalankan salat tersebut di atas kendaraan dengan konsekuensi nanti ketika sudah sampai di tempat tujuan wajib untuk mengqadanya (lihurmatil waqti).
- Menurut sebagian ulama lainnya, baginya tidak wajib untuk menjalankan salat tersebut di atas kendaraan. Namun, baginya cukup untuk mengqada salat yang telah ditinggalkan ketika sedang dalam perjalanan.
- Menurut ulama lainnya lagi, baginya tetap wajib menjalankan salat di atas kendaraan dan tidak wajib baginya untuk mengqada ketika sudah sampai di tempat tujuan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Guru Fiqh Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah
Views: 47