Belajar dari Peristiwa Nikita Mirzani: Jangan Hadapkan Ibu vs Anak, Fokus Pada Kasus Dugaan Kekerasan Seksual

belajar-dari-peristiwa-nikita-mirzani:-jangan-hadapkan-ibu-vs-anak,-fokus-pada-kasus-dugaan-kekerasan-seksual

Seorang perempuan yang masih berusia anak, L (17), menjadi ‘bulan-bulanan’ pemberitaan dan perbincangan media sosial belakangan ini. 

Namanya disebutkan secara gamblang, bahkan kehidupan pribadinya dibongkar sana-sini, tingkah laku dan penampilannya dikomentari bahkan dihujat. Berdalih dia adalah anak dari seleb Nikita Mirzani (Nikmir), yang menurut anggapan banyak orang pantaslah jika privasinya menjadi “konsumsi” publik.  

Dalam setahun ke belakang, pemberitaan tentang relasi ibu-anak ini memang dinilai tak harmonis. Satu sama lain kerap melempar sindiran di sosial media. Ini terjadi hingga L melanjutkan sekolah menengah atasnya ke Inggris dan berpacaran dengan seleb Tiktok, Vadel Badjideh (20). 

Sekitar sepekan lalu, Nikmir menjemput anak sulung perempuannya, L, di sebuah apartemen. Penjemputan itu didampingi kepolisian bersama Unit Pelaksana Teknis Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT P3A). Disebutkan, tujuan menjemput L adalah untuk visum ke rumah sakit. 

Baca Juga: Kamus Feminis: Stop Mendikotomi ‘Perempuan Baik Versus Perempuan Buruk’

Nikmir melaporkan pacar anaknya (L), Vadel Badjideh atas dugaan kekerasan seksual dan pemaksaan aborsi. Makanya, visum L itu dibutuhkan untuk memperkuat bukti atas pelaporan Nikmir ke pihak kepolisian. Pelaporan itu atas dugaan pelanggaran UU Kesehatan, UU Perlindungan Anak, dan KUHP. 

Begitulah ringkasnya inti dari pemberitaan ‘Nikmir-Vadel’ yang sampai sekarang masih terus berlangsung. Di samping ramainya berbagai tanggapan yang menyorot sosok Nikmir, L ataupun Vadel. 

Lalu, bagaimana caranya supaya kita tidak “terjebak” dalam pusaran kasus ini. Supaya kita tetap bisa sensitif dengan perspektif perempuan dan minoritas? Berikut panduan perspektif yang bisa kamu gunakan.  

Ingat, Pengasuhan Anak Itu Peran Kedua Orangtua

Jika kamu menjumpai komentar-komentar di medsos atau pemberitaan yang bilang ‘Nikmir tidak becus mengasuh anak’ atau ‘Pola asuh emaknya yang otoriter, bikin anaknya ngelunjak’ dll 

Refleksikan lagi, kenapa selalu hanya perempuan atau ibu yang disebut soal pengasuhan anak? Kemana peran laki-laki dalam hal ini ayah dalam kontribusi pengasuhan anak? 

Kita tampaknya lebih sering mendengar Nikmir disebut-sebut yang harus paling bertanggung jawab atas segala tindak tanduk L. Tapi luput menyebutkan nama Aizawa Asry misalnya, yang adalah ayah biologis L yang menurut pengakuan Nikmir juga masih ada. 

Kita bisa mengkritik pola pengasuhan yang toksik terhadap anak. Tapi ingat, kritik kedua orang tuanya. Bukan membebankan hanya pada salah satunya, yang selama ini banyaknya perempuan (ibu) yang harus menanggungnya sendirian. Terlebih, seorang ibu tunggal yang sudah bercerai dengan suaminya dan harus bekerja keras membesarkan anak-anaknya. 

Baca Juga: Pengasuhan Anak Itu Tugas Laki-laki dan Perempuan, Tapi Perempuan yang Sering Dijulidin

Tuntutan sebagai ibu “ideal” atau ibu “baik” dihadapkan dengan “ibu buruk” itu adalah mitos patriarki yang semestinya dipecahkan. Dikotomi atas peran ibu dalam pengasuhan anak itu seringkali digunakan masyarakat patriarki untuk semakin menyudutkan perempuan. 

Toril Moi (1985), penulis cum filsuf Helene Cixous, tentang pemikiran biner patriarki. Salah satunya, muncul dikotomi “ibu baik vs ibu buruk” yang mendasar pada kerangka ideal masyarakat patriarki. Dimana, ibu yang baik adalah sesuai dengan nilai dan ukuran laki-laki. Begitu sebaliknya. 

Selama ini, perempuan distereotipkan sebagai sosok yang lemah, nurut, tutur katanya manis, dan tidak membangkang. Seperti itu pula ketika menjadi ibu. Perwujudan dikotomi “ibu baik vs ibu buruk itu” itu bisa muncul seperti ibu kasar vs ibu lembut, ibu nyablak vs ibu santun, ibu semaunya sendiri vs ibu nurut dan sebagainya. 

Padahal realitanya, menjadi ibu yang menjalankan peran pengasuhan itu tidak sesederhana itu. Jangan mengabaikan kompleksitas persoalan yang dihadapi para ibu. 

Stop Mengadu ‘Perempuan Vs perempuan’

Ester Lianawati pernah bilang dalam ‘Akhir Penjantanan Dunia’ bahwa persaingan paling awal yang dialami setiap anak perempuan adalah dengan ibunya. Itu terjadi di masyarakat patriarki, yang tidak menghayati kehadiran anak secara sama. 

Patriarki membuat tembok pembatas pada jenis kelamin anak. Bagi ibu yang memiliki anak laki-laki merupakan pengalaman berbeda. Sedang dengan anak perempuan, ibu akan merasa berada di ‘wilayah’ yang Ia kenal. Ibu cenderung merasa ‘harus’ campur tangan, ikut berkepentingan, dan punya pendapat apapun atas anak perempuan. 

Jenis kelamin yang sama ini juga berdampak pada identifikasi yang kuat dari anak perempuan terhadap ibu atau sebaliknya. Dengan anak perempuan mengalami peleburan identitas (masing-masing kehilangan identitas). Sebab merasa identik dengan anak yang sama-sama perempuan. 

“Anak perempuan berada dalam relasi fusionnelle, melebur dengan risiko kehilangan identitas. Relasi anak perempuan dengan ibu bersifat passionate, intense, tetapi juga karenanya lebih konfliktual (Annik Houel, 2014, dikutip Ester). 

Baca Juga: Klinik Hukum Perempuan: Pengasuhan Anak yang Orangtuanya Pisah, Tanggungjawab Siapa?

Dari penjelasan ini, kita bisa dapat gambaran mengapa di dalam masyarakat patriarki muncul komentar-komentar negatif yang menghadapkan ‘perempuan vs perempuan’ dalam relasi ‘ibu dan anak’ yang sama-sama perempuan. Dalam hal ini, sorotan pada Nikmir dan L yang ditujukan untuk saling mengadu. 

Kita bisa fokuskan pada cara pandang beresolusi konflik yang berperspektif gender. Kita bisa memulainya dengan memahami situasi relasi ibu-anak pada Nikmir dan L. 

Konde.co juga mewawancarai Komnas Perempuan tentang konflik yang hanya dipusatkan pada ibu versus anak ini, dan menjadikan peran laki-laki dalam konflik ini jadi terlupakan.

“Saya pikir tidak mudah bagi NM membesarkan anak-anaknya, termasuk luka batin yang mungkin ia alami dari pengalaman perceraiannya. Juga harapan harapannya terhadap L sebagai anak sulung. Disisi lain, L yang remaja sedang mencari identitas diri dan mungkin memiliki harapan harapan tertentu terhadap ibunya,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi kepada Konde.co, Senin (23/9/2024). 

Maka dari itu, narasi yang didorong adalah keduanya agar bisa mengupayakan ruang dialog yang difasilitasi melalui konseling keluarga dengan bantuan psikolog. Bukan hanya Nikmir, tapi mantan suaminya yang juga ayah L  (Aizawa) juga mesti terlibat aktif. 

“Saya pikir hal ini dapat menjadi langkah awal agar NM sebagai ibu mendengar dan memahami keinginan L, sebaliknya L memahami posisi NM sebagai Ibu dan harapan-harapannya. Dalam konseling ini juga Ayah L diikutsertakan mengingat tanggung jawab pengasuhan dan perawatan tidak hanya ada pada NM, tapi juga ayahnya,” lanjutnya. 

Dugaan Kekerasan Seksual dan Pentingnya Perlindungan Anak 

Berkenaan dengan dugaan kekerasan seksual yang terjadi pada L oleh pacarnya, Vadel, Aminah dari Komnas Perempuan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. 

Dia merekomendasikan agar pihak kepolisian memperhatikan dan memenuhi hak anak. Di samping, kepolisian juga agar tidak bias terhadap stigma-stigma negatif yang dilekatkan publik terhadap Nikmir dan L. Semua pihak, katanya, juga harus memahami posisi L sebagai anak yang terduga menjadi korban kekerasan seksual. Maka, dia berhak atas perlindungan identitas dan privasinya. 

“Mengingat kasus ini telah dilaporkan kepada kepolisian, maka dalam hal ini L ada pada posisi sebagai korban yang memiliki hak untuk dilindungi identitas  dan hak privacynya,” kata dia. 

L sebagai anak bagaimanapun secara hukum belum dapat memberikan persetujuan atas segala aktivitas seksualnya. Ini penting untuk menjadi perhatian publik dan aparat penegak hukum dalam menerapkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)

Baca Juga: 4 Catatan Kritis Belum Optimalnya Implementasi UU TPKS 

“Untuk dugaan TPKS, mengingat L masih berusia anak, maka segala aktivitas hubungan seksual adalah kejahatan, mengingat anak secara hukum belum dapat memberikan persetujuan (incompetent consensual) dan orang dewasa yang memiliki kewajiban untuk tidak mengambil keuntungan atau manfaat dari kerentanan seorang anak dan tidak boleh menempatkan pada kondisi yang melanggar hak anak,” jelas Aminah. 

Alih-alih larut dalam ‘huru-hara’ yang tidak substansial, dia mengingatkan agar semua pihak bisa fokus pada penanganan kasus dugaan kekerasan seksual dan perbaikan relasi ibu dan anak, Nikmir-L.

“Fokus pada penyelesaian dugaan TPKS dan memperbaiki relasi ibu dan anak,” pungkasnya. 

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Belajar dari Peristiwa Nikita Mirzani: Jangan Hadapkan Ibu vs Anak, Fokus Pada Kasus Dugaan Kekerasan Seksual

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us