Tantangan Pewarisan Jamu: Dari Hegemoni Farmasi Modern sampai Stigma ke Perempuan

tantangan-pewarisan-jamu:-dari-hegemoni-farmasi-modern-sampai-stigma-ke-perempuan

Jamu, sebagai bagian integral dari warisan budaya Indonesia, merupakan salah satu bentuk pengobatan tradisional yang telah digunakan selama berabad-abad. Namun, seiring berkembangnya dunia medis modern, posisi jamu mengalami pergeseran signifikan. Pengobatan modern, khususnya farmasi berbasis kimia sintetis, semakin mendominasi sistem kesehatan di Indonesia.

Sebagai pengobatan alternatif, jamu sejatinya menawarkan pendekatan yang lebih holistik dengan bahan-bahan alam. Namun, di tengah dominasi industri farmasi modern yang berfokus pada obat-obatan sintetis, jamu menghadapi tantangan signifikan.

Kurangnya penelitian ilmiah yang memadai, standarisasi produk, serta regulasi yang ketat membuat jamu sering kali dipandang sebelah mata di kalangan medis arus utama. Selain itu, popularitas obat-obatan sintetis yang lebih cepat menunjukkan hasil, serta kampanye pemasaran farmasi besar juga mempersempit ruang bagi jamu untuk bersaing sebagai pilihan pengobatan yang valid.

Melawan Hegemoni Farmasi Modern

Sejak dekade 1960-an hingga 1970-an, farmasi modern mulai mendominasi praktik kedokteran di Indonesia. Pada masa ini, pengobatan tradisional yang sebelumnya menjadi bagian integral dalam layanan kesehatan mulai tergeser oleh obat-obatan sintetis yang dinilai lebih efektif dan cepat memberikan hasil.

Pengobatan berbasis herbal seperti jamu, yang telah berakar kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia, mengalami penurunan popularitas akibat arus modernisasi yang mendukung farmasi konvensional.

Inggrid Tania, ketua umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), mencatat bahwa pengobatan tradisional sempat mengalami kemajuan pada masa awal kemerdekaan. Namun kemudian terpinggirkan oleh dominasi kedokteran konvensional.

“Sejak tahun 1960 atau 1970, kedokteran konvensional sangat dominan. Sebetulnya, pada zaman awal-awal kita merdeka, tahun 45 atau 50-an, pengobatan tradisional kita sempat maju,” jelasnya.

Namun, pada 1990-an, tren global mulai bergeser kembali ke arah pengobatan alami. Bahan-bahan herbal seperti jamu mendapat perhatian lebih besar dari masyarakat yang mulai mencari alternatif yang lebih alami dalam menjaga kesehatan.

“Sejak tahun 90-an, tren global berubah, sehingga pengobatan berbasis bahan-bahan alami semakin menguat demand-nya,” tambah Inggrid.

Inggrid sendiri sudah menerapkan praktik pengobatan holistik lewat jamu sejak 2003. Ketertarikannya terhadap jamu terus berkembang hingga dia menyelesaikan pendidikan S2 Herbal di Universitas Indonesia pada 2012. Dari sana, ia semakin memperkuat peran jamu dalam praktik kesehatannya.

 “Saya sudah menerapkan itu sejak tahun 2003. Saya lulus dokter tahun 2002, terus mulai menerapkan sejak 2003. Karena pada saat itu banyak pasien yang meminta diberikan pengobatan alami,” ungkapnya.

Pagebluk dan Kesempatan Pengembangan Jamu
Racikan jamu (sumber foto: dok. Konde.co/Luthfi Maulana Adhari)
Racikan jamu (sumber foto: dok. Konde.co/Luthfi Maulana Adhari)

Permintaan akan jamu diakui Inggrid kembali menguat saat pandemi COVID-19. Hal ini didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencari alternatif pengobatan alami yang diyakini mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Menurut Inggrid, momentum ini memberikan kesempatan penting untuk melanjutkan pewarisan pengetahuan tradisional tentang jamu. Agar tidak mengalami kemunduran seperti di masa lalu.

Jamu, yang sebelumnya sempat kurang populer, kembali mendapatkan perhatian publik ketika bahan-bahan seperti jahe, temulawak, dan kunyit dicari oleh masyarakat. Bahkan sampai menyebabkan harga bahan-bahan tersebut melonjak drastis di pasaran.

Demand akan jamu dan bahan-bahan alami sangat kuat saat pandemi. Pasaran sempat kesulitan mendapatkan jahe, temulawak, kunyit, dan bahan-bahan lainnya yang harganya melambung tinggi,” tambah Inggrid.

Inggrid menekankan bahwa momentum ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk menciptakan sistem pengembangan jamu yang berkelanjutan. Hal ini penting agar jamu tidak hanya dipandang sebagai solusi sementara di saat krisis. Tetapi bisa menjadi bagian integral dari budaya kesehatan masyarakat. Ia mengingatkan bahwa jika semangat pengembangan jamu tidak dilanjutkan, ada risiko terputusnya pewarisan pengetahuan tradisional. Seperti yang terjadi di masa lalu.

“Jika kita tidak meneruskan semangat dari masa pandemi itu, bisa terjadi seperti masa-masa dulu ketika pewarisan pengetahuan tradisional terputus,” katanya.

Selain itu, pemerintah juga harus menjadi pengasuh yang baik dalam memperkuat posisi jamu, terutama setelah pengakuan UNESCO yang menetapkan jamu sebagai warisan budaya takbenda dunia pada tahun 2021. Langkah ini, meskipun terbilang lambat, menurut Inggrid, merupakan tonggak penting dalam meningkatkan legitimasi jamu di mata dunia.

“Proses ini sudah dimulai sejak tahun 2013, dan meskipun lambat, akhirnya tahun lalu UNESCO mengakui jamu sebagai warisan budaya takbenda dunia di 2021,” ungkap Inggrid.

Baca juga: Suwe Ora Jamu, Upaya Perempuan Memutus Kejemuan Akan Jamu

Pengakuan UNESCO terhadap jamu sebagai warisan budaya takbenda dunia memberikan angin segar bagi perkembangan jamu di Indonesia. Namun, pengakuan ini harus diikuti dengan tindakan nyata dari pemerintah untuk melestarikan dan mengembangkan jamu secara berkelanjutan.

“Momentum ini seharusnya dilanjutkan dengan pengembangan yang lebih masif, seperti yang dilakukan India dengan yoga, atau TCM (Traditional Chinese Medicine) yang diakui secara global,” ungkap Inggrid.

Inggrid juga menyoroti perlunya kolaborasi berbagai pihak, termasuk industri besar yang bisa berperan sebagai “orang tua angkat” bagi usaha mikro jamu, dengan memberikan pelatihan dan bantuan terkait pembuatan jamu yang higienis.

“Industri-industri besar jamu ini juga didorong menjadi orang tua angkat bagi usaha mikro jamu, misalnya dengan memberikan pelatihan tentang cara membuat jamu secara higienis,” jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa tidak perlu ada perdebatan antara jamu instan dan jamu tradisional segar, karena masing-masing memiliki segmen pasar tersendiri. Alih-alih, perlu adanya sinergi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang berperan penting dalam memastikan bahwa produk jamu yang beredar di masyarakat aman untuk dikonsumsi.

“Tidak perlu dipertentangkan antara jamu instan dan jamu segar tradisional, karena masing-masing punya pasar sendiri,” tambahnya.

Harapan lain yang muncul dari perkembangan jamu adalah meningkatnya keterbukaan di kalangan tenaga medis, khususnya dokter, terhadap penggunaan jamu dalam praktik kesehatan mereka. Sejak pandemi, semakin banyak dokter yang mulai tertarik untuk mempelajari dan mempertimbangkan jamu sebagai bagian dari perawatan pasien. Menurut Inggrid, hal ini terlihat dari antusiasme para tenaga medis yang berpartisipasi dalam berbagai seminar, webinar, dan lokakarya yang diadakan tentang jamu dan pengobatan tradisional.

“Setiap kali kami mengadakan seminar, webinar, atau workshop tentang jamu dan pengobatan tradisional, peminatnya selalu banyak, termasuk dari dokter juga,” jelas Inggrid.

Diakui UNESCO Tapi Kerja Belum Selesai

Meskipun minat terhadap jamu semakin meningkat, masih ada hambatan besar dalam memperkuat posisinya di layanan kesehatan, salah satunya adalah minimnya penelitian ilmiah. Penelitian yang lebih mendalam sangat diperlukan untuk membuktikan secara klinis khasiat jamu dan memperluas penggunaannya dalam dunia medis.

Sayangnya, proses penelitian jamu sering kali terkendala oleh dana yang terbatas dan regulasi yang kaku. Inggrid menjelaskan bahwa penelitian jamu membutuhkan biaya yang besar, sumber daya manusia (SDM) yang memadai, serta izin dari berbagai institusi. Hal ini membuat penelitian jamu tidak bisa berkembang sepesat obat-obatan konvensional yang umumnya didukung oleh industri farmasi global besar dengan sumber daya yang melimpah.

“Penelitian membutuhkan dana yang besar, SDM, serta izin dari berbagai institusi. Sehingga penelitian jamu tidak semasif obat konvensional yang didukung oleh industri besar global,” kata Inggrid.

Pemerintah Indonesia, melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sejatinya terbuka memberikan bantuan dana untuk penelitian jamu. Kendati demikian, bantuan ini masih terbatas dibandingkan dengan negara lain. Inggrid menjelaskan bahwa peneliti dapat mengajukan proposal ke BRIN, yang kemudian akan ditinjau oleh tim terkait. Namun, besarnya dana yang tersedia di Indonesia masih jauh dari cukup untuk mendukung penelitian yang masif.

Baca juga: Hidup Menghidupi Jamu dengan Adil Gender: Mewariskan Tradisi, Melawan Ketidakadilan

“Pemerintah memberikan bantuan dana, misalnya melalui BRIN. Kita bisa mengajukan proposal penelitian ke BRIN dan mereka akan review proposalnya. Di beberapa negara, pemerintah 100 persen mendanai penelitian pengobatan tradisional,” tambahnya.

Kendala lain juga muncul dari industri jamu itu sendiri. Meskipun industri ini memiliki kapasitas untuk berinvestasi dalam penelitian, fokus mereka lebih banyak pada pengembangan produk pasar. Penelitian internal yang dilakukan industri cenderung bertujuan untuk meningkatkan penjualan dan inovasi produk, bukan untuk memperkuat posisi jamu di fasilitas kesehatan formal.

Hal ini menciptakan kesenjangan dalam penelitian jamu yang dapat mendukung integrasinya ke dalam layanan kesehatan arustama.

“Industri jamu juga tidak banyak mendanai penelitian untuk pelaku kesehatan, karena mereka lebih fokus pada penelitian internal,” ungkap Inggrid.

Kembangkan Jamu, Hempaskan Stigmanya

Selain tantangan dalam penelitian, stigma yang melekat pada jamu juga perlu diatasi. Sejarah menunjukkan bahwa perempuan, terutama melalui figur ‘Mbok Jamu Gendong’, memainkan peran besar dalam memasarkan jamu. Meski menjadi simbol budaya, figur ini juga kerap menjadi objek seksual di tengah sistem budaya yang patriarkis, baik di masyarakat maupun tayangan media. Inggrid pun menekankan bahwa tidak ada pengotakan gender perihal penjual jamu.

“Penjual jamu tidak hanya perempuan, laki-laki juga bisa berjualan jamu, seperti yang dulu sudah ada,” katanya.

Edukasi yang tepat mengenai manfaat jamu sangat penting untuk mengurangi kesalahpahaman yang masih ada, termasuk stigma terkait seksualitas. Jamu untuk perempuan lebih sering terkait dengan seksualitas perempuan yang sesuai dengan ekspektasi laki-laki. Menurut Inggrid, stigma ini perlu dihilangkan agar masyarakat dapat melihat bahwa jamu memiliki manfaat kesehatan yang lebih luas.

“Tugas kita bersama adalah memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa jamu memiliki manfaat lain,” tutupnya.

Pentingnya Peta Jalan Untuk Pengembangan Jamu di Indonesia

Pengembangan jamu di Indonesia membutuhkan peta jalan yang komprehensif untuk memastikan bahwa pengobatan tradisional ini dapat berkembang secara berkelanjutan, selaras dengan pengobatan modern.

Negara-negara lain, seperti Malaysia, telah mengadopsi peta jalan atau blueprint dengan target-target yang jelas untuk pengembangan pengobatan tradisional dengan target-target yang jelas. Menurut Inggrid, Indonesia perlu melakukan hal yang sama untuk memastikan jamu dapat mendapatkan tempat yang lebih signifikan dalam sistem layanan kesehatan.

“Malaysia memiliki blueprint pengembangan traditional medicine yang jelas dengan target-target yang harus dicapai,” jelas Inggrid.

Peta jalan ini penting untuk membentuk sistem yang mendukung posisi jamu di fasilitas kesehatan dan mengurangi kesenjangan antara pengobatan modern dan tradisional. Dengan peta jalan yang jelas, jamu tidak hanya akan bertahan sebagai warisan budaya. Namun juga berkembang menjadi bagian penting dari layanan kesehatan Indonesia.

Blueprint ini penting untuk membentuk sistem yang kokoh,” tambah Inggrid.

Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, juga menyatakan bahwa pengakuan jamu sebagai warisan budaya adalah salah satu realisasi dari peta jalan pelestarian cagar budaya dan pemajuan kebudayaan.

“Pengakuan ini menjadi realisasi peta jalan pelestarian cagar budaya dan pemajuan kebudayaan,” ujar Hilmar.

Ia menambahkan bahwa pelestarian jamu memerlukan keterlibatan aktif dari berbagai pihak, termasuk masyarakat. Dengan sinergi antara pemerintah, industri, dan masyarakat, serta adanya peta jalan yang jelas, jamu berpotensi menjadi bagian integral dari sistem kesehatan nasional, sekaligus menjaga identitas budaya Indonesia.

“Pelestarian jamu membutuhkan optimalisasi keterlibatan bersama dan masyarakat dalam pengelolaan kolektif yang partisipatif,” pungkasnya.

(sumber foto: Ditjenbud)

(Artikel ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Tantangan Pewarisan Jamu: Dari Hegemoni Farmasi Modern sampai Stigma ke Perempuan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us