Dalam sepekan ini saja, berbagai upaya perusakan atas ruang demokrasi terjadi. Itu tampak pada tindakan pembungkaman berpendapat dengan intimidasi sampai represi massa aksi.
Aparat kepolisian yang semestinya melindungi dan menjamin keamanan hak berdemokrasi, justru acuh. Premanisme yang dilakukan oleh “oknum” pun seolah dipelihara untuk kepentingan kelompok tertentu.
Reportase Konde.co, pada Jumat 27 September 2024 mendapati sekelompok orang tidak dikenal melakukan intimidasi kasar terhadap peserta aksi Global Climate Strike (Jeda untuk Iklim) di Taman Menteng, Jakarta.
Pada pukul 13.30 WIB, mereka meneriakkan “Bubar! Bubar sekarang!” secara berulang-ulang dan merampas sejumlah properti aksi, seperti patung manekin, poster, dan dua unit pengeras suara (toa). Mereka juga lalu merobek spanduk peserta aksi.
“Gerombolan preman ini datang dari dua arah yang berbeda, pada waktu yang berbeda pula. Ironisnya, perampasan tersebut terjadi tepat di depan aparat kepolisian yang bertugas. Alih-alih melindungi jalannya aksi damai, pihak kepolisian memilih untuk diam. Dan hanya menyaksikan tindak kekerasan tersebut tanpa melakukan upaya apa pun untuk menghentikannya,” reporter Konde.co, Fiona Wiputri melaporkan dari lokasi kejadian.
Meski jelas terlihat aksi intimidasi, perampasan, dan bahkan perselisihan antara preman dan peserta aksi, kepolisian tetap diam tanpa mengambil tindakan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apa gunanya pemberitahuan aksi kepada polisi jika mereka tidak dapat menjamin keamanan peserta aksi Global Climate Strike?
“Di saat bersamaan, polisi yang bertugas mengamankan jalannya aksi hanya menyaksikan dan berdiam diri melihat pembubaran aksi tersebut. Berdiri tanpa melakukan upaya apapun untuk menghentikan pembubaran. Aksi Jeda Iklim tahun ini membawa 7 isu utama ‘7 Dosa Mematikan yang Dilakukan Rezim Mulyono’. Dibarengi dengan Seruan ‘Mengarak Raja Jawa’,” Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, kepada Konde.co.
Baca juga: Aksi Mogok Makan PRT, Polisi Lakukan Kekerasan dan Rampas Properti Aksi
Global Climate Strike (Jeda untuk Iklim) ini merupakan gerakan internasional yang digagas oleh aktivis lingkungan. Tujuannya untuk menuntut aksi nyata terhadap perubahan iklim. Gerakan ini biasanya melibatkan unjuk rasa damai yang dilakukan serentak oleh berbagai negara. Namun aksi damai ini, nyatanya tak luput dari intimidasi dan kekerasan dari aparat penegak hukum.
Tak hanya aksi damai yang direpresi, pada 29 September 2024 ada pembubaran diskusi yang diadakan oleh Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan. Diskusi yang dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat seperti Din Syamsudin, Said Didu, Refly Harun Tata Kesantra, Sunarko, dan Rizal Fadhillah dibubarkan secara paksa oleh sekelompok preman.
“Mereka, menurut sejumlah peserta diskusi sudah melakukan orasi di depan hotel sejak pagi hari. Ketika acara diskusi hendak dimulai, sekelompok preman merangsak masuk dan mengobrak-abrik ruangan. Polisi yang berada di tempat tersebut juga hanya berdiam diri,” lanjutnya.
Aksi September Hitam yang semula hendak digelar di Skatepark Dukuh Atas, Jakarta Selatan di hari yang sama juga dibubarkan. Kali ini pembubaran dilakukan secara langsung oleh aparat kepolisian.
Aksi ini selain memperingati tragedi-tragedi pelanggaran HAM berat dalam rentetan sejarah Indonesia, juga menjadi ruang massa aksi untuk menunjukkan dosa-dosa Presiden Joko Widodo selama 10 tahun berkuasa.
Selain itu di dua hari ke belakang terdapat pembubaran serupa. Di Pundonrejo, Pati, orang-orang perusahaan PT. Laju Perdana Indah mengintimidasi petani yang sedang memperingati Hari Tani.
Di Desa Rante Walla, Tanah Wulu, Sulawesi Selatan, warga yang memprotes penyerobotan lahan oleh PT. Masmindo direspons dengan tembakan gas air mata oleh polisi.
Diatur dalam Standar Norma dan Pengaturan Nomor 3 tentang Hak Atas Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi Komnas HAM RI, ketika terdapat unjuk rasa balasan (counter assembly) terhadap demonstrasi damai, kepolisian berkewajiban untuk “menjaga pihak-pihak berkumpul agar terhindar dari eskalasi dan berupaya menghindari gesekan fisik dan nonfisik antara mereka, tanpa perlu membubarkan kegiatan”(Standar Nomor 69 huruf b).
Baca juga: The Voice: Sejumlah Polisi Tolak Gunakan UU TPKS, Tantangan Berat Penanganan Korban
Dibenturkan dengan praktik pembiaran pembubaran dua kegiatan mengemukakan pendapat di muka umum di atas, polisi jelas bertindak sebaliknya.
Sedangkan dalam menghadapi unjuk rasa mendadak (spontaneous assembly) atau aksi tanpa pemberitahuan, polisi berkewajiban untuk tetap memfasilitasi dan menjaga kegiatan tersebut tanpa tindakan diskriminatif (pembubaran) (Standar Nomor 68 huruf a). Sebuah tindakan yang berkebalikan jika kita melihat praktik polisi terhadap aksi masyarakat sipil September Hitam di Skatepark Dukuh Atas, Jakarta beberapa hari lalu.
Secara bersamaan, aparat kepolisian juga melanggar Pasal 14 yang mewajibkan mereka untuk: memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum (Pasal 14 huruf a) dan menjamin kebebasan penyampaian pendapat dari intervensi pihak lain (Pasal 14 huruf b).
Diungkap dalam buku Politik Jatah Preman yang ditulis oleh Ian Wilson, kelompok-kelompok geng preman adalah “mitra berharga” bahkan “aset bangsa” yang bisa diberi konsesi-konsesi ekonomi dan politik. Konsesi-konsesi itu diberikan asal mereka mereproduksi peran “serupa negara” dalam memelihara tatanan sosial-politik yang kondusif bagi kepentingan elit politik dan bisnis.
Pembubaran yang dilakukan oleh polisi pun tak kalah banyak. Mulai dari teror sistematis di Asrama Kamasan Surabaya 2019 lalu, penangkapan dan penyiksaan aksi Reformasi Dikorupsi, hingga yang terakhir adalah brutalitas polisi di 10 daerah dalam menghadapi aksi Peringatan Darurat.
YLBHI menduga kuat bahwa pembiaran dan pembubaran aksi di dua hari ke belakang secara berturut-turut ini dikarenakan masyarakat sipil yang masing-masing terlibat di dalam 3 agenda tersebut menyuarakan kritik terhadap rezim Jokowi. Memperkuat indikasi kita selama ini bahwa Polri telah menjadi kepanjangan tangan rezim Jokowi dalam mempertahankan kekuasaan. Bukan bekerja atas amanat Undang-Undang Dasar 1945.
“Sehingga Istana Negara dalam hal ini Presiden Jokowi bertanggung jawab atas pembubaran-pembubaran paksa tiga agenda penyampaian pendapat di muka umum tersebut. Kami mendesak Polri untuk segera melakukan penyidikan dan meminta Jaksa untuk segera menuntut di muka pengadilan para pelaku pembubaran,” katanya.
Baca juga: ‘Kami Masih Trauma Dengan Kejadian Setahun Lalu’: Anak Korban Pengeroyokan Polisi Belum Dapat Keadilan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid menegaskan sikap polisi tidak profesional dalam mengawal proses demokrasi. Kepolisian seperti merestui aksi sekelompok orang yang main hakim sendiri. Dengan cara kekerasan, kelompok itu menyerang unjuk rasa damai dan acara berkumpul yang damai dan sah.
“Aparat terlihat di lokasi kejadian dan terlihat membiarkan. Itu sama artinya dengan merestui perbuatan melanggar hukum. Polisi seharusnya bertugas melindungi warga yang mengekspresikan hak berpendapat-nya secara damai. Sepekan terakhir, mengapa polisi terkesan justru melindungi penyerang? Siapa dalang pelaku penyerangan pertemuan dan ekspresi damai itu?” tulisnya dalam pernyataan resmi.
Padahal menurutnya, konstitusi dan hukum-hukum lain Indonesia seharusnya menjamin warganya untuk menikmati hak-hak asasi manusia, baik kebebasan sipil seperti hak berkumpul serta berpendapat, maupun kebebasan sosial seperti bercocok tanam dan menikmati hasilnya.
“Itu dijamin pula oleh hukum internasional. Tindakan intimidasi seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja,” lanjut Usman.
Pihaknya lantas mendesak Kapolri segera mengusut tuntas dalang dan semua pelaku intimidasi maupun aksi main hakim sendiri tersebut. Kapolri wajib memastikan adanya tindakan hukum yang tegas terutama terhadap otak pelaku aksi main hakim sendiri.
Usut pula polisi yang bukannya mencegah dan menindak para pelaku intimidasi, justru cenderung melakukan pembiaran, malah berangkulan dan berjabat tangan dengan mereka, seperti yang terlihat pada insiden sabotase acara diskusi Forum Tanah Air.
“Kami juga mendesak Komisi III DPR RI segera mengevaluasi kinerja kepemimpinan kepolisian di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara menyeluruh. Evaluasi sangat penting agar negara serius menjaga hak asasi manusia secara keseluruhan.”
Kita Kembali ke Zaman Orde Baru
Pada masa Orde Baru yang otoriter kita mengenal istilah Pamswakarsa (Pasukan Pengamanan Masyarakat). Pasukan bentukan TNI di awal reformasi itu jadi alat untuk membungkam suara kritis. Mereka termasuk kelompok pemuda di berbagai daerah yang ditempatkan di sejumlah lokasi untuk membendung aksi pada Sidang Istimewa (SI) MPR pada 1998.
Saat itu, Pamswakarsa dibentuk karena ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sudah tidak berani berhadapan dengan massa sipil pasca tragedi Trisakti 12 Mei 1998.
Pamswakarsa ini disebut sebagai aktor penting yang memicu tragedi berdarah Semanggi I dan Semanggi II. Menurut laporan KontraS, setidaknya 29 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam peristiwa kekerasan tersebut. Baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, warga sipil, maupun anggota pam swakarsa sendiri.
Pada tahun 2020, upaya menghidupkan lagi Pamswakarsa kembali bergulir. Itu termaktub dalam Peraturan Polri No. 4 Tahun 2020.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya menjelaskan kepada Konde.co bahwa aturan itu saat ini sifatnya aktif (berlaku). Aturan internal polisi itu, diklaim untuk tujuan mendorong proses penjagaan keamanan dan jaga lingkungan yang selaras dengan UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002. Namun di sisi lain, dia mengkritisi selama ini pelaksanaan Perpol itu yang tidak transparan mulai dari perekrutan, pelatihan hingga pelaporan.
“Wajar jika ada kecurigaan masyarakat yang beredar, bahwa salah satu koordinator masa yang membubarkan Forum Tanah Air (FTA), mereka berpelukan sama polisi. Ada kecurigaan oleh masyarakat, oh jangan-jangan ini terafiliasi juga oleh Pamswakarsa kepolisian,” kata Dimas kepada Konde.co, Senin (30/9).
Melihat pola pembubaran diskusi FTA dan intimidasi massa aksi Jeda untuk Iklim, dia menilai, hal itu sebagaimana pola yang digunakan pada zaman Orde Baru. Dimana, masyarakat (melalui Pamswakarsa) “menggebuk” masyarakat.
Baca juga: ‘Orde Baru Itu Masih Ada, Hanya Berganti Jas’: Film ‘Eksil’ Ceritakan Nasib Diaspora Penyintas 1965
“Kembalinya ke zaman orde baru dengan menggebuk masyarakat lainnya, itu terjadi di konteks yang tadi, pembubaran diskusi FTA dan aksi Jeda untuk Iklim,” sambungnya.
Seiring dengan adanya revisi UU Polri, dia menyampaikan, situasi menyempitnya ruang demokrasi bisa saja makin marak terjadi. Ini utamanya berkaitan dengan kewenangan kepolisian untuk menggalang intelijen.
“Jadi makin sempit ruang kita berekspresi, ada singgungan masyarakat yang menggunakan cara-cara kasar/ kekerasan dengan kelompok masyarakat lainnya,” kata dia.
Implikasinya, premanisme dan kekerasan aparat bisa jadi makin tumbuh subur. Cara kerja Pamswakarsa yang menghadap-hadapkan masyarakat sipil, juga berpotensi mengindahkan tanggung jawab otoritas negara. Dalam hal ini, kekerasan massa aksi.
“Karena yang dipakai adalah oknum masyarakat. Tidak ada kewajiban atau pertanggungjawaban dari segi HAM,” katanya.
Lebih parahnya lagi, apabila ada isu rasial yang sengaja “dimainkan” untuk mengadu domba antar masyarakat. Konflik horizontal yang memecah belah pun tak bisa dielakkan.
Di situasi kini, Dimas berpesan, pengawasan terhadap kerja dan akuntabilitas lembaga negara harus lebih jeli. “Harus lebih jernih mengarahkan ‘kamera’ supaya dapat ditemukan fakta-fakta untuk pengungkapan kekerasan,” ucap dia.
Di satu sisi, penting juga mendorong evaluasi menyeluruh di aparat keamanan negara. Salah satunya terkait Pamswakarsa ini, yang bisa dievaluasi banyak manfaat atau justru kerugiannya bagi kebebasan berpendapat dan berdemokrasi.
“Lagi-lagi ini bicara masa lalu, Pamswakarsa waktu itu (orde baru) itu nyambung sama tragedi Semanggi I dan II, dan harus ada pertanggungjawaban secara legal atau hukum,” katanya.
Stop Premanisme
Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute SETARA Institute mengecam keras terjadinya pembubaran diskusi secara paksa tersebut oleh aksi premanisme tersebut. Tindakan pembubaran diskusi tersebut merupakan teror terhadap kebebasan berekspresi dan ancaman atas ruang sipil yang semakin menyempit.
SETARA Institute juga mengecam tindakan pembiaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian atas aksi premanisme dalam pembubaran diskusi oleh sejumlah orang tersebut.
“Aparat kepolisian seharusnya mengambil tindakan yang presisi untuk melindungi kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi dalam diskusi dimaksud. Pembiaran yang dilakukan oleh aparat negara merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia (violation by omission),” katanya dalam pernyataan resmi.
Selain itu, dia juga menegaskan bahwa aksi premanisme yang meneror kebebasan sipil bukan kali pertama ini terjadi. Sebelumnya terjadi kekerasan serupa yang mengintimidasi dan menakut-nakuti masyarakat sipil dan media dalam berekspresi, antara lain perusakan kendaraan Jurnalis Majalah Tempo Hussein Abri Dongoran.
SETARA Institute mendesak pemerintah, khususnya aparat kepolisian, untuk mengusut tuntas sejumlah aksi premanisme dan mempertanggungjawabkan kepada publik penanganan aksi premanisme dimaksud.
“Pembubaran diskusi melalui aksi premanisme tersebut dalam pandangan SETARA Institute merupakan alarm nyaring yang menandai bahwa kebebasan sipil semakin menyempit di tengah demokrasi yang semakin surut (regressive democracy),” pungkasnya.