Narasi revisi Undang-Undang Kementerian Negara jadi salah satu yang dibahas beberapa waktu terakhir. Wacana ini kemudian dikait-kaitkan dengan upaya Prabowo Subianto mengakomodir lebih banyak faksi politik ke dalam pemerintahannya yang nota bene membuat perlu makin banyaknya pos kementerian. Wacananya akan ada 40 pos kementerian dari hanya 34 yang diperbolehkan dalam Undang-Undang.
Beberapa anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyebut kaget Ketika menerima undangan untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Salah satunya adalah politikus Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera.
Mardani menyebutkan bahwa jika undangan pembahasan rencana revisi UU tersebut adalah semangat untuk menambah jumlah kursi Menteri, maka ia akan menyampaikan kritikannya terkait hal itu. Menurutnya, seharusnya semangat yang digaungkan dalam reformasi birkorasi saat ini adalah “miskin struktur tetapi kaya fungsi”.
Memang wajar berbagai kekhawatiran dan kritikan muncul terkait narasi penambahan jumlah kursi menteri ini. Bagaimanapun juga penambahan pos kementerian akan berakibat pada pembengkakan anggaran belanja pegawai. Kemudian, akan ada banyak perubahan yang cenderung membutuhkan waktu untuk bisa berproses terlebih dahulu sebelum penyesuaian-penyesuaian itu bisa efektif berdampak pada program-program yang dicanangkan.
Pertanyaannya adalah bagaimana sebaiknya Prabowo menyikapi hal ini?
Jebakan Kursi Menteri
Sebenarnya penambahan kursi menteri sah-sah saja untuk dilakukan. Apalagi, Prabowo Ketika dilantik sebagai Presiden nanti punya hak untuk mengupayakan sinergitas dan strategi pemerintahan yang dirasa paling baik untuk menjawabi kebutuhan Masyarakat.
Selain itu, penambahan kursi menteri tentu akan menciptakan koalisi yang lebih kuat. Koalisi yang lebih solid dan stabil. Dengan memberikan posisi kepada partai-partai koalisi, pemerintah dapat memastikan dukungan yang lebih konsisten dalam pengambilan keputusan dan pengesahan undang-undang.
Kemudian, lebih banyak kursi menteri memang membuat pemerintahan yang ada menjadi representatif dan mewakili cakupan masyarakat yang lebih luas. Dengan lebih banyak kursi menteri, berbagai kelompok politik dan kepentingan masyarakat dapat lebih terwakili. Hal ini dapat memperkuat legitimasi pemerintah di mata publik.
Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah lebih banyaknya kementerian membuat tanggung jawab bisa dibagi dengan lebih spesifik. Hal ini memungkinkan masing-masing kementerian untuk berfokus pada bidang tertentu, meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan tugasnya.
Meski terlihat banyak poin positifnya, penambahan kursi menteri juga bisa berdampak negative. Hal yang paling utama adalah soal beban anggaran. Penambahan jumlah menteri akan berimplikasi pada peningkatan anggaran negara. Gaji menteri, staf, operasional kementerian, dan kebutuhan tambahan akan pegawai serta fasilitas tambahan lain akan membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Ini tentu jadi efek samping yang cukup serius, apalagi dalam kondisi ekonomi yang mungkin belum stabil, beban anggaran ini bisa menjadi masalah serius. Efisiensi anggaran juga menjadi poin penting yang harus selalu dikedepankan birokrasi pemerintahan. Harapannya dana yang dibayarkan masyarakat dari pajak itu bisa benar-benar mampu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk program-program kesejahteraan, ketimbang melayani kepentingan politik terkait koalisi.
Poin berikutnya adalah soal makin berlapis-lapisnya birokrasi. Penambahan kursi menteri bisa memperpanjang rantai birokrasi, membuat proses pengambilan keputusan lebih lambat dan kompleks. Terlalu banyak kementerian bisa menimbulkan tumpang tindih tugas dan tanggung jawab, mengurangi efisiensi pemerintah secara keseluruhan.
Selain itu, ini akan membingungkan masyarakat yang harus selalu dihadapkan pada perubahan kebijakan terkait pelayanan publik. Ujung-ujungnya memang akan ada protes di sana-sini yang lagi-lagi bisa saja menjadi ancaman bagi kondusivitas perjalanan pemerintahan.
Hal lain adalah soal koordinasi antar kementerian yang tentu saja bisa menjadi lebih rumit. Hal ini dapat menghambat implementasi kebijakan yang membutuhkan kerjasama lintas sektor. Dengan kata lain, secara praktis dan teknis, penambahan kursi menteri cenderung lebih banyak dampak buruknya.
Apalagi, penambahan kursi menteri juga bisa dilihat sebagai bentuk patronase politik, di mana posisi menteri diberikan sebagai hadiah bagi partai politik yang mendukung pemerintahan. Hal ini bisa mengurangi profesionalisme dan meritokrasi dalam kabinet, jika menteri-menteri yang dipilih tidak kompeten atau tidak memiliki keahlian di bidangnya.
Dampak jangka panjang dari penambahan kursi menteri juga harus dipertimbangkan. Apakah perubahan ini akan membantu menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan responsif, atau justru sebaliknya? Kemudian, apakah partai-partai politik yang mendapatkan kursi menteri akan menggunakan posisi tersebut untuk meningkatkan pelayanan publik atau hanya untuk kepentingan politik semata? Bagaimana mekanisme pengawasan terhadap kinerja menteri-menteri baru tersebut? Apakah masyarakat akan mendapatkan manfaat nyata dari perubahan ini? Dan lain sebagainya.
Perlu Pertimbangan Matang
Dengan demikian, wacana dorongan untuk merevisi Undang-Undang Kementerian Negara agar dapat menambah kursi menteri menjadi 40 merupakan langkah yang kontroversial dan memerlukan pertimbangan yang matang.
Dari satu sisi, upaya ini bisa meningkatkan stabilitas politik dan representasi berbagai kelompok dalam pemerintahan. Namun, dari sisi lain, potensi beban anggaran, masalah efisiensi birokrasi, dan risiko politik patronase menjadi perhatian serius yang tidak boleh diabaikan.
Para ahli umumnya sepakat bahwa penambahan jumlah menteri harus disertai dengan jaminan bahwa mereka yang diangkat adalah individu-individu yang kompeten dan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Transparansi dalam proses pemilihan menteri, akuntabilitas dalam kinerja, dan pengawasan yang ketat menjadi elemen penting untuk memastikan bahwa penambahan kursi menteri benar-benar memberikan manfaat bagi pemerintahan dan masyarakat secara luas.
Dengan demikian, diskusi mengenai revisi UU Kementerian Negara ini sebaiknya dilakukan secara komprehensif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan mempertimbangkan semua aspek secara seimbang untuk mencapai keputusan yang terbaik bagi negara dan rakyat Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)