Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung cerita kekerasan, terutama kepada kelompok ragam gender. Berbagai peristiwa mungkin dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan memicu trauma bagi pembaca.
Sepenggal kalimat dari salah satu narasumber, Tien Kusna alias Dona, melekat dalam benak. “Kami mungkin tidak bisa mengatur politik itu. Tapi kami bisa memastikan bahwa kami saling mendukung dan tidak membiarkan siapa pun merasa sendirian.”
‘Kota hujan’ Bogor hari itu terik. Bendera partai serta spanduk calon kepala daerah mengepal tangan dengan senyum lebar berderet menyapa siapapun yang lewat, diasapi knalpot kendaraan berat dan debu yang mengirap pasir hingga aspal.
Di balik jalan besar itu, berdiri perempuan berambut cepak menggunakan topi berwarna biru keunguan. Ia menyusuri gang kecil menuju kontrakan sepetak, tempat dua sejawatnya menanti. Kontrakan itu menjadi ruang berpumpun Suara Pelangi, kolektif yang tidak akan membiarkan individu ragam gender merasa sendirian.
Perempuan berambut cepak bertopi biru keunguan itu bernama Tien Kusna atau sesekali disapa Dona (55). Sehari-hari ia bekerja sebagai penjual nasi di kawasan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung.
Di samping pekerjaannya, Dona juga aktif di Suara Pelangi, sebuah komunitas berbasis buruh queer yang menjadi rumah kedua bagi banyak komunitas ragam gender di Bogor. Dona dan teman-temannya bertemu setiap akhir pekan untuk saling bertukar rasa, asa, dan tak jarang harapan.
“Kami saling menguatkan satu sama lain. Di sini, tidak ada yang perlu merasa takut atau malu,” kata Dona.
Baca Juga: Stigma dan Perda Diskriminatif Hambat ODHA Akses Layanan Kesehatan
Sementara dua kawan yang ditemui Dona adalah Putra (28, bukan nama sebenarnya) dan Uncu. Putra sebelumnya merupakan buruh, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari penghidupan di sektor informal setelah merasa tidak aman bekerja di pabrik.
Putra merasa lebih bebas dan tidak terlalu diawasi oleh masyarakat sekitar. Terlebih oleh perusahaan yang sering kali tidak menerima keberadaan ragam gender. Baginya, kebebasan untuk bekerja dan beraktivitas tanpa harus merasa takut adalah hak asasi yang mesti diutamakan.
“Aku jualan online sekarang, jadi lebih fleksibel dan bisa menghindari banyak mata yang selalu curiga,” kata Putra.
Satu orang terakhir yang sedang menjahit di kontrakan itu adalah Uncu, seorang pekerja pabrik garmen. Uncu memiliki pengalaman kolektif yang serupa dengan Putra. Pekerjaan di pabrik memberinya penghasilan tetap, tetapi tidak selalu memberikan rasa aman. Dia sering kali harus bersembunyi atau menahan diri dari ekspresi gendernya, hanya untuk bisa bertahan hidup.
“Bekerja di pabrik memang ada penghasilannya, tapi tidak ada jaminan kita aman di sini,” ucap Uncu.
Meski memiliki latar belakang yang berbeda, Dona, Putra, dan Uncu disatukan oleh pengalaman hidup yang serupa. Mereka terus berusaha mencari ruang aman di tengah negara yang tidak menerima mereka. Dona, Putra, dan Uncu bukan hanya berjuang untuk bertahan hidup secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan politik. Mereka bergandengan tangan untuk bertahan sembari melawan, mencari cara untuk tetap bisa bernapas tanpa harus terus-menerus dihantui rasa takut akan kekerasan, diskriminasi, dan persekusi.
Baca Juga: Melihat Peta Perda Diskriminatif, Ada 177 Perda Mengontrol Tubuh Perempuan
Sementara di Bandung, jantung provinsi Jawa Barat, Luvhi Pamungkas masih kokoh merangkul Srikandi Pasundan hampir 20 tahun lamanya. Srikandi Pasundan telah lama menjadi benteng perlindungan bagi komunitas transpuan di kota Bandung. Dengan fokus pada inklusi dan advokasi, mereka telah melakukan berbagai program edukasi kesehatan, termasuk pemeriksaan HIV. Serta upaya untuk meningkatkan penerimaan sosial terhadap komunitas trans melalui berbagai kerjasama.
“Selama ini, kerja-kerja kita bersinggungan langsung dengan teman-teman komunitas dan masyarakat,” tuturnya.
Di Srikandi Pasundan, mereka menggantung dan memperjuangkan harapan. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan mengadakan berbagai program pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota komunitas.
“Banyak dari mereka yang memiliki usaha dan kontribusi di masyarakat, dan bukan hanya bekerja di bidang yang sering kali distigmatisasi,” kata Luvhi.
Luvhi bersama Srikandi Pasundan adalah wajah-wajah yang penuh kasih impian, namun kini diliputi ketidakpastian. Rancangan Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap kelompok ragam gender menjadi momok yang menghantui setiap langkah mereka. Setiap langkahnya diliputi takut, setiap jengkalnya perlawanan untuk bertahan. Terlebih di tahun politik, tangga menimpa berkali-kali pada kelompok rentan yang acap kadung dijatuhkan.
Sebelum Jadi Perda, Ancaman Sudah Nyata
“Ya, berbicara tentang perda ini, kita justru was-was dan khawatir,” ucap Luvhi tegas, mengawali pertemuan sore itu.
Januari 2023 menandai babak baru dalam upaya diskriminasi di Bandung. Saat itu, kota dan Kabupaten dengan julukan ‘Paris van Java’ itu sama-sama merancang peraturan daerah anti-LGBT.
Hingga saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung mulai menggulirkan wacana untuk menyusun rancangan peraturan daerah (ranperda) yang bertujuan mencegah dan melarang keberadaan komunitas LGBT. Wacana ini cepat mendapat angin segar dari pemerintah kota. Mereka memberikan dukungan penuh terhadap inisiatif tersebut.
Tidak berhenti di tingkat kota, Kabupaten Bandung juga mengambil langkah serupa. Bupati Bandung, Dadang Supriyatna, tidak hanya mendukung gagasan tersebut. Tetapi juga aktif mendorong agar rancangan peraturan daerah anti-LGBT segera masuk ke dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda). Langkah ini diambil agar rancangan tersebut bisa segera dibahas oleh DPRD, menggarisbawahi betapa kuatnya dorongan untuk mempercepat penerapan regulasi yang akan memperketat ruang gerak komunitas LGBT di wilayah tersebut.
Wacana peraturan daerah (perda) anti LGBT di Bandung memunculkan ancaman nyata terhadap hak-hak dasar komunitas queer. Terutama dalam akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Baca Juga: Pakai Jilbab Atau Tidak? Jangan Atur Pakaian Perempuan
Kemunduran juga bisa terjadi, khususnya bagi mereka yang rutin melakukan pemeriksaan kesehatan. Layanan kesehatan, yang dalam beberapa tahun terakhir mulai menerima komunitas queer, berpotensi kembali menjadi area yang sulit diakses. Perda ini dikhawatirkan akan menciptakan kembali ketakutan di kalangan masyarakat. Selain itu juga merusak kemajuan yang telah dicapai dalam beberapa aspek. Seperti pengurusan KTP melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
“Jika perda ini diterapkan, maka akan ada kesulitan tambahan bagi teman-teman yang sudah terbiasa melakukan pemeriksaan. Bukan hanya untuk HIV tetapi juga untuk pemeriksaan lainnya,” Luvhi menerangkan.
Pembatasan yang diusulkan melalui perda ini mengancam hak-hak yang sudah diperoleh dengan susah payah oleh komunitas queer. Seperti pembatasan terhadap kegiatan berkumpul di tempat tinggal. Padahal, hal ini sangat penting untuk keberlangsungan hidup komunitas queer. Ketika pembatasan ini diberlakukan, akses terhadap ruang aman menjadi semakin sulit. Alhasil, keberlangsungan hidup mereka di masa depan pun terancam.
Sementara perjuangan untuk hak asasi manusia terus bergulir, kebijakan semacam ini menegaskan kembali satu hal: hak untuk diakui sebagai manusia dan sebagai warga negara Indonesia seharusnya berlaku tanpa diskriminasi. Sedangkan, perda ini berisiko mencabut hak-hak yang secara fundamental dimiliki setiap individu. Tidak hanya komunitas queer, tetapi juga seluruh masyarakat.
Sebelum Bandung, Kota Bogor sudah terlebih dahulu memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) tahun 2021. Peraturan ini secara spesifik mengatur pencegahan dan penanganan hal yang disebut sebagai “penyimpangan seksual”. Juga mengusulkan kemungkinan rehabilitasi bagi individu-individu yang dianggap melanggar norma-norma tersebut.
Padahal, sejak 1973 asosiasi psikiater yang tergabung dalam American Psychiatric Association (APA) sudah menghapus diagnosis orientasi seksual sebagai gangguan jiwa dari acuan diagnosis ahli kesehatan jiwa atau Diagnostic and Statistical Manual (DSM) edisi II. Di Indonesia, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) juga tidak menganggap orientasi seksual—juga mencakup homoseksual—ke dalam kelainan atau gangguan jiwa.
Baca Juga: 38 Tahun CEDAW: Tubuh Perempuan Dikontrol lewat Perda Diskriminatif
Perda tersebut menambah noktah hitam ancaman bagi kelompok ragam gender yang sudah kadung gelap. Sebelum Perda disahkan, 2018 menjadi salah satu titik terendah dalam hidup Putra.
“Saya sempat mengalami persekusi. Pada saat itu belum ada banyak spanduk, belum pernah lihat. Tapi ada satu masalah di mana ada tomboy yang bermasalah dengan orang karena berpacaran dengan istri orang. Itu menjadi kasus, dan satu desa jadi tahu,” kenangnya, beberapa kali menghela napas.
Keputusan sepihak diambil oleh warga kampung. Mereka memaksa semua individu yang dituduh LGBT untuk segera meninggalkan tempat itu. Tekanan itu begitu nyata dan tidak ada ruang untuk perlawanan. Ia sudah kadung dicap sebagai pembuat masalah oleh masyarakat tanpa melakukan apa-apa.
“Anak-anak lesbian atau yang ekspresinya maskulin seperti tomboy sering distereotipekan sebagai pembuat masalah. Waktu itu, semua yang berekspresi tomboy atau maskulin diminta pindah dari kampung,” lanjut Putra.
Setidaknya sepuluh orang pemuda datang ke rumahnya tiap lewat jam sepuluh malam. Mereka tidak hanya datang dengan ancaman verbal, tetapi juga merekam seluruh kejadian seolah-olah Putra-lah yang menjadi sumber masalah.
“Mereka datang tidak hanya satu-dua orang, tapi minimal 10 orang, sambil buat konten seolah-olah yang didatangi itu yang bermasalah,” ceritanya sambil menahan emosi. Puncaknya, tutur Putra, “Waktu itu saya disuruh pergi dengan alasan desa ini tidak menerima penampilan seperti ini dan diberi waktu tiga hari untuk pindah.”
Baca Juga: Penggerebekan LGBT di Cawang Menambah Diskriminasi Pemerintah Terhadap LGBT
Putra sudah membuat surat domisili dan meminta bantuan dari Ketua Rukun Tetangga (RT) setempat. Namun, harapannya pupus ketika Ketua RT itu sendiri tidak mampu melindunginya. Warga muda di kampung tersebut lebih berkuasa. Pun tidak ada yang bisa dilakukan aparat lokal untuk melawan kekuatan mereka. Akhirnya, dengan perasaan yang jauh dari lapang, Putra harus rela meninggalkan rumah dan kampung yang telah menjadi tempat tinggal untuk istirahat dari pekerjaannya.
“Saya sudah membuat surat domisili dan meminta bantuan RT, tapi RT juga tidak bisa berbuat apa-apa karena pemuda di sana lebih berkuasa. Akhirnya, demi keselamatan, saya harus pindah dari tempat itu,” tutupnya dengan getir.
Gayung bersambut; selain persekusi, tantangan administrasi menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi Putra. Keinginan untuk memperbaiki data administrasi sebenarnya ada, tetapi trauma dari pengalaman sebelumnya membuat Putra ragu. Dalam pengalamannya bekerja di sebuah pabrik, Putra sering kali merasakan diskriminasi secara terang-terangan.
“Sebenarnya ada keinginan untuk memperbaiki data administrasi, tetapi trauma dengan pengalaman sebelumnya dapat pengalaman nggak nyaman di bank, jadi itu membuat aku ragu,” ungkap Putra, mengingat kembali pengalamannya.
“Kebanyakan pabrik masih melihat identitas awal dan menuduh kami menggunakan identitas palsu,” sambungnya.
Baca Juga: Pemerintah Lakukan Pembiaran Perda Diskriminatif
Masalah serupa juga dialami oleh Uncu. Setelah kontraknya di pabrik berakhir, ia berusaha mengurus BPJS Ketenagakerjaan. Namun, proses verifikasi wajah di aplikasi BPJS terus-menerus gagal karena perubahan identitasnya. Ini memperlihatkan betapa sulitnya birokrasi bagi kelompok ragam gender.
“Saya selalu gagal saat mau verifikasi wajah di aplikasi JMO BPJS. Itu sudah hampir dua bulan nggak bisa-bisa,” katanya dengan nada putus asa, menghela napas panjang.
Butuh waktu dua bulan penuh sebelum ia akhirnya berhasil memperbarui identitasnya di sistem, namun perasaan dipersulit masih membekas dalam benaknya.
“Mereka bilang harus tes verifikasi wajah, dan katanya gagal pas dites. Lalu saya disarankan untuk mencoba lagi dengan rambut dirapikan,” ujarnya sambil menahan tawa getir.
Dona menambahkan perspektif lain tentang kondisi ini. Ia menyebutkan bahwa serikat buruh di Bogor seharusnya mampu menjadi pelindung bagi kelompok ragam gender. Praktik pungutan liar dan sistem kontrak kerja yang singkat serta tidak adil menjadi penghalang untuk membentuk serikat yang inklusif.
“Percuma ada serikat buruh tapi mereka tidak berpihak pada orang-orang yang lemah,” katanya dengan tegas.
Baca Juga: Ormas Agama Menolak Konser Coldplay, Isu LGBT Jadi Kambing Hitam Persoalan
Dona memandang serikat buruh menjadi komunitas penting yang melindungi kelompok ragam gender di tempat kerja. Seperti yang dirinya lakukan dengan Suara Pelangi. Dona menekankan pentingnya individu ragam gender untuk terlibat dan membangun serikat yang ramah gender dan inklusif.
“Sebaik-baiknya LGBT juga punya serikat dan terlibat di serikat yang ramah keberagaman. Kenapa pemikiran ramah keberagaman? Agar tidak menambah rentetan diskriminasi terhadap buruh keberagaman gender lainnya,” tambah Dona.
Tak hanya di dunia kerja, ketakutan untuk mengakses layanan kesehatan juga menjadi isu serius bagi komunitas LGBT. Putra mengakui bahwa ia enggan datang ke puskesmas atau mengakses layanan kesehatan lainnya. Sebab, dirinya khawatir akan keamanan identitasnya.
“Kalau akses ke kesehatan pun, saya lebih merasa, ‘Nggak dulu deh.’ Kembali lagi ke keamanan identitas juga. Jadi, bukan kita nggak mau datang untuk cek kesehatan atau apa pun. Tetapi lebih kepada identitas kita sendiri,” jelasnya dengan nada prihatin.
Baca Juga: Riset: Jelang Tahun Politik, Pemberitaan Media Online Diskriminatif Terhadap LGBT
Data Arus Pelangi pada 2018 menjadi saksi betapa diskriminasi terhadap kelompok LGBT semakin sistematis, dengan eksisnya 45 regulasi daerah yang mencerminkan ketidakadilan. Dari sekian banyak peraturan, 23 di antaranya secara terang-terangan mencantumkan kata-kata seperti lesbian, homoseksual, waria, dan transgender dalam pasal-pasal mereka.
Aturan-aturan ini tidak hanya bersifat diskriminatif tetapi juga memupuk kebencian di masyarakat. Ada pula delapan peraturan yang, meski tidak secara eksplisit menyasar kelompok ragam gender, implementasi dari aturan kesusilaan yang mereka kandung secara jelas menargetkan komunitas ini. Tujuh peraturan lainnya mengandung muatan yang sama, namun masih dalam batas abu-abu yang berpotensi karet. Sisanya, sebanyak tujuh peraturan diskriminatif, tidak ditemukan dalam dokumen fisik maupun digital.
Dalam 12 tahun terakhir, Arus Pelangi mencatat dampak dari regulasi-regulasi diskriminatif ini melalui berbagai insiden yang menyebar di sembilan provinsi. Mereka berhasil mengidentifikasi 172 peristiwa yang menghasilkan 271 tindakan diskriminatif. Tindakan-tindakan ini tersebar di Jakarta, Lampung, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Yogyakarta, Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Setiap insiden ini menunjukkan betapa peraturan-peraturan yang dirancang untuk membatasi kebebasan individu dapat mengarah pada tindakan-tindakan yang lebih parah. Ini menciptakan situasi yang semakin mencekam bagi komunitas LGBT.
Dari 271 tindakan tersebut menggambarkan bentuk-bentuk penindasan yang dialami komunitas LGBT, yang dikelompokkan dalam 17 kategori berbeda. Dari intimidasi hingga pembunuhan, dari penggerebekan hingga pembubaran paksa, tindakan-tindakan ini menunjukkan bagaimana hukum sering kali disalahgunakan untuk menjustifikasi kekerasan. Tidak hanya itu, pemecatan sepihak, pencabulan, dan penahanan tanpa bukti atau saksi pun menjadi bagian dari realitas pahit yang harus dihadapi oleh mereka yang dianggap berbeda. Regulasi yang seharusnya menjadi instrumen perlindungan, berubah menjadi alat represi.
Hantaman Tahun Politik dan Huru-Hara Perda Diskriminatif
Tahun politik sering kali menjadi masa yang menegangkan bagi komunitas rentan, termasuk komunitas ragam gender. Di tengah kampanye politik yang kerap kali menggunakan isu-isu moralitas untuk menarik simpati masyarakat, keberadaan komunitas ragam gender sering kali dihadirkan sebagai kambing hitam.
Teranyar pada Juli silam, slogan “Poligami Yes, LGBT No” yang disebarluaskan massa pendukung calon kepala daerah petahana Dedie Rachim menjadi sorotan tajam di kota hujan. Spanduk ini jelas menembak ancaman besar bagi kelompok-kelompok rentan seperti komunitas ragam gender. Dona merasakan langsung dampak dari slogan tersebut. Bagi Dona, slogan tersebut bukan sekadar ungkapan politik, melainkan serangan langsung terhadap identitas dan keberadaannya.
“Ini sangat mencerminkan pemikiran patriarkis dan sangat mengancam kelompok rentan seperti kami,” ujarnya.
Ancaman ini, tutur Dona, sudah membuat kengerian di teman-teman komunitas queer yang ia kenal. Pilkada seharusnya menjadi ajang untuk merayakan demokrasi dan memilih pemimpin yang akan memperjuangkan hak-hak mereka. Namun, dengan maraknya penggunaan retorika anti-LGBT, harapan ini semakin pudar.
Yel-yel seperti ‘Poligami Yes, LGBT No’ tidak hanya memanipulasi ketakutan masyarakat rentan. Tetapi juga memperkuat stigma dan diskriminasi yang selama ini mereka hadapi. Ketika politik digunakan untuk mengadu domba dan menyingkirkan kelompok minoritas, ruang untuk dialog yang inklusif semakin menyempit.
Baca Juga: Marak Perda Anti LGBT, Diskriminasi Makin Banyak Terjadi
Di tengah suasana politik yang semakin panas, Dona dan komunitasnya berusaha untuk tetap teguh. Mereka menyadari bahwa perjuangan mereka lebih dari sekadar melawan slogan. Perjuangan mereka tegap melawan budaya patriarki yang mengakar dan sistem politik yang sering kali abai terhadap hak-hak kelompok rentan.
“Kami merasa sangat terancam dengan pemikiran-pemikiran seperti ini,” tambah Dona.
Bagi mereka, perjuangan ini bukan hanya tentang elektoral, tetapi juga tentang hak untuk hidup dengan martabat dan tanpa rasa takut di negeri mereka sendiri.
“Aku sih selama di sini belum pernah nyoblos, ya. Apalagi ditambah dengan ada statement seperti itu ya, calon ini makin enggan,” sambung Uncu.
Di sisi lain, kelompok ragam gender juga sering menjadi sasaran janji manis calon kepala daerah. Salah satu cara pendekatan yang dilakukan adalah melalui lingkungan tetangga untuk membujuk memilih calon tertentu. Buruh queer kebanyakan bangun pagi-pagi sekali, berangkat kerja sebelum matahari terbit, dan baru kembali ketika gelap sudah menyelimuti. Rutinitas yang melelahkan itu membuat mereka lebih memilih beristirahat di waktu luang, menghindari interaksi yang tak perlu dengan tetangga sekitar.
Kendati demikian, alasan kesibukan dan kelelahan bukan jadi alibi terbesar bagi untuk mereka menjaga jarak. Ada ketakutan yang lebih besar yang membuat mereka enggan berbaur. Dona menceritakan dengan getir; setiap kali mereka mencoba lebih dekat dengan masyarakat, yang mereka terima adalah rayuan atau bahkan tekanan untuk terlibat dalam politik praktis.
“Sejauh ini menuju ke sana (Pilkada), kalau kita melakukan pendekatan dengan masyarakat, pasti yang ada masyarakat itu akan merayu. Seperti, ‘Nanti Uncu ajak teman-temannya nyoblos sini, ya. Nanti Uncu diiming-iming dengan uang ini, ya,’ gitu,” jelas Uncu, menirukan bujuk rayu yang kerap mereka dengar.
Baca Juga: 6 Alasan Kenapa Perda Penanggulangan Penyimpangan Seksual Harus Dibatalkan
Belum lagi, rayuan politik yang datang ini memiliki nuansa yang lebih gelap. Interaksi dengan masyarakat sering kali diwarnai dengan penghakiman terhadap identitas mereka.
“Kamu itu kan perempuan, mau sampai kapan begini terus? Dilaknat loh, nanti masuk neraka,” ucap Dona, mengutip cercaan yang sering kali mereka terima.
“Kalau kita berbaur dengan masyarakat tapi hanya untuk mendengar hal-hal begitu terus, kan kita juga nggak mau, kan?” imbuhnya.
Dona menggambarkan bagaimana komunitasnya lebih memilih untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan dengan politik, seperti kerja bakti. Namun, mereka selalu waspada. Mereka paham bahwa kedekatan yang lebih dalam dengan masyarakat bisa jadi akan menyeret mereka ke dalam pusaran politik yang ia katakan busuk. Suara mereka hanya dipandang sebagai komoditas, bukan sebagai ekspresi dari kehendak mereka yang sebenarnya.
“Perkumpulan Putra punya anggotanya banyak nih. Pegang Putra-nya deh. Kalau Putra-nya mau, pasti nanti anggotanya juga ikutan nyoblos salah satu ini.”
“Nah, itu kan sebenarnya politik busuk yang dimiliki oleh calon pimpinan. Mereka ingin berkuasa, tapi tidak memiliki kapasitas bagaimana terjun ke lapangan untuk mengorganisasi masyarakat,” ucap Dona, menjelaskan bagaimana intrik Pilkada di daerah mereka berjalan.
Berbicara lebih ‘politik busuk’ yang dikatakan Dona, Ia merasakan adanya perubahan yang signifikan dan mencemaskan dalam kehidupan sehari-harinya sejak Pemerintah Daerah sebagai hasil produk Pilkada memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) pada tahun 2021 di wilayah tempat tinggalnya.
Baca Juga: Aktivis: Perda Kota Bogor Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual Melanggar HAM
Perda ini membawa ancaman nyata terhadap keamanan dan kesejahteraan kelompok ragam gender, memperkuat stigma negatif yang sudah ada dan memberikan legitimasi hukum untuk tindakan diskriminatif. Ketegangan dan kecemasan semakin meningkat di kalangan komunitas LGBT, karena mereka merasa hak-hak mereka semakin dibatasi dan kehidupan mereka diawasi lebih ketat.
“Di Bogor sendiri ada Perda P4S. Perda tahun 2021 nomor 10, yang membicarakan tentang pencegahan dan penanganan penyimpangan seksual dan kemungkinan rehabilitasi. Kami merasa bingung, kenapa harus direhabilitasi?” ucapnya cemas.
Setelah bertahun-tahun mencoba hidup dalam bayang-bayang, Dona dan teman-temannya merasa ancaman itu semakin nyata. Sejak awal tahun 2022, ketika Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap komunitas LGBT mulai diberlakukan di ‘kota hujan’, tekanan dan ketakutan menjadi bagian dari keseharian.
“Kalau sebelum ada Perda saja sudah seperti itu (banyak diskriminasi), apalagi setelah ada Perda.”
“Awal tahun 2022, Perda itu naik. Apakah kami kena dampak? Iya. Saya pernah dihubungi salah satu teman yang menanyakan apakah kami baik-baik saja. Dia bilang ada pemberitaan bahwa kelompok LGBT sedang berkumpul di Puncak untuk pesta narkoba, padahal itu tidak benar. Kami tidak pernah mengadakan acara seperti itu karena tidak ada uang untuk pergi ke Puncak. Kami juga selalu mengadakan sosialisasi dan pendidikan, tapi di puncak itu tidak,” jelas Dona.
Baca Juga: Diskriminasi LGBT Terus Terjadi, Mana Sikap Kritis Media?
Ancaman lainnya datang dalam bentuk isu ‘razia’ di pabrik-pabrik, tempat beberapa anggota komunitas bekerja. Dona dan teman-temannya harus selalu waspada. Mereka memastikan gawai mereka terkunci dan menghapus foto-foto yang berpotensi disalahgunakan sebagai bukti untuk menindas. Meski razia itu tidak terjadi, ancaman tersebut sudah cukup membuat mereka ketakutan.
“Ada juga isu sweeping di pabrik. Saya diberi tahu, jika ada sweeping terutama di handphone. Handphone-nya harus dikunci dan foto-foto yang tidak digunakan lebih baik dihapus,” Dona menjelaskan. “Waktu itu saya melihat ada mobil Avanza keluar dari kecamatan, tapi mereka tidak masuk ke pabrik. Saya penasaran, apakah memang ada sweeping? Tapi tidak jadi. Itu sudah setelah Perda berlaku.”
Baca Juga: Razia LGBT Walikota Depok Merupakan Tindakan Pelecehan dan Diskriminatif terhadap LGBT
Ia mengingat situasi yang semakin mengkhawatirkan sejak Perda diberlakukan. Lanjutnya, “Ada juga informasi dari teman bahwa akan ada sweeping jam 12 atau jam 1 malam untuk orang-orang seperti kita. Waktu itu spontan kami bilang, ‘bagaimana kalau yang tomboy tidur dengan yang tomboy dulu?’ karena takut. Tapi ya, itulah kondisinya.”
Selain ancaman razia, tuduhan kepada kelompok ragam gender juga turut menguat. Saat itu Dona sedang mengadakan pertemuan daring di kontrakan salah anggota komunitas bersama dengan teman-temannya. Hujan petir saat itu tiba-tiba menyambar; pintu yang sedari awal dibuka ditutup rapat sebab mengganggu pertemuan daring mereka.
Masyarakat setempat lantas menganggap mereka melakukan tindak perzinaan hanya karena pintu kontrakan tertutup saat hujan petir. Imbasnya, mereka mendapat panggilan kepala Rukun Tetangga (RT) atas tuduhan tidak mendasar itu.
“Kami juga pernah sedang meeting di salah satu kontrakan anggota, pintunya kami tutup karena hujan deras. Padahal sebelumnya kami buka. Besoknya teman-teman di situ dipanggil sama RT karena dikira melakukan zina. Jadi ya, kadang kami harus pintar-pintar menyiasati situasi ini,” ceritanya heran.
Di tahun yang sama dengan pengesahan Perda, Dona dan teman-temannya melihat sebuah spanduk yang bertuliskan, “Percuma cantik kalau senangnya sama perempuan. Percuma ganteng kalau senangnya sama laki-laki.” Pesan tersebut lebih dari sekadar ejekan, tetapi juga sebuah peringatan tentang situasi yang akan datang setelah Perda disahkan.
Baca Juga: Riset: Ditengah Penolakan Terhadap Transpuan, Masyarakat Flores Terima Mereka Apa Adanya
Bagi komunitas LGBT di Bogor, peraturan ini bukan hanya sekedar dokumen hukum, melainkan sebuah simbol dari meningkatnya diskriminasi dan ketidakadilan yang mereka rasakan sehari-hari. Perda ini dianggap sebagai bentuk legalisasi diskriminasi terhadap kelompok mereka, memperkuat stigma negatif yang sudah lama ada. Spanduk-spanduk yang berisi pesan anti-LGBT mulai bermunculan di sekitar wilayah komunitas. Hal ini mempertegas ancaman yang mereka hadapi.
“Spanduk-spanduk yang bertuliskan menolak LGBT, termasuk di sekitar sekretariat Suara Pelangi. Sekarang memang sudah tidak ada, itu tahun 2023, siapa yang melepasnya juga tidak tahu, lepas sendiri,” lanjut Dona.
Di tengah ancaman yang semakin nyata, mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga terus mencari cara untuk melindungi satu sama lain. Suara mereka mungkin dibungkam, tetapi Suara Pelangi menolak diam sebagai bukti bahwa mereka ada dan berdaya.
Tahun politik ditambah adanya Perda P4S membawa banyak perubahan negatif dalam kehidupan sehari-hari individu LGBT. Putra merasakan, di tahun pemilu, retorika politik yang penuh kebencian semakin memperburuk situasi mereka. Bagi Putra, janji-janji pemerintah untuk melindungi semua warga negara sering kali terasa hampa dan tidak tercermin dalam tindakan nyata di lapangan.
“Pemilu kemarin, situasi juga memanas karena Perda ini dan spanduk-spanduk tersebut. Walaupun Bapak Bima Arya (Walikota Bogor) waktu itu menyampaikan bahwa ini masih bisa dikomunikasikan, tetap saja ketika sudah sampai ke masyarakat, tidak ada yang bisa menjamin keamanan,” ungkap Putra.
Baca Juga: Ada 62 Perda Diskriminatif Yang Mengatur Pakaian Perempuan
Ketakutan akan kekerasan dan persekusi semakin nyata setelah spanduk-spanduk tersebut bermunculan. Uncu misalnya, ia merasa perlu untuk lebih berhati-hati dan mengurangi aktivitas di luar rumah karena merasa dunia satu langkah di luar pintu rumahnya adalah zona tidak aman.
“Saya jarang keluar rumah kalau tidak penting. Kalau pun harus keluar, saya selalu waspada, takut ada yang mengenali dan membuat masalah,” kata Uncu.
Situasi ini memaksa Dona, Uncu, dan Putra untuk selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Strategi bertahan hidup ini lantas menjadi bagian dari keseharian. Tidak ada yang tahu kapan persekusi bisa terjadi, terlebih pasca munculnya Perda P4S tersebut.
“Kami harus selalu siap. Kalau ada apa-apa, kami sudah punya rencana untuk berpindah tempat atau mencari perlindungan,” ujar Dona.
Di tengah meningkatnya ketegangan politik dan sosial, solidaritas di antara anggota komunitas LGBT menjadi sangat penting. Dalam situasi yang penuh dengan ancaman dan prasangka, mereka saling menjaga dan mengingatkan satu sama lain untuk selalu berhati-hati. Solidaritas ini menjadi benteng terakhir bagi mereka untuk menghadapi segala bentuk diskriminasi serta ancaman yang datang. Mereka sadar bahwa dengan bersatu, mereka memiliki peluang lebih besar untuk melawan, atau sekurang-kurangnya bertahan.
“Kami selalu berkomunikasi dan saling memberi tahu kalau ada yang mencurigakan,” ungkap Dona.
Meskipun berusaha tetap bersatu dan menjadi kuat, ketiganya—Dona, Putra, dan Uncu—sering kali harus menghadapi stigma dan prasangka tidak hanya dari masyarakat umum tetapi juga dari aparat pemerintah. Mereka merasa bahwa prasangka-prasangka ini tidak hanya menciptakan jarak antara mereka dan masyarakat luas, tetapi juga menambah beban mental yang harus mereka tanggung setiap hari. Dalam lingkungan yang seharusnya melindungi semua warganya, mereka justru merasa terisolasi dan disalahpahami.
Baca Juga: ‘Menyingkap Rok sampai Mencubit Payudara’ Stop Normalisasi Kekerasan Seksual di Sekolah
“Banyak orang yang masih berpikir kami ini menyimpang, perlu direhabilitasi. Padahal kami tidak mengganggu siapa-siapa,” keluh Putra dengan nada kelelahan.
“Kami hanya ingin hidup normal, seperti orang lain. Tapi rasanya sulit sekali,” ujar Uncu.
Berpindah kembali ke Kota Kembang, menjelang tahun politik, ketegangan meresap ke dalam kehidupan komunitas ragam gender. Isu-isu diskriminatif yang sering muncul di tahun politik menciptakan rasa khawatir di kalangan anggota komunitas. Luvhi menggambarkan kekhawatiran atas kerja-kerja mereka selama ini yang bersinggungan langsung dengan masyarakat menghadapi ancaman dari politik yang memanipulasi isu-isu diskriminatif.
“Selama ini, kerja-kerja kita bersinggungan langsung dengan teman-teman komunitas dan masyarakat. Kekhawatiran kami adalah banyak masyarakat yang terpengaruh dengan isu-isu diskriminatif yang diangkat dalam tahun politik. Hal ini membuat kami bertanya-tanya, apa yang bisa kami lakukan?,” ujar Luvhi.
Eskalasi isu-isu diskriminatif menjelang Pilkada dan Pemilu menjadi cerminan nyata bagaimana politik dapat digunakan untuk memperburuk situasi yang sudah sulit. Di Bandung, isu-isu yang berfokus pada LGBT sering kali dipolitisasi untuk memanaskan situasi dan mendapatkan keuntungan politik. Luvhi menyoroti bahwa politik mengubah kekuasaan menjadi alat untuk membatasi hak-hak dasar komunitas rentan. Hal ini menggambarkan bagaimana peran komunitas LGBT dalam bekerja sama dengan layanan pemerintah menjadi semakin kompleks, karena isu-isu ini sering digunakan sebagai senjata politik untuk memperburuk situasi.
Baca Juga: UGM Larang Aktivitas LGBT, Aktivis: Institusi Pendidikan Diskriminatif dan Abaikan HAM
“Eskalasi peningkatan isu ini kan terjadi dekat-dekat dengan Pilkada dan Pemilu. Maraknya isu diskriminatif ini mencerminkan bagaimana politik kita sebenarnya. Di Kota Bandung, misalnya, kita berbicara bukan hanya tentang LGBT, tapi juga bagaimana peran dari teman-teman komunitas dalam bekerja sama dengan layanan pemerintah. Isu ini sering digunakan sebagai alat politik untuk memanas-manasi situasi. Ini adalah upaya yang sebenarnya membatasi hak-hak teman-teman kita,” tegasnya.
Ketidakpastian politik juga berdampak pada harapan komunitas terhadap janji-janji politik yang sering kali tidak jelas. Banyak partai politik memanfaatkan dukungan komunitas LGBT dengan menawarkan janji-janji seperti sekolah gratis atau program pendidikan tanpa biaya, yang sering kali tidak terealisasi sebagaimana mestinya.
Luvhi menekankan bahwa Srikandi Pasundan berusaha untuk memberikan informasi yang akurat kepada komunitas agar mereka tidak terlalu terpengaruh oleh janji-janji politik yang tidak pasti. Ini adalah bagian dari usaha mereka untuk melindungi komunitas dari ekspektasi yang tidak realistis dan memastikan bahwa mereka dapat menghadapi masa depan dengan lebih siap.
“Banyak partai politik yang memanfaatkan dukungan dari teman-teman kita dengan janji-janji yang tidak jelas apakah akan ditepati atau tidak.”
“Misalnya, ada janji sekolah gratis, mengikuti kejar paket A, B, atau C. Namun, setelah teman-teman antusias mengikuti, ujung-ujungnya nanti ada biaya yang harus dibayar,” ceritanya kesal.
Baca Juga: Peace Innovation Academy: Ajak Kamu Kampanye Isu Perempuan, Perdamaian dan Keamanan
Kehadiran wacana perda diskriminatif di Bandung juga menjadi alat politik yang bukan hanya mengancam kelompok ragam gender, tetapi juga mengesampingkan isu substantif lain seperti korupsi atau penggusuran tanah. Padahal, Bandung dua tahun belakangan sedang memanas dengan permasalahan sengketa mafia tanah di Dago Elos yang melibatkan tiga bersaudara Muller (Heri Hermawan, Dodi Rustendi, dan Pipin Sandepi) dan PT Dago Inti Graha.
“Maraknya perda ini mencerminkan bagaimana hukum kita sebenarnya. Di Kota Bandung, misalnya, kita berbicara bukan hanya tentang LGBT, tapi juga bagaimana peran dari teman-teman komunitas dalam bekerja sama dengan layanan pemerintah. Perda ini menjadi alat politik yang memanas. Ini adalah upaya yang sebenarnya membatasi hak-hak teman-teman kita. Kita seharusnya membahas isu korupsi atau penggusuran tanah, tapi malah muncul isu ini,”
Dari kota hujan hingga kembang, kelompok ragam gender hanya menginginkan kehidupan yang bebas dari ketakutan dan penuh penerimaan. Namun, di tengah sistem yang sering kali tidak memahami dan menerima mereka, keinginan sederhana ini hanya bagai padi disemaikan, tumbuh ilalang.
Bertahan dengan Kekuatan Kolektif
Dalam menghadapi berbagai ancaman, komunitas Suara Pelangi dan Srikandi Pasundan tidak tinggal diam. Mereka menyusun langkah-langkah preventif untuk melindungi diri dan memastikan keselamatan komunitas. Dona menjelaskan bahwa komunitas mereka telah menginisiasi program-program untuk memperkuat keamanan dan keselamatan.
“Kami berpikir bagaimana keamanan dan keselamatan teman-teman LGBT bisa terjaga. Salah satu cara adalah mencari sekretariat yang aman, dan melakukan aktivitas yang bisa menutupi kegiatan komunitas, seperti kegiatan pemberdayaan ekonomi,” papar Dona. Dengan cara ini, mereka dapat tetap menjalankan kegiatan komunitas tanpa menarik perhatian yang tidak diinginkan.
Strategi-strategi seperti membuat produk kacang goreng atau menjalankan kursus jahit sebenarnya lebih dari sekadar aktivitas ekonomi. Aktivitas ini dirancang untuk memberikan perlindungan kepada anggota komunitas, dengan menciptakan alasan yang lebih dapat diterima masyarakat umum mengenai keberadaan mereka. Dengan memetakan wilayah yang lebih aman, mereka bisa lebih berhati-hati dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.
“Kami juga melakukan pemetaan wilayah, seperti berkumpul di Balai Desa untuk menjaga keselamatan teman-teman,” tambah Dona.
Baca Juga: Banyak Anak Cuci Darah, CISDI: Pemerintah Segera Terapkan Cukai Minuman Berpemanis
Selain itu, Suara Pelangi juga mengembangkan jaringan yang lebih luas dengan organisasi non-pemerintah dan lembaga hak asasi manusia untuk mendapatkan dukungan lebih lanjut. Dengan dukungan dari pihak-pihak eksternal, mereka berharap bisa mendapatkan perlindungan yang lebih baik dan advokasi yang lebih kuat terhadap hak-hak mereka.
“Kami banyak bekerja sama dengan LSM yang peduli dengan isu LGBT, supaya suara kami lebih terdengar,” ujar Dona.
Srikandi Pasundan mengambil langkah-langkah preventif dan mitigasi untuk menghadapi tahun politik dan ancaman rancangan perda diskriminatif lewat jalan lain. Mereka memilih untuk tidak terlalu vokal dalam menghadapi isu ini karena khawatir semakin memanaskan situasi yang dapat merugikan komunitas mereka. Mengalah bukan berarti kalah, tapi bijak menjaga arah.
“Kekhawatiran pasti ada, tapi kita berusaha agar teman-teman tidak terlalu banyak bersuara di depan mereka. Karena ketika kita bersuara, isu ini akan semakin memanas. Di sisi lain, jika perda ini disahkan, itu akan menjadi keberhasilan bagi pihak-pihak yang memang ingin menjatuhkan teman-teman kita,” terangnya.
Dalam setiap langkah yang mereka ambil, Luvhi selalu mengingatkan pentingnya persatuan dan solidaritas. Bagi Srikandi Pasundan, setiap tindakan, sekecil apapun, adalah bagian dari perjuangan untuk menghapus stigma dan membangun penerimaan yang lebih luas di masyarakat.
“Kami juga pernah mengadakan dapur umum sebagai pembuktian bahwa teman-teman transgender ada dan berkontribusi di masyarakat,” katanya, mengingat salah satu inisiatif yang dilakukan oleh Srikandi Pasundan.
Upaya untuk bertahan mereka lakukan dengan cinta yang baik. Sederhana, sabar, dan merengkuh beragam perasaan yang berada di luar cinta. Hanya dengan demikian, harum cinta niscaya menyebar.
Menyoal Perda dan Agenda anti-LGBT Sebagai Kambing Hitam Politik
Dari tahun 2006 hingga 2024, Arus Pelangi telah mengembangkan riset komprehensif yang mendokumentasikan perkembangan dan dampak regulasi anti-LGBT di Indonesia. Studi ini mencatat peningkatan jumlah regulasi dan lebih jauh menganalisis hubungan antara regulasi tersebut dengan dinamika politik dan dampaknya terhadap persepsi publik serta hak-hak dasar komunitas LGBT.
Dari himpunan data tersebut, penerbitan regulasi anti-LGBT sering kali bertepatan dengan ajang politik besar seperti Pilkada dan Pemilu. Isu LGBT digunakan oleh politisi untuk mendapatkan suara dengan mengeksploitasi sentimen anti-LGBT di masyarakat. Arus Pelangi mencatat adanya peningkatan jumlah regulasi anti-LGBT terutama menjelang Pilkada dan Pemilu, seperti yang terjadi pada tahun 2016, 2018, dan 2023. Penelitian mereka menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara agenda politik dan penerbitan regulasi anti-LGBT.
“Pada awalnya, peraturan-peraturan ini muncul sporadis, tetapi seiring dengan waktu, terutama setelah 2015, jumlah peraturan diskriminatif ini meningkat tajam. Peningkatan tajam dalam jumlah peraturan ini sering kali bertepatan dengan momentum politik penting seperti Pilkada dan Pemilu, di mana isu LGBT sering kali digunakan sebagai alat politik untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok konservatif.”
“Pola eksploitasi sentimen anti-LGBT untuk meraih dukungan politik terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir,” jelas Riska Carolina, penulis Laporan Catatan Kelam Arus Pelangi.
Baca Juga: Hukum Cambuk, Catatan Pelanggaran Perempuan Atas Perda Qanun Jinayat
Masifnya regulasi anti-LGBT di tahun-tahun politik disinyalir sebagai cara pembenturan horizontal demi kepentingan pendulangan suara. Kelompok ragam gender lantas dijadikan alat politik untuk mencapai kepuasan elektoral pada politisi yang berkontestasi.
“Fenomena ini menunjukkan bahwa regulasi anti-LGBT bukan hanya kebijakan diskriminatif, tetapi juga alat politik yang digunakan oleh berbagai aktor untuk mencapai tujuan elektoral mereka. Isu ini menjadi jualan para politikus, misalnya ada politikus yang membuat baliho besar dengan janji membuat Perda LGBT jika terpilih,” kata Riska.
Alasan pembuatan regulasi ini dibingkai dalam narasi menjaga ketertiban umum dan moralitas masyarakat. Alibi yang hanya akan melanggengkan stigma dan menciptakan ‘penertiban’ alih-alih ketertiban.
“Banyak dari regulasi ini dibingkai dalam narasi untuk menjaga moralitas dan ketertiban umum, dengan dalih melindungi masyarakat dari apa yang disebut sebagai pengaruh negatif dari LGBT. Hal ini sering kali tercermin dalam perda-perda yang menggunakan istilah-istilah seperti ‘penyakit masyarakat’ atau ‘penyimpangan seksual.’ Perda-perda diskriminatif tersebut tidak berdasarkan ilmu pengetahuan dan berdasarkan stigma,” lanjutnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah organisasi masyarakat lainnya memainkan peran penting dalam penerbitan regulasi diskriminatif di berbagai daerah, yang secara langsung memengaruhi kehidupan komunitas LGBT. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, sering kali dianggap sebagai pedoman moral yang agung, menjadi landasan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan peraturan yang menargetkan komunitas LGBT secara negatif.
“Menurutku, MUI punya pengaruh yang cukup kuat dan signifikan. Ketika MUI mengeluarkan fatwa, dengan konteks mayoritas penduduk muslim, intervensinya sangat kuat,” ujar Nono, ketua Badan Pekerja Arus Pelangi, menggarisbawahi betapa besar pengaruh MUI dalam pembentukan kebijakan yang diskriminatif.
Menyuburkan Konflik Horizontal
Narasi anti-LGBT yang digunakan oleh para politisi dan pengambil kebijakan telah memperburuk kondisi sosial komunitas LGBT, menciptakan lingkungan yang penuh stigma, diskriminasi, dan ketakutan. Regulasi ini tidak hanya meminggirkan komunitas LGBT, tetapi juga menyuburkan konflik horizontal di masyarakat. Akibat dari retorika dan regulasi ini, komunitas LGBT menjadi semakin rentan terhadap kekerasan fisik dan emosional, serta marginalisasi dalam kehidupan sehari-hari.
“Narasi anti-LGBT yang disebarluaskan oleh para politisi ini memperkuat stigma dan diskriminasi terhadap komunitas LGBT. Masyarakat yang terpapar pada retorika semacam ini cenderung menganggap LGBT sebagai ancaman yang sah untuk ditolak dan diperangi,” jelas Riska.
Dampak langsung dari regulasi diskriminatif ini adalah meningkatnya rasa ketakutan di kalangan komunitas LGBT. Mereka tidak hanya menghadapi ancaman kekerasan fisik, tetapi juga hilangnya rasa aman dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ketakutan ini berujung pada kesulitan bagi komunitas LGBT dalam mengakses hak-hak dasar, seperti layanan kesehatan dan pendidikan.
“Dampak langsungnya adalah ketakutan. Dampak pertama selain kekerasan fisik adalah menakut-nakuti dan menghilangkan rasa aman bagi kelompok LGBT.”
“Untuk layanan kesehatan, banyak yang enggan mengakses layanan karena stigma dan diskriminasi. Untuk pendidikan, kebijakan diskriminatif membuat mereka yang berekspresi di luar gender binar merasa tidak nyaman,” tutur Nono.
Baca Juga: Aksi Women’s March: Tolak Kebijakan yang Diskriminatif terhadap Perempuan
Hambatan-hambatan ini tidak hanya terbatas pada layanan kesehatan dan pendidikan, tetapi juga meluas ke akses terhadap layanan administrasi publik yang ramah dan inklusif. Meski terdapat upaya advokasi untuk memperbaiki situasi ini, tantangan yang dihadapi oleh komunitas LGBT tetap sangat besar.
“Regulasi diskriminatif ini membuat komunitas LGBT menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan administrasi dan pendidikan yang ramah. Meskipun ada beberapa advokasi untuk membuat layanan lebih inklusif, hambatan yang dihadapi masih sangat besar,” tambah Nono.
Pernyataan kebencian yang kerap kali datang dari pejabat publik turut memperburuk situasi ini, memicu lebih banyak kekerasan dan diskriminasi terhadap komunitas LGBT. Kekerasan ini tidak hanya bersifat verbal atau psikologis, tetapi juga sering kali berujung pada kekerasan fisik di berbagai daerah.
“Kebijakan dan regulasi yang diskriminatif sering kali didukung oleh pernyataan kebencian dari pejabat publik, yang lebih lanjut memicu stigmatisasi dan kekerasan terhadap komunitas LGBT,” ungkap Riska.
“Misalnya, ketika Perda Bogor disahkan, teman-teman di sana lebih berhati-hati karena sering terjadi razia oleh Satpol PP dan ormas. Di beberapa wilayah seperti Jakarta Barat, ada kejadian pelemparan batu,” imbuh Nono melengkapi.
Perda Harus Melihat Prinsip HAM
Regulasi-regulasi ini sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Arus Pelangi merekomendasikan agar pemerintah menghormati hak asasi manusia, membuat kebijakan yang inklusif dan tidak diskriminatif, serta tidak mempolitisasi isu LGBT untuk kepuasan politik.
“Peraturan-peraturan ini sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional, yang seharusnya melindungi semua warga negara tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender.”
“Pertama, soal perspektif. Keragaman gender dan seksual itu bukanlah penyimpangan. Yang kedua, hak asasi manusia harus dihormati. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang inklusif dan tidak diskriminatif terhadap semua orang, bukan malah mempolitisasi isu ini untuk mendapatkan suara,” tegas Riska.
Riset Arus Pelangi mengungkapkan betapa kompleks dan berbahayanya regulasi diskriminatif terhadap komunitas ragam gender di Indonesia. Dari peningkatan jumlah regulasi yang diskriminatif hingga penggunaan isu LGBT sebagai alat politik, jika kondisi ini terus dibiarkan seperti api dalam sekam, bukan hanya persepsi publik yang akan semakin tersulut oleh stigma dan prasangka, tetapi hak-hak dasar komunitas LGBT pun akan kian terbakar, menjadi asap, hingga tersisa abu.
Dengan dukungan dari MUI dan ormas lainnya, regulasi ini hanya akan memperkuat stigma dan diskriminasi kepada kelompok ragam gender yang berujung menciptakan eskalasi konflik yang lebih besar antar masyarakat sementara elite diuntungkan sebab konflik tersebut lantas menjadi tangga menuju kekuasaan. Rekomendasi Arus Pelangi menekankan pentingnya kebijakan yang inklusif dan penghormatan terhadap hak asasi manusia untuk menciptakan perubahan yang positif, bukan represif.
Undang-Undang Anti-Diskriminatif, Oasis di Padang Tandus?
Apabila melihat pada kaca mata HAM, sejatinya sudah tersusun sekitar 65 kebijakan non-diskriminasi di Indonesia. Namun, di balik angka-angka yang berbaris rapi, banyak dari aturan ini tak menjamah kelompok-kelompok yang paling rentan. Seperti bayangan yang hilang dalam kabut, keberadaan komunitas ragam gender masih luput dari perlindungan. Peraturan-peraturan tersebut sering kali bersifat spesifik, seperti untuk perempuan, anak, atau disabilitas, namun tidak ada satu pun kebijakan yang mencakup perlindungan menyeluruh bagi seluruh warga negara, termasuk ragam gender.
Oleh karena itu, undang-undang yang komprehensif dan melindungi seluruh warga negara tanpa kecuali sangat diperlukan. Irfani dari Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) melihat bahwa payung hukum besar yang mencakup semua kelompok rentan masih belum ada, meskipun hal ini sangat penting.
“Kebijakan non-diskriminasi kan banyak, pemetaannya itu ada 65 kebijakan. Tapi kemudian itu tidak mengakomodir kebutuhan komunitas-komunitas tertentu. Kalau ngomongin soal diskriminasi, nggak ada tuh yang ngomongin soal LGBT di dalamnya.”
“Kalau undang-undang atau peraturan-peraturan yang ada kan spesifik ya, misalnya untuk disabilitas, untuk perempuan, untuk anak dan remaja. Tapi kemudian nggak ada payung besar yang ngomongin buat masyarakat Indonesia secara keseluruhan gitu. Bagaimana kalau misalnya saya LGBT, bagaimana kalau misalnya saya penganut kepercayaan misalnya. Itu nggak ada yang mengatur itu.”
Baca Juga: “Aku Ingin Lari Jauh”: Riset HRW Tentang Aturan Diskriminatif Baju Perempuan
“Jadi kayak itu masih memungkinkan terjadi diskriminasi pada kelompok-kelompok yang tidak tertulis dalam kebijakan tersebut. Makanya kemudian yang kita dorong adalah undang-undang yang komprehensif. Komprehensif yang artinya melindungi seluruh warga Indonesia, kelompok rentan khususnya tanpa terkecuali,” jelas Irfani.
Di panggung politik lokal, hukum tak lagi sekadar teks di atas kertas. Ia menjelma pedang yang memotong harapan, terutama bagi mereka yang berbeda. Peraturan tersebut dibuat dengan dalih menjaga ketertiban, moralitas. Namun dalam diam, aturan-aturan itu menyayat lebih dalam, memisahkan manusia dari hak-hak dasarnya.
Sebagai contoh, peraturan daerah di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, yang disahkan pada 2023 lalu telah menyebabkan berbagai bentuk kriminalisasi dan pengusiran terhadap komunitas LGBT di sana. Mereka dijebak melalui aplikasi kencan, ditangkap, dan diusir dari keluarga atau bahkan dipaksa membayar sejumlah uang agar tidak dikenai hukuman adat.
“Kemarin saya cerita soal perda di Bukit Tinggi yang tahun lalu baru disahkan. Bahkan perda itu sudah ada korban sampai kriminalisasi, kan, sebenarnya di Bukit Tinggi. Bahkan pengusiran. Karena mereka hukumannya hukuman adat. Sampai yang kalau ketangkep, mereka ketahuan, bahkan dijebak dari aplikasi kencan. Terus mereka sampai harus bayar, atau kalau keluarganya nggak mau menerima, keluarganya juga harus meninggalkan mereka,” ungkap Irfani.
Baca Juga: Kekerasan dan Perdagangan Orang Meningkat: Potret Pelanggaran HAM Pekerja Migran 2020
Di sisi lain, lembaga-lembaga advokasi, seperti LBH Padang, terpaksa mundur dalam kasus tersebut. Mereka tak punya pegangan, tak ada hukum yang bisa mereka jadikan tameng untuk melawan kebijakan diskriminatif yang menjalar bak api dalam sekam.
Melihat tengah kekosongan hukum ini, undang-undang anti-diskriminasi ibarat oasis di padang tandus, memberi harapan bahwa suatu hari keadilan akan berpihak.
“LBH Padang nggak berani mengadvokasi itu. Karena mereka bilang bahwa mereka nggak punya pegangan untuk bilang, ‘kita ngelawannya pakai apa nih?’ seharusnya undang-undang. Karena undang-undang itu bisa diturunkan pada peraturan-peraturan yang lebih komprehensif di tingkat daerah, jadi countering-nya kuat,” ujar Irfani, menekankan pentingnya keberadaan undang-undang yang kuat.
Melihat kenyataan ini, tak bisa disangkal bahwa hukum yang benar-benar adil dan inklusif adalah napas yang dibutuhkan. Tanpa regulasi yang melindungi setiap warga negara tanpa terkecuali, komunitas ragam gender dan kelompok rentan lainnya akan terus terjebak dalam lingkaran diskriminasi yang tak berkesudahan—tertimpa beban kebijakan yang tak adil dan tersapu gelombang kebencian sosial.
Di tengah pusaran perda-perda yang merampas ruang bahagia dan nasib menjadi kambing hitam di tahun politik, kelompok ragam gender menjelma pelangi yang muncul di kaki langit perlawanan, menyinari penuh kasih dengan warna-warna keberanian, harapan, dan cinta. Dona, Putra, Uncu, dan Suara Pelangi di Bogor serta Luvhi bersama Srikandi Pasundan adalah testamen keberanian. Sebab mereka tinggal dan menyuburkan tanah di negara yang tidak menginginkan mereka. Keberanian itu yang menyelamatkan dan mengangkat cinta sebagai pemenangnya, sedang kontestasi elite politik bagi mereka hanyalah fatamorgana yang palsu, palsu.
Reportase ini merupakan hasil kerja fellowship beasiswa liputan dari Independen.id yang didukung oleh USAID, Aliansi Jurnalis Independen, dan Internews.