Viral Kasus Perkosaan dengan Pelaku Anak dan Orang Dewasa, Bagaimana Penanganan Hukumnya?

viral-kasus-perkosaan-dengan-pelaku-anak-dan-orang-dewasa,-bagaimana-penanganan-hukumnya?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan   LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender,   Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya:

Halo, Saya Kayla. Pemberitaan penanganan kasus kekerasan seksual tidak ada habisnya. Belum lama berselang ada kasus dengan pelaku usia anak yang melakukan perkosaan dan penganiayaan sampai korban meninggal dunia. Pelaku tidak ditahan dengan alasan masih di bawah umur. Kasus lain seorang pekerja rumah tangga yang masih di bawah umur diperkosa oleh majikannya. Kasus tersebut sudah dilaporkan ke kepolisian tapi polisi berupaya mendamaikan pelaku dengan korban lewat mediasi. Saya jadi ingin tahu bagaimana sebenarnya penanganan kasus perkosaan bagi pelaku anak dan orang dewasa?

Jawab:

Halo Kayla. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Kami turut prihatin atas kekerasan seksual yang terjadi pada korban. Beberapa waktu ini memang terasa melelahkan membaca dan mengetahui di luar sana banyak anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Mereka mengalami trauma berat bahkan sampai kehilangan nyawa.

Saya kira Kayla dan masyarakat lainnya tentu dibuat geram dengan penanganan kedua kasus tersebut yang menguntungkan pelaku dan merugikan Korban. Lalu bagaimanan seharusnya penanganan kedua kasus tersebut?

Kasus pertama, seorang anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual yaitu perkosaan. Selain itu, korban juga dianiaya sampai meninggal dunia oleh empat orang pelaku yaitu MZ (13 tahun), NS (12 tahun), AS (12 tahun) dan IS (16 tahun). Dari ke-4 pelaku, hanya IS yang ditahan, sementara 3 pelaku lainnya tidak ditahan.

Perbedaan penahanan inilah yang menimbulkan pro kontra di masyarakat. Masyarakat menuntut pertanggungjawaban para pelaku bahkan sampai ingin adanya perubahan usia pertanggungjawaban pidana anak dalam sistem peradilan pidana anak. Ini lantaran aturan yang ada dinilai tidak memberikan keadilan kepada korban dan keluarga korban. Selain itu, muncul kekhawatiran tidak ada efek jera bagi para pelaku.

Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Kita mulai dari memahami apa sebenarnya Sistem Peradilan Pidana Anak? Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Kemudian, siapa saja yang termasuk dalam kategori anak yang berhadapan dengan hukum? Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 2 UU SPPA). Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:

·     Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA).

·     Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4 UU SPPA).

·    Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Baca Juga: Anak Saya Di-bully di Sekolah, Bagaimana Aturan Hukumnya Bagi Pelaku?

Kembali lagi pada Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam mekanisme SPPA wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dan wajib diupayakan diversi (Pasal 5 UU SPPA). Apa yang dimaksud diversi dalam sistem peradilan pidana anak?

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 angka 7 UU SPPA). Diversi bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak (Pasal 6 UU SPPA).

Tapi tunggu dulu, jangan terburu-buru geram saat membaca kata “perdamaian” yang menjadi salah satu tujuan diversi. Karena mekanisme diversi belum selesai di sini. Mari kita lanjutkan dulu untuk memahami diversi lebih lanjut!

Pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 UU SPPA).

Diversi Wajib Memperhatikan Kepentingan Korban

Proses diversi wajib memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum (Pasal 8 UU SPPA).

Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Dalam hal diperlukan, dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.

Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas, dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 9 UU SPPA).

Baca Juga: Istri Balas Tindak Kekerasan Suami, Bagaimana Tangani Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum?

Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat (Pasal 9 ayat 2 UU SPPA).

Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk, antara lain perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat (Pasal 11 UU SPPA).

Proses peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan (Pasal 13 UU SPPA).

Pembatasan Syarat Usia Penahanan Terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum

Sebelum dan setelah dilakukan diversi, penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih (Pasal 32 ayat 2 UU SPPA).

Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak. Yaitu bagi anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan. Sedangkan bagi anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana.

Pendekatan Keadilan Restoratif dan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Setelah memahami diversi, anak perlu mendapat pelindungan dari sejumlah dampak negatif. Seperti  perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, juga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak ketinggalan perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak, antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut.

Substansi yang paling mendasar dalam UU SPPA ini adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi. Keduanya dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Selain itu diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Baca Juga: Konten Intimnya Disebar Tanpa Persetujuan, Apakah Korban Bisa Dipidana?

Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif, baik bagi anak maupun bagi korban.

Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi. Yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, yang tidak berdasarkan pembalasan.

Tidak berdasarkan pembalasan adalah hal penting bagi anak berkonflik dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak. Mengapa demikian? Narasi penghukuman atau pembalasan sering kali tidak sejalan dengan efektivitas penjara dalam mendukung pembinaan anak berkonflik dengan hukum.

Selain itu, pemerintah dan masyarakat perlu melihat lebih dalam faktor penyebab anak terpapar pornografi hingga melakukan tindak pidana kekerasan seksual. Dimulai dari pola pengasuhan dan dinamika keluarga sampai ke lingkungan sosial sehari-hari.

Salah Paham Keadilan Restoratif

Lanjut pada kasus kedua yang Kayla sampaikan dalam pertanyaan. Pekerja Rumah Tangga Anak (PRT Anak) mengalami kekerasan seksual dengan pelaku adalah pemberi kerja. Kasus ini juga sudah dilaporkan pada pihak kepolisian. Namun, pelaku mengajukan permohonan penyelesaian melalui mekanisme keadilan restoratif.

Benarkah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dapat diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif?

Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Definisi ini sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perpol 8/2021).

Baca Juga: Konten Intimnya Disebar Tanpa Persetujuan, Apakah Korban Bisa Dipidana?

Sebenarnya, definisi keadilan restoratif dalam Perpol 8/2021 sama dengan definisi keadilan restoratif dalam UU SPPA. Namun, penerapannya beda dalam kedua kasus tersebut.

Prinsip keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana sering disalahartikan dan disederhanakan sebagai upaya perdamaian antara pelaku dan korban untuk menghentikan proses pidana. Ini tentu bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Pasal ini mengatur bahwa tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan kecuali terhadap pelaku anak. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa terhadap pelaku anak pendekatan keadilan restoratif dilakukan melalui mekanisme diversi.

Tindakan kepolisian melakukan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif berdasarkan Perpol 8/2021 pada kasus ini bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (lex superior) dan khusus (lex specialis) yaitu UU TPKS dan UU Perlindungan Anak.

Baca Juga: Lapor Polisi, Korban Justru dapat Kekerasan Kembali, Bagaimana Jerat Hukumnya?

Kepolisian gagal memahami pengaturan penanganan kekerasan seksual dan tidak menunjukkan keberpihakan pada korban. Apalagi Korban merupakan anak di bawah umur yang secara aturan dilindungi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak. Oleh karena itu, pada kesempatan pertama seharusnya permohonan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif ditolak dan batal demi hukum.

Sekali lagi, penting bagi aparat penegak hukum memahami karakteristik tindak pidana kekerasan seksual. Dengan begitu aparat akan mampu menghadirkan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG) melalui bit.ly/FormAduanKAKG atau email: konsultasi@advokatgender.org.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Viral Kasus Perkosaan dengan Pelaku Anak dan Orang Dewasa, Bagaimana Penanganan Hukumnya?

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us