#PerempuHAM: Kisah Bong Suwung Lawan Penggusuran, Pertaruhan Hak Perempuan Pekerja Seks

#perempuham:-kisah-bong-suwung-lawan-penggusuran,-pertaruhan-hak-perempuan-pekerja-seks

Para warga Bong Suwung, DI Yogyakarta, memenuhi area depan Kantor PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasional (Daop) 6 Yogyakarta pada Selasa (24/9/2024). Sebut saja Ratna, 37 tahun, menitipkan sejenak segepok selebaran berisi tuntutan Aliansi Bong Suwung yang sejak tadi dipegangnya, kepada temannya. Tangannya gantian menggenggam megafon. Meskipun tak lantang, suaranya jernih terdengar.

“Yang terhormat bapak PT KAI. Saya datang bersama warga dan mewakili Mbak-mbak PS (pekerja seks). Tolong ya Pak, seandainya tempat saya mencari nafkah digusur, terus (saya) nggak punya tempat tinggal. Terus nasibnya gimana, Pak? Tolong jawab, Pak,” tanya Ratna dengan tatapan tajam ke arah sejumlah laki-laki berseragam biru tua itu.

Sejumlah aparat PT KAI itu hanya berdiri mematung. Bahkan ada yang menundukkan pandangan di balik kacamata hitamnya.

“Kalau (kami) digusur ya dikasih tempat tinggal yang layak buat Mbak-mbak PS, pekerjaan yang layak. Jangan cuma digusur doang, terus Mbak-mbak PS ditelantarkan. Mana hati nuraninya, Pak?” seru Ratna dengan suara bergetar, menahan tangis. 

Selasa (24/9/2024) siang, Ratna bersama puluhan pekerja seks dan warga Bong Suwung tertahan di balik gerbang Kantor PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasional 6 yang ditutup. Sementara lima orang perwakilan mereka tengah beraudiensi dengan petinggi KAI di salah satu ruang bangunan itu. Mereka menuntut agar sterilisasi kawasan PT KAI Daop 6 Yogyakarta yang menggusur perkampungan Bong Suwung dibatalkan. 

Baca Juga: #PerempuHAM: Femisida dalam Tragedi 1965, Perempuan Bersuara Lewat Dialita Choir

Upaya audiensi hingga menggelar aksi bukan kali pertama itu dilakukan warga, pekerja seks, mahasiswa, dan LSM yang mengatasnamakan Aliansi Bong Suwung. Sejak kabar penggusuran beredar pada Juli 2024 lalu, mereka bolak-balik menyambangi DPRD DIY, Pemerintah Provinsi DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta, dan PT KAI Daop 6 untuk menyuarakan penolakan. Bahkan, aliansi tersebut juga mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta perhatian. 

Seiring dengan itu, setiap kali usai mereka menggelar audiensi, pihak KAI membombardir dengan mengirim Surat Peringatan (SP). Puncaknya, muncul SP ketiga pada 20 September 2024 yang memberi batas waktu bagi penghuni Bong Suwung untuk mengosongkan lokasinya per 27 September 2024. Berpacu dengan waktu, aliansi itu menawarkan solusi.

Lewat tengah hari, lima orang perwakilan aliansi keluar dari ruangan dan kembali menemui massa aksi dengan gontai. Penanda audiensi kembali menemukan jalan buntu.

Pertama, “Sudah minta tak digusur atau sterilisasi dengan solusi pemagaran sisi kanan kiri. Tapi ditolak,” Restu Baskara, kuasa hukum Bong Suwung dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Yogyakarta, menyampaikan isi audiensi. 

Kedua, PT KAI tak bisa mencarikan lokasi untuk relokasi, karena bukan tanggung jawabnya. Ketiga, KAI akan memberikan kompensasi uang kepada warga yang tinggal di Bong Suwung. Besarannya Rp200 ribu per meter persegi untuk bangunan semipermanen dan Rp250 ribu per meter persegi untuk bangunan permanen. Ditambah ongkos angkut bongkaran rumah Rp500 ribu per bangunan.

“Hanya itu yang bisa diberikan KAI. Dan diberi waktu terakhir Jumat ini…” 

“Ooooo nggak bisa! Pokoknya Bong Suwung harus melawan, nggak boleh pergi dari Bong Suwung!” seru warga memotong penjelasan Restu selaku kuasa hukum. Terik matahari yang menyengat, terlebih dua orang warga sempat pingsan, kian menambah eskalasi kemarahan mereka.

Baca Juga: Minim Sosialisasi, Masyarakat Pulau Rempang Tolak Penggusuran
Warga dan perempuan pekerja seks Bong Suwung di Yogyakarta menggelar aksi menolak sterilisasi Bong Suwung di depan gerbang Kantor PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Selasa, 24 September 2024. (foto: Pito Agustin Rudiana)
Warga dan perempuan pekerja seks menggelar aksi menolak sterilisasi Bong Suwung di depan gerbang Kantor PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Selasa, 24 September 2024. (foto: Pito Agustin Rudiana)

“Jumat ini, kalau nggak ada jawaban (dari warga), ada eksekusi…” Restu melanjutkan.

Wes, turu kene wae! Ora sah bali! (sudah tidur sini saja, nggak usah pulang),” seru mereka lagi. Wajah-wajah mereka terlihat tegang. 

Sesepuh warga Bong Suwung, Nugroho, menengahi. Sembari duduk di kursi, laki-laki tua yang selalu membawa tongkat kayu untuk menopang tubuhnya itu meminta warga tetap semangat.

Ia juga mengusulkan aliansi bergerak ke balai kota siang itu juga. Sebab, respon PT KAI Daop 6 hanya seperti itu. Toh, yang bertanggungjawab terhadap nasib warga Bong Suwung tak hanya KAI. Melainkan juga negara, Pemerintah DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta, dan Keraton Yogyakarta.

“Kita ditunggu pemkot diskusi tentang hasil dari KAI. Daripada besok-besok, kalau kita langsung ke balaikota gimana? Nanti apa yang disampaikan (pihak pemkot), Mbak-mbak dengar semua ya (tanpa perwakilan)?” kata Nugroho.

“Minta waktu (penundaan)!” mereka berseru lagi.

Anggota DPRD Kota Yogyakarta terpilih, Krisnadi Setyawan yang memantau situasi, bergantian meraih megafon untuk menjelaskan. Menurutnya, sebenarnya sudah ada pembicaraan sejak dulu antara Pemda DIY, Pemkot Yogyakarta, dan PT KAI Daop 6 soal kompensasi bagi warga Bong Suwung yang digusur. Warga Bong Suwung yang ber-KTP Yogyakarta menjadi tanggungan pemkot, warga DIY menjadi tanggungan Pemda DIY, dan yang ber-KTP di luar DIY ditanggung PT KAI Daop 6. Berdasarkan data, 37 warga ber-KTP Yogyakarta. Sisanya ber-KTP DIY dan luar DIY.

“Kenyataannya, hari ini kesepakatan itu mental. Tapi saya harap, perjuangan ini monggo (silakan) dilanjutkan,” kata Krisnadi.

Baca Juga: Mendapat Predikat Kota Peduli HAM, Mengapa Pemkot Bandung Tetap Lakukan Penggusuran Paksa?

Ia menyarankan, saat warga harus mengemasi barang, jangan sampai terjadi bentrok fisik. Sementara jika tetap bertahan, maka warga akan berhadapan dengan KAI.

“Pindah ke mana, Pak?”

“Karena Bapak Ibu makai tanah KAI pinjaman keraton, biar jadi perhatian Keraton dan DIY, saya sarankan ngungsi ke rumah rakyat di DPRD DIY.”

Suara para warga serentak menyahuti, “Siaaaapp!”

“Kalau di DPRD Kota, Ngarso Dalem nggak ada. Ngarso Dalem itu rapatnya di DPRD DIY. Jadi bongkar-bongkaran itu dibawa ke DPRD DIY biar jadi perhatian Pemda DIY, Pemkot Yogyakarta, dan mengundang KAI. Biar Ngarso Dalem juga lihat,” kata Krisnadi. 

Selain itu, muncul juga anjuran menginap di Gedung DPRD DIY yang berada di kawasan pusat perekonomian Yogyakarta alias Malioboro. Hal itu dipertimbangkan akan memudahkan warga Bong Suwung mencari penghasilan.

“Mbak-mbaknya thethek (mangkal) di mana?” tanya warga.

“Malioboro jembar (luas), Malioboro jembar. Biar jadi perhatian semua. Kami di DPRD Kota siap mengikuti kebijakan bersama,” imbuh anggota dewan dari Dapil Gedongtengen, di mana Bongsuwung berada.

Kompensasi di Luar Nurani
Suasana Bong Suwung di Yogyakarta yang sepi, Selasa siang, 24 September 2024. (foto: Pito Agustin Rudiana)
Suasana Bong Suwung di Yogyakarta yang sepi, Selasa siang, 24 September 2024. (foto: Pito Agustin Rudiana)

Restu menjelaskan, sudah sebulan lebih mendampingi warga Bong Suwung untuk menyambangi DPRD DIY. Mereka juga menghampiri Pemda DIY dan menyurati Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengku Buwono X. Pasalnya, lahan yang ditempati warga Bong Suwung itu adalah lahan berstatus Sultan Ground yang disewa PT KAI. Lokasinya di sisi barat Stasiun Yogyakarta (dikenal dengan Stasiun Tugu). Sementara bangunan di Bong Suwung memanjang di sisi utara masuk wilayah Kecamatan Jetis dan di sisi selatan di wilayah Kecamatan Gedongtengen. Keduanya berada di Kota Yogyakarta.

“Tapi ya, diacuhkan. Padahal warga Bong Suwung punya KTP, jadi berhak atas jaminan hidup. Tapi negara dan BUMN tak pikirkan soal tanggung jawab sosial yang riil,” keluh Restu.

Pihaknya sudah meminta penundaan. Permintaan itu diperkuat surat dari DPRD Kota Yogyakarta dan Ombudsman DIY yang meminta penundaan sterilisasi karena ada indikasi maladministrasi. 

“Jadi harus berembug dulu,” lanjutnya.

Selain itu, DPRD DIY dan DPRD Kota Yogyakarta selaku wakil rakyat sudah mengirim surat pada PT KAI Daop 6. Tapi tak diindahkan. “Artinya, pemerintah di hadapan korporasi BUMN tak berdaya.”

Akhirnya, Selasa (24/9/2024) mereka mendatangi Kantor PT KAI Daop 6. Lantaran pihak KAI bergeming dan tetap ingin menggusur, warga mengajukan usulan solusi berupa pemagaran di sepanjang sisi kiri dan kanan rel tempat deretan bangunan warga itu berdiri. Jarak antara rel ke arah bangunan beragam, antara 3-6 meter. 

“Selama ini yang dikeluhkan KAI itu. Ya sudah, dipagari saja biar tak ada orang berkeliaran di sepanjang rel. Tapi mereka tolak juga,” ungkap Restu.

Baca Juga: Perempuan, Sebuah Pertanyaan soal Penggusuran atas Pembangunan Bandara di Yogyakarta

Lantas warga mengajukan tambahan biaya kompensasi. Ini mengingat besaran kompensasi yang disampaikan pihak KAI sungguh tak realistis dan di luar hati nurani.

“Tapi hanya tambahan ongkos angkut (Rp500 ribu per rumah). Tidak ada ongkos pindah ke mana, ongkos buka warung kembali, ongkos sewa rumah,” imbuhnya.

Bong Suwung dihuni 164 jiwa yang membuka warung; beberapa sekaligus menjadi pekerja seks. Ada juga pekerja seks yang tak tinggal di sana. Yang bekerja di sana berjumlah 62 orang. Mereka berharap total 226 jiwa itu mendapat kompensasi semua.

Sementara hasil hitungan mereka, mestinya kompensasi yang diterima pemilik warung untuk bisa membuka warung kembali dalam satu tahun adalah Rp30 juta per warung. Dan uang tali asih untuk pekerja seks di sana Rp20 juta per orang. “Tapi ditolak,” ucap Restu singkat. 

Jika mengikuti skema kompensasi dari KAI, maka besaran kompensasi tertinggi Rp25 juta. Sebab bangunan semipermanen terluas berukuran 5×5 meter, sedangkan kompensasi terkecil yang didapat Rp750 ribu.

Pihak KAI tetap memberi tenggat waktu kepada warga untuk memberi jawaban, hingga pukul 15.00 tanggal 27 September 2024. Mereka harus memutuskan menerima atau menolak kompensasi. Sementara kawasan harus sudah rata dengan tanah pada 2 Oktober 2024. 

“Kalau ada pembiaran, nasib mereka gimana? Nggak punya tempat tinggal, sudah kerja di sana puluhan tahun. Jangan salahkan warga Bong Suwung kalau angka kriminalitas meningkat,” kata Restu.

Baca Juga: Penggusuran yang Selalu Membuat Kami Sakit untuk Mengingatnya

Sementara pada saat itu, Manajer Humas PT KAI Daop 6 Krisbiyantoro menyatakan pihaknya hanya akan memberi waktu kesepakatan hingga 27 September 2024 pukul 3 sore. Alasannya, SP3 yang dikeluarkan pada 20 September 2024 hanya berlaku selama tujuh hari.

“Jadi setelah 27 September, kami berhak melakukan tindakan. Kalau warga nggak mau bongkar sendiri, ya kami akan bersihkan sampai rata tanah,” ucap dia.

KAI pun tak bisa memberikan nilai kompensasi lebih tinggi yang diharapkan warga Bong Suwung. Alasannya, sebagai BUMN, ada tanggung jawab keuangan negara yang harus dilakukan.

“Juga diperiksa KPK dan BPK,” ucap Krisbiyantoro.

Bahkan ia mengklaim hampir 50 persen warga sudah menyetujui nilai kompensasi itu dan akan membongkar bangunannya.

“Mereka sudah mengisi surat berita acara pernyataan setuju ditertibkan dan akan menerima sejumlah uang itu,” kata dia. 

Program sterilisasi yang dilakukan KAI adalah melakukan normalisasi atau mengembalikan jalur kereta api sesuai ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Kereta Api. Sementara lokasi Bong Suwung berada di dalam emplacement KAI, sehingga harus steril dari bangunan apapun. Luasan emplacement itu sekitar 2.800 meter persegi.

Ia memastikan, sterilisasi untuk kebutuhan operasional kereta api. Batas emplacement di kiri kanan rel (bekas Bong Suwung) masih bisa dimanfaatkan untuk jalan. Bisa juga untuk menempatkan peralatan pendukung lain atau untuk jalur tambahan. 

“Kalau sudah steril, (bekas Bongsuwung) mau jadi apa, dipikirkan lagi. Nanti sesuai perkembangan tata kota,” kata dia.

Baca Juga: Jejak Penjara Perempuan, Pasar Mester dan Penggusuran Bukit Duri

Sterilisasi dilakukan setelah PT KAI Daop 6 menerima Surat Palilah dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Surat itu merupakan surat putusan pemberian izin untuk memanfaatkan tanah milik keraton. 

“Itu sudah diterima cukup lama. Kami minta untuk melakukan sterilisasi emplacement Stasiun Yogyakarta, dan diperbolehkan,” klaim Krisbiyantoro.

Rencana sterilisasi sudah digaungkan sejak 2010. Namun surat palilah baru didapat 2024. 

Lokasi yang ditempati bangunan-bangunan semipermanen milik warga Bongsuwung merupakan emplacement stasiun. Lokasinya di sebelah barat Stasiun Yogyakarta. Emplacement merupakan luasan lahan di stasiun yang dibatasi sinyal masuk dua arah, baik di sisi kanan dan kiri. Lokasi itu harus steril karena terdapat jalur kereta api. Jalur itu ada wesel untuk memindahkan jalur rel, melakukan langsir, maupun penempatan alat-alat pendukung operasional kereta api. 

“Dari segi keamanan (bangunan Bong Suwung) itu jelas berisiko. Apalagi untuk lalu lalang penduduk. Wesel saja nggak boleh kotor, karena kotor sedikit saja nggak bisa gerak. Tiap hari harus dibersihin,” jelas dia.

Baca Juga: Ragam Gender Dihajar Perda Diskriminatif dan Jadi Sasaran Elite di Tengah Pusaran Politik

Namun usulan pemagaran dari warga untuk mencegah lalu lalang di jalur rel, ditolak.

“Bagi kami, warga Bongsuwung itu sudah di dalam pagar. Jadi yang kami tertibkan itu yang ada di dalam pagar,” jelas dia. 

Di Balaikota Yogyakarta, warga Bong Suwung dibuat histeris. Gara-gara Walikota Yogyakarta tidak menemui mereka karena tidak ada di tempat. Sementara Asisten Walikota, Yunianto yang menemui hanya mengatakan akan melakukan koordinasi terlebih dulu.

“Warga nunggu lama di balaikota. Banyak yang kecewa, nangis, teriak-teriak histeris. Tiga orang pingsan,” ungkap Restu.

Ia pun membenarkan, warga yang mempunyai warung terpaksa menerima kompensasi itu alias bersedia untuk meninggalkan lokasi itu. “Warga takut nggak dapat uang itu. Kan rata-rata lansia ya.”

Sebab pihak KAI menakuti warga. Jika setelah 27 September 2024 warga tidak mengambil uang itu, maka uang kompensasi akan hangus. Tak dapat kompensasi apapun.

“Tapi di sana kan ada mbak-mbak PS. Mereka mau dikemanakan? KAI bilangnya itu bukan tanggung jawabnya,” kata Restu.

Baca Juga: Sulitnya Pekerja Seks Melawan Stigma Perempuan Tak Bermoral

Bersama tim advokasi yang terdiri dari sejumlah NGO, pengacara, dan mahasiswa, mereka tengah melakukan upaya mitigasi risiko. Rencananya, usai sterilisasi, warga dan PS akan mendirikan posko di DPRD DIY. 

“Karena uang segitu nggak cukup cari tempat baru. Juga bingung cari tempat tinggal. Jadi mau ngadu ke pemerintah, minta tuntutan dipenuhi,” kata Restu.

Restu menyayangkan pihak KAI sudah menyodorkan surat persetujuan menerima kompensasi itu, sementara uang kompensasi belum diterima. Belum ada kejelasan kapan uang itu cair dan waktu penerimaannya. Bahkan warga akan mendapat separuh dari total nominal yang diterima. Sisanya akan diberikan setelah bangunan dibongkar.

“Kalau belum diterima 100 persen, warga akan tetap bertahan,” ucap Restu.

Bukan Sekadar Ganti Rugi
Suasana perempuan pekerja seks tengah berkumpul di balai untuk membahas pemetaan kebutuhan usai penggusuran, Rabu malam, 25 September 2024. (foto: Pito Agustin Rudiana)
Suasana perempuan pekerja seks tengah berkumpul di balai untuk membahas pemetaan kebutuhan usai penggusuran, Rabu malam, 25 September 2024. (foto: Pito Agustin Rudiana)

Bau minyak angin menguar dari samping kiri saya. Perempuan dengan baju terusan selutut berbalut sweater oranye muda duduk bersimpuh di atas tikar. Riasan wajahnya tak bisa menyembunyikan rona muka yang pucat.

“Kemarin pingsan di KAI. Tak biasa sarapan. Asam lambung kumat,” aku perempuan itu di balai pertemuan di Bongsuwung, Rabu, 25 September 2024 malam.

Dia sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat dengan ambulans. Diinfus dan pulang sore hari. Dan malam itu, ia menguatkan diri untuk bergabung kembali dengan teman-temannya sesama pekerja seks di Balai Bong Suwung. Membahas apa langkah mereka selanjutnya usai penggusuran nanti.

“Nggak tahu, abis digusur ke mana. Mau ke lokasi lain, mesti bayar satu jutaan. Jadi ke jalanan saja,” ucap dia.

Perempuan di samping kanan saya mencegahnya kembali ke jalanan. 

“Aku ada tempat. Nanti kukasih tahu,” ucap perempuan temannya itu.

Saat saya tanya di mana tempat itu, setengah berbisik dia menyebut nama tempat di kota sebelah di provinsi yang berbeda. Jauh.

“Daripada di jalanan,” sahut perempuan itu.

Baca Juga: Demi Konten Viral, Direkam Tanpa Persetujuan: Stop KBGO Pekerja Seks

Puluhan perempuan pekerja seks Bong Suwung di dalam balai dari bambu itu kian riuh. Saling cerita, saling keluh kesah, saling menguatkan. Mereka rela menunda pekerjaan mereka demi berkumpul bersama. Memetakan kebutuhan mereka selanjutnya. Mau ke mana, tujuannya apa, ada tempat tinggal atau tidak, kebutuhannya apa, dan seterusnya.

Kuasa hukumnya, Restu Baskara membagikan lembar-lembar kertas kepada mereka untuk diisi. Ketua Paguyuban Arum Dalu Sehat (ADS), sebuah paguyuban pekerja seks Bong Suwung yang bergerak di bidang kesehatan, Nia, mengambil sejumlah bolpoin dari lemari. Lalu dibagikan kepada mereka untuk digunakan.   

Sekitar pukul 21.00 WIB, pertemuan di balai itu pun dimulai. Sementara saya dan Nia berbincang di samping balai. Bersebelahan dengan rel kereta api yang nyaris tak pernah sepi. Dalam satu jam, 3-4 kereta lalu lalang. Yang datang, yang pergi, atau pun sekadar langsir. 

Begitu terus saban hari. Suaranya memecah keheningan Bong Suwung siang hari dan keriuhan malam hari. Lampu kereta yang lewat acapkali berpendar saat melewati Bong Suwung yang temaram, bahkan bisa dibilang gelap saat melewati lorongnya. Sementara laki-laki berdatangan ke sana untuk memesan minuman di warung-warung atau sekadar duduk berbanjar di tepian rel. 

Roda perekonomian Bong Suwung meredup sejak pagebluk Covid-19 mengganggu. Dan lajunya fluktuatif mengikuti arus perekonomian masyarakat umumnya. Ketika perekonomian masyarakat kebanyakan membaik, pemasukan juga membaik. Namun saat masa pendaftaran anak sekolah, Gunung Merapi erupsi, pemasukan ikut seret. Termasuk saat beredar kabar Bong Suwung akan digusur, juga sepi.

“Tapi ini benar-benar parah. Emangnya Ngebong (sebutan familiar untuk Bong Suwung) masih buka, masih operasi? Tahunya orang-orang tuh sudah tutup, pada ngeluh,” ungkap Nia, 34 tahun.

Baca Juga: Siapa Yang Akan Lindungi Pekerja Seks Saat Jadi Korban Kekerasan Seksual?
Suasana Bong Suwung di Yogyakarta yang sepi, Selasa siang, 24 September 2024. (foto: Pito Agustin Rudiana)
Suasana Bong Suwung di Yogyakarta yang sepi, Selasa siang, 24 September 2024. (foto: Pito Agustin Rudiana)

Sebelum pandemi, satu pekerja seks bisa mendapatkan pemasukan dari 3-5 pelanggan sehari dari pukul 7 malam hingga 3 dinihari. Namun menjelang penggusuran, untuk mendapatkan satu pelanggan pun sulit. Tak sedikit pekerja seks yang beberapa hari tak dapat uang. Anak-anaknya tak berangkat sekolah karena tak punya uang saku. 

Dan saat warga Bong Suwung menerima untuk ditertibkan pihak KAI dengan nilai kompensasi yang sangat minim, mau tak mau, rela tak rela, pekerja seks di sana pun harus menerima. Lantaran antara pemilik warung dengan pekerja seks bak mata rantai yang tak terpisahkan. 

“Ya, kalau di sini nggak ada warung ya nggak afdol. Nggak ada kamar, nggak ada apa-apa, eksekusinya gimana,” ungkap Nia.

Sementara tanpa pekerja seks, perekonomian warung-warung di sana tak menggeliat. Sayangnya, ketika pemilik warung mendapatkan kompensasi penggusuran, pekerja seks hengkang dengan tangan kosong.

Memang tak semua pekerja seks tinggal di Bong Suwung. Ada yang indekos di tempat lain. Ada juga yang pulang pergi karena tinggal di Solo, juga Magelang. 

“Perjuangan mencari uang. Kalau nggak nyaman, ya nggak mungkin segitunya (pulang pergi),” imbuh Nia.

Baca Juga: Namamu Puan dan Kau Seorang Pekerja Seks 

Bagi Nia yang sejak 2014 menjadi Ketua Paguyuban ADS, ada beberapa persoalan yang mengkhawatirkan usai penggusuran itu terjadi. Pertama, program penanggulangan HIV dan AIDS akan tersendat, bahkan bisa terhenti. 

Bagaimana pun, saat para pekerja seks bekerja di satu tempat akan memudahkan pihak Dinas Kesehatan maupun puskesmas setempat untuk memberikan layanan kesehatan. Nia ingat, sebelumnya banyak pekerja seks yang enggan mengikuti sosialisasi pencegahan HIV dan AIDS. Namun kini berangsur rajin mengikuti sosialisasi yang digelar di balai, termasuk pengambilan darah tiga bulan sekali.

“Dulu cuma 35 orang, semasa kepengurusan saya hampir 130 orang mau ikut,” kata Nia sembari mengungkapkan, saat ini ada empat orang dengan HIV di sana.

Ia tak bisa membayangkan selepas penggusuran, para pekerja seks akan menyebar ke banyak tempat demi mempertahankan tungku dapur menyala. 

“Kan nggak mungkin pihak Kesehatan mendatangi mbak-mbaknya satu per satu. Biasanya kan biasanya lewat tokoh kunci di situ,” papar Nia.

Baca Juga: Aku Memang Pekerja Seks, Tapi Gak Berarti Kalian Bisa Sembarangan Memperlakukan Tubuhku

Penggusuran juga membuat para pekerja seks Bongsuwung akan menyebar di jalan-jalan pada malam hari. Jika bergabung dengan pekerja seks di lokasi lain pun, juga tak mudah.

“Jadi sebenarnya keberadaan Bong Suwung itu kan membantu pemerintah,” ucap Nia. 

Kini menghitung hari eksekusi penggusuran, Nia mengaku takut. Khawatir atas dampak yang terjadi nantinya terkait kesehatan teman-temannya. Bahkan anak-anak para pekerja seks pun dibayangi kecemasan putus sekolah. Belum lagi orang-orang lanjut usia yang tinggal di sana.

“Syok, syok banget aku. Bener, sakit banget. Di situ kan nggak cuma warga saja, tapi mbak-mbak PS juga. Mestinya dapat tali asih gitu ya, buat persiapan kerja,” mata Nia menerawang. Terngiang pernyataan perwakilan PT KAI Daop 6 yang menyatakan pekerja seks Bong Suwung bukan urusannya.

Koordinator Opsi DIY, Luna yang turut mendampingi pekerja seks Bong Suwung menyebut pihaknya terus menjalin komunikasi dengan jaringannya. Setidaknya bisa memastikan para pekerja seks Bong Suwung yang tergusur mendapatkan tempat tinggal, meski sementara. Begitu juga dengan warga yang lansia bisa tinggal shelter-shelter yang memungkinkan mereka untuk tinggal. 

“Kami upayakan advokasi pekerja seks tetap jalan. Harapannya ada relokasi, minimal ada pesangon,” tegas Luna yang juga tergabung sebagai kuasa hukum pekerja seks Bong Suwung.

Malam kian larut ketika Nia mengantar saya ke lokasi parkiran di luar Bong Suwung. Para pekerja seks masih meriung di balai. Nia pun mengungkapkan rencana mereka untuk bersama-sama menginap pada 1 Oktober 2024 malam di Bong Suwung. Lantaran 2 Oktober 2024, bangunan-bangunan di sana harus rata tanah. Nostalgia, begitu alasannya sambil tertawa kecut.

“Aku masih nggak percaya. Kayak baru kemarin. Nggak ada capeknya demo, walaupun sakit-sakitan. Aku malah kasihan mbak-mbaknya, siang demo, malam kerja,” Nia memungkasi sembari melambaikan tangan. 

(foto: Pito Agustin Rudiana)

Artikel ini merupakan bagian dari Series #PerempuHAM, serial tentang perjuangan menuntut hak asasi manusia bagi perempuan.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
#PerempuHAM: Kisah Bong Suwung Lawan Penggusuran, Pertaruhan Hak Perempuan Pekerja Seks

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us