Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung kisah-kisah tentang kekerasan seksual, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap perempuan dalam Tragedi 1965 dan setelahnya. Berbagai peristiwa mungkin dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan memicu trauma bagi pembaca.
Suasana hangat dan semarak di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, pada Minggu malam (29/9/2024). Dalam acara bertajuk ‘Mari Ber-Lenso!’ itu, terdengar suara merdu para perempuan yang tergabung dalam Paduan Suara Dialita.
Penampilan Dialita cukup spesial pada malam itu. Mereka mengenakan seragam kebaya putih bercorak batik. Rupanya pakaian itu adalah hadiah dari Komnas Perempuan dan dirancang oleh aktivis gender, Hartoyo. Selain itu, mereka melantunkan beberapa lagu dengan jenis musik lenso. Salah satunya ‘Soleram’, yang liriknya diimprovisasi untuk Irama Nusantara, penyelenggara acara ‘Mari Ber-Lenso!’.
Dialita Choir, Suara Perempuan yang Menembus Stigma
Dialita Choir adalah paduan suara yang terbentuk pada tahun 2011. Paduan suara ini terdiri dari para perempuan penyintas dan keluarga tahanan politik pada masa Orde Baru, setelah Tragedi 1965. Dialita dipimpin oleh Uchikowati Fauzia, anak mantan bupati Cilacap yang juga menjadi tahanan politik pasca-1965. Mereka menyajikan lagu-lagu yang pernah hidup di penjara-penjara dan diciptakan oleh para tahanan politik. Meski hampir semua anggotanya sudah berusia lanjut, semangat mereka masih lantang menggema lewat nyanyian mereka.
Malam itu, Dialita tampil meski dengan segala kekurangannya. Beberapa anggota sedang sakit atau kondisinya kurang prima. Mereka juga belum lama berduka karena kepergian salah satu anggota, Tuti Martoyo, pada 12 September 2024. Rumah Tuti yang biasa dijadikan tempat latihan pun diambilalih, sehingga mereka harus mengemasi barang-barang dan mencari tempat baru. Namun, hal itu tidak lantas memadamkan semangat Dialita untuk tetap bersuara lewat lagu.
Apakah Paduan Suara Dialita dibentuk semata-mata karena para perempuan yang tergabung di dalamnya bersuara merdu? Atau demi mengejar berbagai macam penghargaan? Tutur Uchi, tentu tidak.
“Kami lahir, kami berdiri karena ada sebuah situasi di mana para perempuan penyintas 1965 tidak pernah mendapatkan hak-haknya dari negara. Terutama tentang kesehatan,” kata Uchi di Museum Kebangkitan Nasional, Minggu (29/9/2024).
Baca Juga: Komnas Perempuan: 122 Perempuan Menjadi Korban Tragedi 1965
Lanjutnya, para perempuan yang kemudian bergabung dengan Dialita mulai berjumpa sekitar tahun 2009-2010. Pertemuan itu membuat mereka tidak merasa sendiri di tengah trauma dan stigma turun-temurun terhadap perempuan eks-tahanan politik 1965 maupun keluarganya.
Perjumpaan itu membawa mereka untuk mengunjungi para perempuan penyintas 1965 lainnya yang sudah berusia lanjut dan sakit. Dari sana, tutur Uchi, mereka pun berinisiatif melakukan kegiatan sosial. Seperti mengumpulkan barang bekas dan menjualnya kembali. Termasuk juga membentuk Paduan Suara Dialita.
“Sehingga ketika bikin paduan suara itu tujuan utama adalah ‘ngamen’; untuk mencari uang,” terang Uchi. “Yang di metromini bisa dapat uang, masa’ iya, kami tidak bisa dapat uang?”
Uchi pun bersyukur, dalam perjalanannya, ternyata Dialita bisa diterima oleh para orang muda dan aktivis perempuan.
Acara ditutup dengan kejutan perayaan ulang tahun salah satu anggota Dialita. Namun rupanya mereka punya lagu khusus untuk dinyanyikan saat seseorang berulang tahun.
Baca Juga: IPT Tragedi 1965: Menuntut Negara Minta Maaf pada Korban
Menurut Utati, lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ yang biasa disenandungkan banyak orang rasanya kurang pantas bagi mereka yang telah dikurung bertahun-tahun. Alih-alih, mereka menyanyikan lagu ‘Salam Harapan’ yang diciptakan Zubaidah Nungtjik AR dan Murtiningrum di dalam penjara.
Usai penampilan, para anggota Dialita Choir tidak lantas berhenti bersenandung. Mereka bahkan bernyanyi lagi secara impromptu di bangunan lain tempat pameran lenso berlangsung. Salah satunya ‘Viva Ganefo’ ciptaan Asmono Martodipoero. GANEFO atau Games of New Emerging Forces adalah pertandingan yang dibuat oleh Indonesia sebagai tandingan Olimpiade. GANEFO didirikan untuk para atlet ‘negara-negara berkembang’ (terutama negara-negara sosialis yang baru saja merdeka). Pertandingan ini pertama kali digelar di Jakarta pada 1963.
Tanpa musik, suara Dialita membahana menembus zaman menyanyikan ‘Viva Ganefo’.
“Los países se despiertan para los juegos
(Negara-negara bangkit menyambut pertandingan)
las naciones que son emergidas
(bangsa-bangsa bermunculan)
se empenan en destruit el colonialismo
(berkeras hancurkan kolonialisme)
e imperialismo del mundo
(dan imperialisme di dunia)
Viva viva viva, GANEFO, GANEFO!”
Pembasmian Gerakan Perempuan Indonesia: Femisida dalam Tragedi 1965
Dialita bisa disebut sebagai kolektif yang hadir karena trauma dan stigma menurun pasca-Peristiwa 1965. Trauma itu terutama dilimpahkan kepada perempuan, korban yang paling terdampak tapi justru tidak banyak disorot dalam sejarah tragedi tersebut.
Kita kini mengenal peristiwa pembantaian para anggota, simpatisan, maupun orang yang dituding berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai genosida. Namun, yang masih sangat jarang dibicarakan adalah pembunuhan para perempuan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang merupakan organisasi ‘sayap’ PKI, maupun tertuduh komunis.
Padahal, Gerwani adalah salah satu tanda perjuangan gerakan perempuan progresif di Indonesia. Mereka terdiri dari para perempuan yang melawan poligami, buta huruf, dan pemiskinan perempuan. Pembunuhan terhadap anggota Gerwani, yang diiringi dengan pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya, sesungguhnya dapat dikategorisasikan sebagai femisida. Sebab, hal itu adalah pembunuhan berbasis politik seksualitas perempuan.
Aktivis sekaligus peneliti Ita Fatia Nadia memberikan penjelasan pada acara webinar ‘Praktek Femisida Seputar Tragedi 1965’ yang diadakan oleh Marsinah.id, Jumat (27/9/2024). Ia menekankan bahwa tragedi pasca-1965 adalah femisida yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Hal ini tidak ditulis dalam catatan sejarah resmi Indonesia. Pun tidak banyak disebut sebagai femisida dalam berbagai narasi sejarah alternatif.
Baca Juga: Tak Pernah Takut, Harus Dilawan: Intimidasi Terhadap Perempuan Korban 1965
Ita menyayangkan masih banyaknya aktivis perempuan yang lupa atau abai akan sejarah perempuan Indonesia tersebut. Padahal, arsip-arsip sejarah yang mencakup jejak perjuangan perempuan di Indonesia kini lebih banyak dan bisa diakses. Femisida dalam tragedi 1965 adalah kejahatan kemanusiaan besar terhadap perempuan, serta sangat kontekstual dengan peristiwa sejarah di tahun 1998 dan kasus-kasus femisida yang marak akhir-akhir ini.
“Sekarang ini orang bicara femisida seakan-akan terlepas, tidak ada konteks sejarahnya,” tutur Ita. “Padahal sejarah femisida di Indonesia itu luar biasa; sangat kontekstual.”
Propaganda Hitam Terhadap Gerwani
Ita menjelaskan, femisida dalam konteks Tragedi 1965 di Indonesia merujuk pada kekerasan sistematis dan diskriminasi yang dihadapi perempuan dalam situasi konflik politik. Khususnya selama dan setelah Gerakan 30 September (G30S) 1965 dan penumpasan PKI.
“Femisida pada tahun 1965 tidak secara tiba-tiba muncul,” tegas Ita. “Ada sebuah propaganda hitam terhadap khususnya Gerwani. Karena Gerwani adalah sebuah organisasi perempuan berbasis kader dan mereka punya kader-kader di desa-desa dengan jumlah yang sangat banyak.”
Propaganda hitam itu bukan tanpa surat perintah. Surat perintah itu dikeluarkan oleh Mayor Jenderal Umar Wirahadikusuma—kemudian menjadi Wakil Presiden zaman Soeharto. Surat perintah no. 01/Drt/10/1965 itu, “Melarang surat kabar dan radio menyiarkan berita tentang peristiwa 30 September 1965. Kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.”
Lanjut Ita, berdasarkan penelusuran arsip-arsip Nasional, tampak bahwa narasi kekejaman Gerwani muncul di surat kabar dan radio secara terus-menerus pada tanggal 7-11 Oktober 1965. Dalam ‘pemberitaan’ itu disebutkan cara-cara ‘sadis’ yang ‘dilakukan Gerwani’ untuk ‘membantai para jenderal’. Seperti penganiayaan hingga menyilet alat kelamin para jenderal yang kemudian tewas dalam G30S.
Hasil otopsi menunjukkan tidak ada tanda-tanda penganiayaan pada jenazah jenderal-jenderal yang dibunuh tersebut. Namun, narasi brutalitas Gerwani dirancang dan disiarkan sedemikian rupa sehingga ia menjadi ‘realitas’ yang diinternalisasi oleh masyarakat Indonesia dari generasi ke generasi.
Baca Juga: Di Balik Peristiwa 1965: Ada Perempuan Yang Tak Mendapatkan Keadilan
Narasi itu pun menyulut kemarahan masyarakat dan mengakibatkan penyerangan terhadap para perempuan anggota Gerwani dan anggota PKI, maupun yang dituduh sebagai bagian darinya. Pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan paksa secara massif terjadi sejak akhir tahun 1965-1967. Dimulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, dan Sumatera. Menyusul di Kalimantan dan Sulawesi setelahnya.
Yang mengerikan, pembunuhan, penghilangan paksa, hingga pemerkosaan dibiarkan terjadi oleh militer. Bahkan, militer juga mengakomodir preman-preman untuk menjadi ‘mesin’ pembunuh terhadap para perempuan anggota maupun tertuduh anggota Gerwani dan PKI. Pemberantasan itu menjadi femisida ketika temuan-temuan menunjukkan bagaimana perempuan bukan hanya dibunuh, tetapi sebelumnya diperkosa dan dianiaya. Alat kelamin dan bagian-bagian paling vital dari tubuhnya dirusak secara sistemik.
Ita memaparkan hal tersebut dalam penelitiannya yang dibukukan dengan judul ‘Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65’. Menurutnya, detail-detail yang terdengar brutal itu adalah bukti bahwa terjadi penumpasan terhadap para perempuan yang juga adalah aktivis pada masa itu. Banyak perempuan yang dibunuh dan mengalami kekerasan adalah mereka yang berjuang pada masa kemerdekaan RI.
‘Membersihkan’ Perempuan di Kamp Plantungan
Ada kamp-kamp penjara di sejumlah wilayah yang digunakan untuk menahan orang-orang tertuduh anggota PKI, Gerwani, Lekra, dan berbagai organisasi sayap komunisme lainnya.
Bagi tahanan politik perempuan, tempat itu adalah Kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Anggota Gerwani yang tidak dibunuh, ditangkap dan ditahan di penjara tersebut. Kamp tersebut menjadi pusat ‘re-edukasi’ dan ‘pendisiplinan’ perempuan yang dianggap ‘melenceng’. Artinya, perempuan-perempuan yang berpolitik dan bergabung dalam gerakan-gerakan progresif yang dianggap ‘kiri’ sebelum hingga saat 1965.
“Ada satu tempat (di Kamp Plantungan) yang, kalau perempuan itu masih dianggap ‘die hard’, dianggap punya ideologi, itu ditempatkan di satu ruang khusus. Di situ dia diperkosa,” tutur Ita.
Ia juga menyebut, ketika Kamp Plantungan ditutup dan para tahanan perempuan dikembalikan ke keluarga, ditemukan banyak kerangka bayi di sana. itu mengindikasikan adanya aborsi paksa dengan cara yang persis seperti jugun ianfu di zaman penjajahan Jepang.
Penjara Itu Bernama Indonesia
Cerita tentang kekejaman terhadap perempuan Gerwani pasca-1965 juga disampaikan Uchikowati Fauzia dalam webinar ‘Praktek Femisida Seputar Tragedi 1965’. Ia adalah generasi kedua dalam pusaran Peristiwa 1965. Menurut Uchi, sebelum tahun 1965, ibunya adalah salah satu pengurus Gerwani di Kabupaten Cilacap.
“Ibu saya dan teman-teman mendirikan taman kanak-kanak, mendirikan tempat penitipan anak,” cerita Uchi, Jumat (27/9/2024). Sang ibu juga mencanangkan program ‘Pemberantasan Buta Huruf’, sebab pada saat itu, masih banyak perempuan yang tidak bisa membaca. Ibu-ibu tersebut juga mendirikan koperasi untuk memberdayakan perempuan secara ekonomi.
Uchi berkisah, ia sering dibawa mengikuti kegiatan ibunya turun ke desa saat masih balita. Dengan kondisi saat itu, ketika transportasi yang tersedia di desa hanya dokar dan becak, ia melihat para perempuan ini menjalankan program-program pemberdayaan dan saling bersolidaritas.
Di sisi lain, Uchi mengamini hasil riset Ita F. Nadia tentang femisida pasca-G30S 1965. Pada 18 Oktober 1965 di Cilacap, terjadi pengrusakan dan pembakaran gedung CC PKI, kantor Gerwani, dan berbagai rumah para tokoh dan kantor yang berafiliasi dengan PKI. Lanjut Uchi, pada 20 Oktober, rumah dinas orangtuanya juga ternyata sudah dikepung oleh massa.
“Saat itulah berubah, kehidupan itu. Dulu Gerwani itu menjadi suatu organisasi yang punya anggota banyak membela kaum perempuan. Sejak saat itu, semua perempuan yang dianggap Gerwani dipenjara,” terang Uchi.
Ibu Uchi ditahan selama delapan tahun usai peristiwa 1965. Sementara itu, adik ayahnya ditahan di Plantungan sampai tahun 1978. Satu lagi adik sang ayah, seorang guru Sejarah yang baru lulus dari IKIP Negeri Semarang, hilang.
“Kehilangan-kehilangan di satu keluarga itu sangat berarti,” Uchi menyebut. “Begitu banyaknya kehilangan. Di keluarga ayah saya, enam orang harus ditahan, hilang, DPO. Itu semua sebuah penghancuran dari Orde Baru.”
Baca Juga: Di Balik Peristiwa 1965: Ada Banyak Perempuan Yang Dihilangkan Dan Tak Mendapat Keadilan
Peristiwa yang awalnya terjadi di Jakarta, entah bagaimana hubungannya, bereskalasi menjadi kekerasan sistemik di seluruh penjuru Indonesia. Perempuan, bahkan yang sebetulnya bukan siapa-siapa dalam pusaran konflik ideologi di Indonesia, harus dipenjara dan mengalami penyiksaan, kekerasan seksual, hingga pembunuhan. Banyak dari mereka yang tetap hidup, mengalami depresi berat. Mereka merasa bahwa hal yang mereka alami adalah aib dan baru bisa bercerita mengenai penderitaan mereka setelah berpuluh-puluh tahun.
“Tidak semua perempuan mengalami kekerasan seperti itu,” kata Uchi miris. “Trauma mereka itu hingga saat ini.”
Para tahanan politik yang dibebaskan di tahun 1970-an pun sesungguhnya tidak betul-betul bebas. “Ketika dibebaskan, itu sebenarnya tidak bebas. Tapi masuk di dalam sebuah penjara yang besar, yang bernama Indonesia,” ujar Uchi. “Karena tahanan politik ini hanya dipulangkan ke rumah. Dan di rumah, para tahanan politik ini harus wajib lapor.”
Uchi sendiri mewarisi trauma dan diskriminasi atas keluarganya pada saat itu. Pengalaman Uchi disampaikan dalam wawancara terpisah dengan Konde.co pada 12 Juni 2024.
Penghakiman dari lingkungannya di Cilacap, membuat Uchi merasa harus sangat membentengi diri saat memutuskan pindah ke Jakarta. Ia ingin memulai hidup baru tanpa bayang-bayang label ‘keluarga eks-tapol 1965’. Namun hal ini juga membuatnya merasa tidak bebas. Ditambah lagi, setiap tanggal 30 September, selalu muncul narasi keganasan PKI yang dicap ‘tidak bertuhan’. Ucapan-ucapan ini juga muncul dari para pendeta di gereja. Saat itu Uchi berpikir, “Mereka itu ngomong kayak gitu, sadar enggak, bahwa di jemaatnya itu juga ada orang-orang (yang) mungkin keluarga tahanan politik?”
Baca Juga: Magdalena Sitorus, Penulis Kisah-Kisah Perempuan Penyintas 1965
Uchi baru berani mengungkap identitasnya ke gereja tempatnya beribadah, puluhan tahun setelah peristiwa 1965. Setelah itu, ia justru akhirnya tahu bahwa di lingkungannya, banyak yang sebenarnya merupakan mantan tahanan politik dan keluarga eks-tapol seperti dirinya. Ia pun mendengar banyak cerita; mulai dari seseorang yang batal jadi pilot karena orangtuanya eks-tapol, hingga teman dekat di gereja yang ayahnya ternyata eksil.
Reformasi 1998, paling tidak bagi Uchi, membawa sedikit perubahan bagi dirinya dan para penyintas maupun keluarga eks-tapol 1965. Meski represivitas dan stigma masih ada, setidaknya mereka menemukan celah untuk bertemu dan bersolidaritas untuk saling menguatkan.
“Karena begitu terluka, kita harus menghadapi banyak hal. Sampai kita menjaga diri, menutup diri kita rapat-rapat seperti ini,” sahut Uchi. “Kalau enggak ada Reformasi… Masih tertutup, pasti aku enggak akan berani juga mengungkap gitu. Karena kan, memang, Orde Baru itu benar-benar bikin trauma orang.”
Selain itu, Uchi bersyukur, dirinya bisa bertemu dengan para perempuan penyintas dan keluarga eks-tapol 1965 lewat Paduan Suara Dialita. “(Dialita) hingga saat ini masih setia dan punya keberanian. Walaupun hanya sekadar mengucapkan, ‘saya adalah penyintas dari peristiwa ‘65’,” kata Uchi. Itu bukan hal mudah untuk dilakukan, apa lagi diucapkan ke publik. Maka ia salut kepada ibu-ibu Dialita yang mau menyatakan diri sebagai penyintas. Mereka juga secara sadar terus berjuang melalui medium seni.
Dialita mungkin sekilas hanya tampak bernyanyi. Namun, di balik itu, mereka adalah perempuan yang sedang merawat ingatan atas sejarah kelam tentang penganiayaan dan penghancuran terhadap perempuan.
“Lagu-lagu Dialita itu… Dan kembali lagi, saya harus berterimakasih kepada anak-anak muda, generasi muda yang menyukai lagu Dialita,” Uchi melanjutkan. “Dan mendorong mereka untuk kembali belajar tentang sejarah 1965.”
Tangan Negara Bersimbah Darah Perempuan
Negara punya peran besar dalam femisida pada 1965 dan seterusnya. Ita memaparkan beberapa aspek peran negara dalam hal itu. Antara lain kebijakan represif, normalisasi kekerasan, stigma sosial dan pembiarannya, pengabaian HAM, dan pengaruh jangka panjang. Ketidakadilan struktural itu diciptakan dan diturunkan oleh negara kepada masyarakat sampai saat ini—59 tahun setelah kejadian.
Sekarang, konteks dan bentuknya mungkin berubah seiring waktu. Namun kita perlu memahami bahwa fenomena ketidakadilan pada perempuan sudah menjadi isu serius di Indonesia terutama sejak peristiwa 1965.
Kekerasan berbasis gender, stigma, diskriminasi, pengabaian hukum, kekerasan dalam konflik, hingga kesadaran dan aktivisme perempuan, semuanya berawal dan tak bisa sepenuhnya lepas dari konteks sejarah. Kekerasan berbasis gender bukan baru terjadi sekarang; Ita menegaskan, kekerasan berbasis gender sangat politis dan kontekstual dengan sejarah penumpasan gerakan perempuan.
Baca Juga: Memeluk Perdamaian, Menerima dan Membuka Identitas, Mengakui Dosa Bangsa: Pengalaman Beragama Perempuan Penyintas Tragedi 1965
Konteks sejarah itu juga berlanjut pada kekerasan sistemik yang dialami perempuan dalam peristiwa sejarah lainnya. Seperti pemerkosaan massal 1998, penumpasan GAM, Poso, Timor Leste, Papua, dan sebagainya. Pola-pola kekerasan, pengrusakan, dan pembunuhan terhadap perempuan pada dasarnya sama. Tubuh perempuan terus menjadi ‘medan’ interseksi pertempuran politik dan kekuasaan oleh negara.
“Kita pernah melakukan kekejaman yang luar biasa,” tukas Ita getir. “Femisida itu sangat jelas ada dan terjadi pada ibu-ibu kita.”
Sejarah, terutama sejarah gerakan perempuan dan noda kelam padanya di Indonesia, harus dituliskan dan dirawat melintasi zaman. Ada banyak cara untuk melakukannya, menurut Ita. Termasuk lewat riset, kurikulum pendidikan, hingga seni seperti yang dilakukan Paduan Suara Dialita.
“Kita harus melawan. Lewat apa? Lewat klarifikasi sejarah,” tukas Ita. “Kita tidak boleh diam. Gerakan sosial, gerakan protes itu harus terus dilakukan. Khususnya dengan sejarah.”
(Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)
Artikel ini merupakan bagian dari Series #PerempuHAM, serial tentang perjuangan menuntut hak asasi manusia bagi perempuan.