“Tanggal 22 Agustus tercatat sebagai hari bersejarah. Ribuan elemen masyarakat turun ke jalan di berbagai kota, menyuarakan penolakan atas revisi UU Pilkada yang dinilai menguntungkan dinasti Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo.” (“Ini bukan negara milik keluarga tertentu”, BBC Indonesia, 24 Agustus) .
Bersejarah? Apa iya? Ada begitu banyak demonstrasi selama beberapa dekade ini. Misalnya, Malari (Malapetaka Lima Belas Januari), terjadi pada tahun 1974 untuk melawan korupsi, harga-harga yang melambung, dan ketidakadilan dalam investasi asing. Kemudian pada tahun 2005-2006, ada serangkaian protes di seluruh negeri terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, yang dianggap mengancam keberagaman dan pluralisme budaya Indonesia. RUU tersebut tetap disahkan pada tahun 2008.
Contoh yang lebih baru terlihat pada demonstrasi tahun 2020 terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. RUU ini konon dimaksudkan untuk meningkatkan investasi dan industrialisasi. Para pengunjuk rasa khawatir dengan dampak undang-undang itu terhadap kondisi kerja dan lingkungan. Namun akhirnya toh RUU itu disahkan menjadi undang-undang. Jadi, apa yang baru?
Ada banyak protes lain selama beberapa dekade ini. Bahkan ada entri Wikipedia berjudul “Protes di Indonesia”, yang menampilkan 19 halaman yang bahkan tidak mencerminkan perkembangan terkini.
Baca Juga: Pendidikan Perubahan Iklim di Indonesia Belum Tepat Sasaran, Mitigasi Harus Selaras
Terkait protes 22 Agustus, pada 23 Agustus, ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) mengeluarkan pernyataan yang menyatakan keprihatinan mendalam mereka atas “penggunaan kekuatan yang berlebihan seperti kekerasan, peluru karet, gas air mata, meriam air, dan pentungan terhadap mahasiswa, pembela hak asasi manusia, dan jurnalis yang terlibat dalam demonstrasi protes … pada 22 Agustus 2024, di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makassar, Indonesia.” Sekali lagi, apa yang baru? Setidaknya tidak ada korban jiwa kali ini.
Sejak beberapa tahun belakangan ini, saya merasa sangat jenuh dengan perkembangan politik di Indonesia. Sebagai seseorang yang hidup di era Orde Baru (1966-1998) dan 26 tahun di Era Reformasi, saya merasa seperti Phil Connors, peramal cuaca televisi dan tokoh utama dalam film Groundhog Day tahun 1993. Ia terjebak dalam lingkaran waktu dan dipaksa untuk terus-menerus mengulang-ulang kembali peristiwa Groundhog Day, 2 Februari.
Krisis politik yang terjadi di Indonesia seperti Groundhog Day, semacam déjà vu (istilah Prancis yang berarti seperti sudah pernah mengalaminya). Di usia 70 tahun, setelah 40 tahun mempertaruhkan kebebasan saya, terkadang mungkin nyawa saya, untuk melawan otoritarianisme, sungguh menyakitkan menyaksikan kemunduran, nota bene yang melibatkan seorang presiden yang saat itu digambarkan “A New Hope” (Harapan Baru). Sebagaimana tajuk utama halaman depan majalah TIME pada 27 Oktober 2014, yang menampilkan wajah Jokowi.
Baca Juga: Memotret Feminisme dalam Peluncuran Buku ‘Transformasi Feminisme Indonesia: Pluralitas, Inklusivitas dan Interseksionalitas’
Kekhawatiran atas pembentukan dinasti Jokowi juga bukan hal baru. Ada yang lain: Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Pada tahun 1964, Harry Benda, seorang Indonesianis terkenal dari Universitas Yale, mengatakan Republik Indonesia tidak akan pernah sepenuhnya menjadi negara demokrasi karena para elitenya membantu membangun budaya politik yang mewarisi tradisi politik feodal masa lalu. Sekitar enam dekade telah berlalu, dan kecemasan Benda telah menemukan relevansinya pada meluasnya pelestarian kekuasaan berdasarkan garis keturunan”. (Lihat “Indonesia, democratic dynasty soap opera!”, The Jakarta Post, 24 Januari 2024, dan “From Reformation to deformation? 25 years of backsliding”, The Post, 24 Mei 2023).
Protes-protes tersebut memang menyangkut berbagai topik–korupsi, kebebasan berekspresi, kekerasan terhadap perempuan, hak-hak pekerja, dll. Namun, tema narasi utamanya sama: demokrasi atau hak-hak rakyat versus otoritarianisme.
Baca Juga: Manis di Bibir, Pahit di Ladang: Tantangan Petani Kakao Perempuan di Indonesia
Tujuan dari sistem hukum adalah untuk mencegah ketidakadilan, tetapi di Indonesia hukum tertulis digunakan untuk mengalahkan semangat hukum. Bahkan, Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Sekolah Hukum Jentera (STH), mengatakan hukum di Indonesia sering kali dijadikan senjata untuk mengintimidasi publik. Hal ini terutama berlaku selama proses pemilihan umum.
Seorang teman milenial saya berkomentar, “Saya heran apakah tiga dekade lebih di bawah Soeharto telah membuat trauma jiwa kolektif Indonesia sedemikian rupa sehingga sekarang mereka mengalami sindrom Stockholm yang diktator? Tidak dapat dipercaya bahwa dalam waktu kurang dari 30 tahun kita benar-benar tergelincir kembali!”
Sindrom Stockholm adalah suatu kondisi ketika sandera membangun ikatan psikologis dengan penculiknya.
Saya menjawab, “Itu bisa jadi salah satu cara untuk melihatnya.” Dan memang ada contohnya pada individu tertentu, misalnya Budiman Sudjatmiko (lahir 1970). Seorang mantan aktivis 1998 yang sekarang mendukung Prabowo Subianto dan telah bergabung dengan Partai Gerindra-nya. Prabowo mengakui terlibat dalam penculikan sembilan aktivis anti-Soeharto, salah satunya Budiman. Pada November 1998, Prabowo diberhentikan dari dinas militer setelah dinyatakan bersalah karena “keliru menafsirkan perintah”.
Namun, pada tataran kolektif mungkin lebih tepat untuk merujuk pada novel perdana dan karya besar Chinua Achebe tahun 1958 Things Fall Apart, tentang dampak penjajahan terhadap suatu bangsa. Achebe (1930-2013) adalah seorang novelis, penyair, dan kritikus Nigeria, yang dianggap sebagai tokoh utama sastra Afrika. Novelis penting yang terkenal karena menulis tentang nasionalisme dan penjajahan Afrika.
Baca Juga: Perempuan Cantik Harus Berkulit Putih? No! Bongkar Obsesi Kecantikan di Indonesia
Ernest Emenyonu, seorang profesor sastra Afrika asal Nigeria, mendefinisikan Things Fall Apart sebagai “studi klasik tentang kesalahpahaman lintas budaya dan konsekuensinya bagi seluruh umat manusia, ketika suatu budaya atau peradaban yang agresif dan suka berperang, karena kesombongan dan etnosentrisme semata, mengambil inisiatif untuk menyerang budaya lain, peradaban lain.”
Inilah yang terjadi di wilayah yang sekarang disebut Indonesia, yang diserbu secara bergantian oleh Portugis (1512-1602), Belanda (1602-1808, 1816-1942), Prancis (1806-1811), Inggris (1811-1816), dan Jepang (1942-1945). Akan tetapi, Belanda-lah yang meninggalkan pengaruh yang paling mendalam dan bertahan lama.
Salah satu pengaruh kolonialisme yang bertahan lama adalah trauma, baik secara individu maupun kolektif. Kolonialisme adalah sistem patriarki yang mendefinisikan kekuatan kolonial sebagai makhluk, dan semua orang lainnya sebagai “benda” atau objek yang digunakan untuk kepentingan penguasa. Inilah sebabnya mengapa trauma merupakan hal yang endemik dalam sistem patriarki, yang menghasilkan trauma hebat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tanpa disadari, individu atau masyarakat yang mengalami trauma ingin membalas dendam atas rasa sakit yang dideritanya. Ini dilakukan dengan menargetkan seseorang atau bahkan sekelompok orang yang tidak terkait dengan pelaku atau penyebab trauma tersebut.
Itulah sebabnya mengapa terdapat begitu banyak kesinambungan dalam sejarah Indonesia, karena kita belum memutus siklus trauma. Bahkan, kita tidak menyadari bahwa kita mengalami trauma.
Baca Juga: Sebut Aku Cica, Sebut Aku Indonesia
Para pemimpin perempuan Indonesia, termasuk Megawati, setelah mereka menjadi bagian dari elite penguasa, juga dijiwai dengan sikap dan perilaku patriarkis. Inilah sebabnya mengapa Ketua DPR Puan Maharani gagal membela RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Kita perlu mempelajari dampak jangka panjang trauma, invasi, penaklukan, dll, terhadap jiwa kolektif bangsa-bangsa, yang mencakup beberapa generasi. Mungkin psikohistori politik?
Kita memiliki kecenderungan untuk berpikir dalam hitungan tahun dan dekade mengingat rentang hidup kita. Tetapi bangsa berevolusi dalam hitungan generasi. Akan bermanfaat bagi umat manusia untuk membayangkan sikap-sikap yang tergabung sebagai “pikiran” kolektif dan memahami cara menangani gangguan stres pascatrauma (PTSD) pada tingkat bangsa-negara.
Mungkin dengan begitu kita bisa terbebas dari trauma kita. Hanya dengan cara itu kita bisa benar-benar menjadi demokratis.
Penulis adalah penulis Agama, Seks dan Kekuasaan (Kobam, 2012).