Ramai-ramai warganet memakai panggilan Mulyono untuk menyebut Jokowi. Sementara tuntutan pemakzulan kepada Jokowi muncul setahun terakhir termasuk desakan ‘Adili Jokowi! Masalahnya, haruskah dia diadili?
“Apalah arti sebuah nama?” Ini mungkin salah satu pertanyaan William Shakespeare yang paling terkenal, dari kisah “Romeo dan Juliet” – yang ditulis sekitar tahun 1594-1596 – untuk menyatakan bahwa nama tidaklah terlalu relevan.
Masyarakat tradisional Jawa akan sangat tidak setuju dengan hal itu. Contoh yang paling menonjol adalah penamaan presiden ketujuh Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo. Ia awalnya dipanggil “Mulyono” yang artinya “mulia”. Namun, ia sering sakit saat masih kecil yang membuat sesepuhnya menafsirkan nama tersebut terlalu “berat” baginya. Jadi, mereka mengubahnya menjadi “Joko Widodo” yang artinya “anak laki-laki aman dan sejahtera”.
Memang Jokowi menjadi sejahtera dengan namanya yang sekarang, dan sejauh ini aman-aman saja, bahkan bisa dikatakan tak tersentuh.
Ia menjadi presiden pertama yang daya tarik utamanya adalah bahwa ia tidak memiliki koneksi dengan pemerintahan sebelumnya, kelompok elite, atau oligarki. Dia tidak berasal dari militer, dia juga tidak berafiliasi dengan kelompok politik Islam mana pun, tidak ternoda oleh korupsi, dan tampaknya menikmati kehidupan keluarga yang harmonis.
Media Barat juga mengagung-agungkannya. Majalah TIME edisi 16 Oktober 2014 menampilkan wajah Jokowi berjudul “A New Hope” (Harapan Baru) dengan subjudul “Presiden Indonesia Joko Widodo adalah kekuatan demokrasi”.
Dia membuat berbagai janji muluk: Memberantas korupsi, merombak birokrasi, meningkatkan infrastruktur Indonesia yang kurang memadai, memfasilitasi investasi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan “revolusi mental” dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Baca juga: Memanggil Para Perempuan Geruduk Istana di IWD 2024: Adili Jokowi, Perusak Demokrasi!
Namun, satu-satunya janji yang ia tepati hanyalah pembangunan infrastruktur, jauh dari janji yang ia buat pada awal masa kepresidenannya. Faktanya, pembangunan infrastruktur diprioritaskan dengan mengorbankan demokratisasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup.
Sejak tahun lalu, ada seruan untuk melakukan pemakzulan kepada Jokowi – seruan tersebut meningkat pada Januari 2024. Memakzulkan presiden hanya sebulan sebelum pemilihan presiden? Tidak mengherankan jika spekulasi bermunculan, dan tentu saja berbagai teori konspirasi yang tak terelakkan.
Anehnya, DPR menerima usulan pemakzulan Jokowi, namun apakah hanya basa-basi untuk menenangkan dan meredakan para pengkritik? Bagaimanapun, Jokowi mengendalikan DPR. Dengan demikian, kita dapat melihat aspek-aspek rezim Orde Baru Soeharto (1967-1998), ketika eksekutif mendominasi cabang pemerintahan legislatif dan yudikatif. Tak heran jika Jokowi terkadang disebut “Soeharto kecil”.
Kelompok masyarakat sipil juga tidak tedeng aling-aling: “Adili Jokowi!”, mengutip 18 dosa besar yang diberitakan dalam edisi khusus majalah Tempo (28 Juli 2024), bertajuk “Satu Dasawarsa Memutar Balik Demokrasi”:
1. Membangun oligarki dan dinasti politik; 2. Melemahnya institusi demokrasi; 3. Kembalinya TNI ke ranah sipil; 4. Konflik Papua tak kunjung padam; 5. Runtuhnya sistem pendidikan; 6. Watak patron-klien kepolisian; 7. Politisasi kejaksaan; 8. Melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); 9.Kegagalan menangani pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat; 10. Karut-marut mengelola APBN; 11. Runtuhnya independensi Bank Indonesia; 12. Ketergantungan pada utang Cina; 13.Pemaksaan IKN; 14. Gimmick diplomasi luar negeri; 15.Kerusakan lingkungan; 16. Konflik agraria (tertinggi di enam negara Asia); 17. Kriminalisasi atas nama proyek strategis nasional dan 18.Kebebasan sipil yang menyempit.
Wow, daftarnya cukup panjang dan mungkin masih bisa ditambah lagi. Masih langgengnya patriarki, serta kurang diabaikannya hak dan keterwakilan perempuan, apalagi hak LGBTQ, menunjukkan betapa sedikitnya perubahan yang terjadi. Bagaimanapun juga, media dan kelompok pro-demokrasi didominasi oleh laki-laki patriarkis.
Baca juga: Putusan MK Jadi Peluang Gibran Maju Pilpres 2024, Jokowi Disebut Mirip Suharto?
Daftar tersebut juga tidak menyebutkan politisasi Islam. Pada masa jabatan keduanya, Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai wakil presidennya meskipun ulama yang lahir tahun 1943 ini memiliki catatan buruk dalam hal toleransi, moderasi, dan pluralisme. Sebagai mantan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang dibentuk Orde Baru pada tahun 1975 untuk menjinakkan dan mengendalikan 86,7 persen populasi mayoritas Muslim di Indonesia, kehadiran Ma’ruf sebagai orang nomor dua di pemerintahan kedua Jokowi mengecewakan para aktivis demokrasi, yang melihatnya sebagai hal yang tidak baik, cerminan meningkatnya akomodasi Presiden terhadap Islam konservatif.
Sekarang saya ingin mengomentari item-item selektif dalam daftar TEMPO.
Nomor satu, oligarki dan dinasti, masyarakat Indonesia sejak zaman kolonial bertumpu pada uang dan kekayaan yang dimiliki para elite, begitulah definisi oligarki. Sebelum upaya Jokowi membangun dinastinya sendiri, Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono juga melakukannya.
Yang kedua, kemunduran demokrasi. Pada tahun 2008, saya menulis kolom berjudul, “Is it Reformasi or simply New Order-Lite” (Apakah Reformasi atau sekedar Orde Baru versi baru?”) tentang bagaimana Era Reformasi pasca-1998 merupakan “dorongan mendemokratisasi Indonesia setelah menggantikan Soeharto” rezim Orde Baru yang otoriter dengan sistem yang berdasarkan pada hak dan kesetaraan, bukan pada hak istimewa dan impunitas” (The Jakarta Post, 7 Mei 2008), namun gagal.
Pada tahun 2021, Airlangga Pribadi Kusman dan Milda Istiqomah menulis artikel berjudul “Despotisme Baru Indonesia” (New Melbourne Review, 11 Januari 2021). Mereka menegaskan bahwa “Despotisme Baru ditandai dengan kekayaan dan perluasan kekuasaan eksekutif dengan mengendalikan peradilan dan pelemahan supremasi hukum, meskipun pemilihan umum terus dilakukan dan perlindungan konstitusional terkait dengan pemisahan kekuasaan politik dan peradilan serta hukum tetap dipertahankan. Singkatnya, ini adalah cara untuk mempertahankan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan oligarki sambil mempertahankan dukungan publik”.
Baca juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti
Nomor tiga, militer tidak pernah benar-benar pergi, dan Jokowi bertekad untuk mempertahankan militer dengan memberikan posisi penting dalam pemerintahannya kepada mantan tokoh terkemuka Orde Baru. Jokowi lebih dipandu oleh realpolitik daripada reformasi, dengan 21 dari 34 menteri kabinetnya memiliki hubungan dengan pendukung politiknya.
Mengenai poin tujuh, hal ini bukan sekedar politisasi sistem peradilan tetapi juga kenyataan bahwa undang-undang bersifat “tumpul ke atas, tajam ke bawah” – selalu melayani elite penguasa dan mengkriminalisasi masyarakat miskin, bahkan untuk pelanggaran ringan sekalipun. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menulis artikel berjudul “Otoritarianisme Berbungkus Hukum” di Kompas pada 5 Januari 2023.
Komentar saya terhadap beberapa poin dalam daftar Tempo menunjukkan bahwa rekam jejak Jokowi memang tidak mengherankan. Ia konsisten dengan tren historis, beberapa di antaranya sudah ada sejak masa kolonial.
Haruskah dia diadili? Hah! Selamat saja! Soehartopun tidak pernah diadili, meskipun bertubi-tubi tuntutan agar hal itu dilakukan. Dia lolos dengan alasan klasik: “kesehatan buruk”.
Para pengkritik Jokowi sering memanggilnya “Mulyono”. Mengapa? Ada akun X menyebutkan bahwa seseorang yang lahir pada tanggal penanggalan Jawa tertentu (Rabu Pon) akan mengalami pelemahan jika nama aslinya menjadi terkenal atau sering disebut-sebut masyarakat. Oleh karena itu, warganet pun banyak yang mengirimkan pesan ke akun X dan Instagram milik Jokowi dengan menyebutnya “Mulyono”.
Astaga, apakah hanya dengan cara ini kita bisa meminta pertanggungjawaban Jokowi atas segala dosanya? Lebih baik menunggu sampai dia meninggal dan membuat dia bertanggung jawab kepada Tuhan saja kalau begitu. Pada saat itu, demokrasi Indonesia sudah lama mati. Masalahnya, tidak akan pernah masuk surga, hanya neraka.
Foto: IG Joko Widodo