Kamus Feminis: Pandangan Feminisme Terhadap Oligarki dan Militerisme Yang Abaikan Kesetaraan

kamus-feminis:-pandangan-feminisme-terhadap-oligarki-dan-militerisme-yang-abaikan-kesetaraan

Prabowo dan Gibran disebut sebagai pemerintahan yang penuh dengan oligarki dan militerisme.

Prabowo pernah menjabat Kopassus dengan rekam jejak pelanggaran HAM berat di tahun 1998. Sedangkan Gibran ‘dinaikkan’ menjadi wakil presiden agar kekuasaan dinasti Jokowi berlanjut.

Ideologi militerisme sudah sejak lama dikritik oleh para feminis, salah satunya Sylvia Walby. 

Sebagai seorang sosiolog feminis terkemuka, Walby menghubungkan militerisme dengan patriarki global dalam teorinya tentang “patriarki sebagai sistem.”

Dalam buku “Theorizing Patriarchy,” Walby berpendapat bahwa militerisme adalah salah satu alat utama yang digunakan oleh sistem patriarki untuk mempertahankan kekuasaan laki-laki dan kontrol sosial. Walby juga mengeksplorasi militerisme, dalam skala internasional, memperkuat ketidaksetaraan gender dan mengurangi ruang untuk demokrasi dan kesetaraan.

Selain Walby, Charlotte Bunch juga mengkritik keras militerisme dan dampaknya terhadap perempuan. 

Bunch adalah seorang feminis dan aktivis hak asasi manusia yang sangat vokal dalam kritiknya terhadap militerisme, khususnya dalam kaitannya dengan hak asasi perempuan. Bunch berpendapat bahwa militerisme memperkuat ketidakadilan struktural dan merugikan perempuan dengan meningkatkan kekerasan, kemiskinan, dan ketidakamanan. 

Dalam pandangannya, perjuangan feminis untuk hak asasi manusia harus mencakup penentangan terhadap militerisme. Karena militerisme sering kali membatasi kebebasan dan memperburuk ketidaksetaraan.

Para feminis ini melihat militerisme tidak hanya sebagai isu militer atau keamanan, tetapi juga sebagai bagian dari sistem sosial-politik yang lebih luas yang memperkuat patriarki dan merusak hak-hak dan kebebasan perempuan. Mereka mendorong pendekatan yang menekankan pada perdamaian, keadilan sosial, dan kesetaraan gender sebagai alternatif terhadap kekerasan dan dominasi yang seringkali dilegitimasi oleh militerisme.

Baca juga: Kegilaan pada Mayor Teddy di TikTok: Bentuk Pengidolaan pada Militer di Media Sosial

Ancaman yang dihadapi Indonesia saat ini juga mencakup oligarki, menjelang naiknya Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden. 

Selain Gibran, Jokowi terpantau sudah mulai berbagi ‘kue’ kekuasaan kepada sejumlah kerabat dan orang dekatnya. Termasuk adik Gibran, Kaesang Pangarep. Politik oligarki adalah salah satu yang dikecam keras oleh feminis karena dampaknya sangat buruk terhadap perempuan.

Nancy Fraser adalah seorang feminis dan filsuf politik yang terkenal dengan kritiknya terhadap kapitalisme global dan oligarki ekonomi. Dalam banyak karyanya, seperti “Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis,” Fraser menyatakan bahwa sistem ekonomi neoliberal yang sering didukung oleh oligarki telah memperburuk ketidaksetaraan. Termasuk ketidaksetaraan gender. 

Menurutnya, feminisme harus melibatkan kritik terhadap struktur ekonomi yang mendukung oligarki. Sebab sistem ini menciptakan eksklusi terhadap perempuan, terutama perempuan dari kelas pekerja dan kelompok minoritas.

Fraser juga memperkenalkan konsep “persoalan ganda” (double injustice). Perempuan tidak hanya tertindas oleh patriarki, tetapi juga oleh struktur ekonomi yang didominasi oleh oligarki. Dia berpendapat bahwa perjuangan feminis untuk kesetaraan gender harus mencakup perjuangan melawan ketidakadilan ekonomi yang diperkuat oleh oligarki.

Di antara feminis yang sejak awal konsisten mempermasalahkan kapitalisme adalah Nancy Fraser. Pengajar filsafat dan politik di The New School of Social Research, New York, ini menyampaikan bahwa kapitalisme bukan sekadar sistem ekonomi, melainkan sebagai “tatanan sosial yang terlembagakan”. 

Amin Mudzakkir dalam disertasinya di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara yeng menuliskan soal pemikiran Nancy Fraser misalnya menuliskan cakupan pemikiran Nancy tidak hanya pada ekonomi, tetapi juga reproduksi sosial, ekologi, dan kuasa publik.

Baca juga: Bagaimana Kamu Harus Jadi Anak Muda Di Masa Roti Harga 400 Ribu dan Nepotisme Keluarga Istana?

Dalam pengertian ini, ekonomi pada dasarnya hanya menempati “latar depan” dari kapitalisme, sedangkan reproduksi sosial, ekologi, dan kuasa publik adalah “latar belakang”-nya. Masalahnya, kata Fraser, sebagian besar kritik kapitalisme terfokus pada yang pertama, tetapi mengabaikan yang kedua, padahal di wilayah latar belakang itu terdapat “syarat kemungkinan” (condition of possibility) bagi yang pertama. Dengan kalimat lain, kapitalisme tidak akan berjalan jika tidak disokong oleh yang kedua. 

Fraser menulis “pekerja upahan tidak bisa ada jika tidak ada pekerjaan rumah, pengasuhan anak, sekolah, perawatan afektif dan sejumlah kegiatan lain yang membantu menghasilkan generasi baru pekerja dan mengisi pekerja yang sudah ada, serta untuk memelihara ikatan sosial dan pemahaman bersama”

Nancy Frazer juga menuliskan tentang relasi gender dan kapitalisme tidak hanya dilihat dari cara pandang kultural, tetapi juga dari ideologi ekonomi dan politik, karena model kapitalisme negara yang terus berubah ke kapitalisme neoliberal. Jika sebelumnya feminisme lebih banyak tertarik membicarakan persoalan gender kultural, maka ini juga harus ditarik dalam gerakan sosial dan melihat dari cara pandang ekonomi dan politik untuk melihat bagaimana ideologi negara untuk perempuan dalam konteks ini.

Dari sisi sejarah feminisme, feminisme kritis Fraser adalah bagian dari gerakan feminis gelombang kedua yang tumbuh pada tahun 1960-an bersama dengan kelompok Kiri Baru dan gerakan sosial lainnya. Dalam literatur-literatur yang ada, istilah “feminisme kritis” sering disebut juga sebagai “teori feminisme kritis”. Pada dasarnya keduanya merujuk pada hal yang sama, yaitu suatu pendekatan yang mau mengangkat pengalaman perempuan ke ranah teoretis, tetapi tetap berbasis pada praksis perubahan sosial yang emansipatoris.  

Seluruh pemikiran Fraser dibagi ke dalam tiga tema utama, yaitu keadilan, ruang publik, dan negara kesejahteraan. Dalam ketiga tema ini, Fraser menunjukkan adanya berbagai tegangan yang mesti dihadapi feminisme kritis di era kapitalisme neoliberal. 

Perempuan dalam Bayang-Bayang Militerisme

Dalam waktu kurang dari satu bulan, pemerintahan Indonesia akan beralih. Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang selama dua periode terakhir didapuk oleh Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, bakal dilimpahkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Hal tersebut sudah lama dikritik sebagai tanda pelemahan demokrasi. Dalam situasi ini, perempuan menjadi yang paling terdampak. Kita mungkin sudah merasakannya di sekitar kita: okupasi ruang publik oleh buzzer pemerintah—kerap disebut ‘buzzeRP’—pengurangan kuota perempuan di parlemen, hingga produksi berbagai kebijakan diskriminatif dan bias gender.

Kenapa kekuasaan militerisme berbahaya bagi demokrasi dan, di atas itu, perempuan?

Militerisme dapat mengancam demokrasi dan kebebasan perempuan dalam beberapa cara yang signifikan. Pengaruh militerisme cenderung memperkuat struktur kekuasaan yang hierarkis dan otoriter, yang seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kesetaraan gender.

Militerisme sering dikaitkan dengan struktur kekuasaan yang didominasi oleh laki-laki. Perempuan jarang memiliki peran dalam pengambilan keputusan tentang perang atau keamanan. Padahal, feminisme mendorong adanya perspektif perempuan dalam kebijakan perdamaian dan keamanan.

Feminisme juga mengkritik prioritas anggaran yang besar untuk militer. Pasalnya, penganggaran tersebut seringkali mengorbankan investasi dalam layanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Prioritas semacam ini lebih banyak menguntungkan elit politik dan militer, sementara perempuan dan anak-anak menjadi korban utama dari dampaknya.

Ketika pemerintahan mengedepankan kekuasaan militer di atas institusi sipil, hal itu melemahkan demokrasi. Sebab, terjadi pengurangan peran lembaga-lembaga sipil, seperti parlemen dan pengadilan. 

Dalam sistem demokrasi yang sehat, masyarakat sipil, termasuk perempuan, memiliki akses lebih besar untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Namun, ketika militer menjadi kekuatan dominan, ruang bagi partisipasi politik yang inklusif menyempit. Ini membuat perempuan tersingkir dari proses pengambilan keputusan.

BuzzeRP Juga Mengokupasi Ruang Publik di Dunia Maya

Sadar atau tidak, belakangan ini, kritik perempuan terhadap kondisi darurat demokrasi di internet kerap mendapatkan serangan buzzer. Seberapa jauh ancaman demokrasi di tengah oligarki dan militerisme, terutama dalam aktivisme digital?

Dalam konteks militeristik, suara-suara yang menentang, termasuk dari kelompok feminis atau aktivis perempuan, kerap dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas negara atau keamanan nasional. Hal ini bisa mengarah pada penindasan terhadap aktivisme perempuan. Termasuk pembungkaman kebebasan berekspresi dan penghilangan ruang demokratis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Kita melihat pola ini saat terjadi kriminalisasi terhadap sejumlah perempuan pembela HAM (PPHAM) seperti Fathia Maulidiyanti dan lainnya.

Aktivis perempuan, jurnalis, atau pemimpin komunitas yang vokal dalam mengkritik pemerintah menjadi target utama. Buzzer pemerintah kerap menyebarkan fitnah dan informasi palsu yang berusaha merusak reputasi pribadi mereka. Serangan ini cenderung lebih keras terhadap perempuan, karena mereka dihadapkan dengan ancaman ganda: intimidasi politik dan seksisme.

Buzzer dapat menyebarkan narasi atau opini yang menstigmatisasi perempuan yang vokal di ruang digital. Caranya dengan menuduh mereka “tidak bermoral” atau “tidak sesuai norma”. 

Serangan semacam ini sering kali berakar pada nilai-nilai patriarkis yang mencoba membatasi peran perempuan dalam ruang publik, memperkuat norma-norma sosial yang mengekang perempuan.

Foto: IG prabowo.gibran2

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Kamus Feminis: Pandangan Feminisme Terhadap Oligarki dan Militerisme Yang Abaikan Kesetaraan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us