Kebut sahkan UU di ujung jabatan: PR besar Prabowo agar pola buruk legislasi tidak terulang

kebut-sahkan-uu-di-ujung-jabatan:-pr-besar-prabowo-agar-pola-buruk-legislasi-tidak-terulang

Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.

Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo-Gibran menjalankan tugasnya.


Jelang berakhirnya masa jabatan parlemen periode 2019-2024, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah tampak mengebut pembahasan dan revisi sejumlah rancangan undang-undang (RUU), terlepas tanpa mengindahkan apakah RUU tersebut sesuai dengan kebutuhan rakyat atau tidak.

Pada bulan Juli, DPR mempercepat pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas UU No. 19/2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (RUU Wantimpres). Revisi UU Wantimpres tersebut hanya berlangsung dalam waktu satu hari sebelum dibawa ke rapat paripurna oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Selanjutnya, pada tanggal 21 Agustus lalu–sekitar sebulan sebelumnya–DPR juga berusaha mengebut revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dalam waktu semalam. Revisi tersebut diyakini oleh sejumlah akademisi dan kalangan masyarakat secara luas sebagai upaya untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberi ruang bagi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko “Jokowi” Widodo, untuk maju dalam Pemilihan Gubernur 2024. Esoknya, DPR batal mengesahkan revisi UU Pilkada akibat pecahnya gelombang demonstrasi massa besar-besaran di sejumlah kota besar seluruh Indonesia.

Kemudian pada 19 September, kurang dari dua minggu sebelum mengakhiri masa jabatannya, DPR mengesahkan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara guna mengatur jumlah kementerian agar sesuai dengan kebutuhan Presiden berikutnya, Prabowo Subianto.

Padahal, daftar RUU biasanya sudah disiapkan dari setiap awal tahun, bahkan sejak awal periode DPR, namun banyak RUU yang pembahasannya cenderung dikebut sehingga minim pelibatan publik. Tindakan ini bukan hanya mencurigakan, tetapi juga menunjukkan adanya pola legislatif yang buruk dengan mengabaikan kepentingan masyarakat.

Legislasi di penghujung masa jabatan

Praktik legislasi yang kurang transparan dan tergesa-gesa di akhir masa jabatan pemerintahan Jokowi bukanlah hal baru, namun bahkan telah menjadi ciri khas. Polanya selalu sama: presiden dan DPR sering kali mengabaikan kritik, lalu muncul penolakan dari publik selama proses legislasi.

Dalam banyak kasus, kritik dari masyarakat dan berbagai kelompok kepentingan tidak dihiraukan, tetapi revisi undang-undang tetap dijalankan dengan cepat.

Pada tahun 2019, misalnya, DPR mengesahkan 10 RUU dalam waktu hanya 15 hari menjelang akhir masa jabatannya menjelang akhir masa jabatannya. RUU yang disahkan meliputi berbagai bidang, yaitu: UU tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Sumber Daya Air, UU Budi Daya Pertanian, UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara, UU Pesantren, UU Perkoperasian, UU Ekonomi Kreatif, dan UU Perkawinan.

Saat itu, meski kritik datang bertubi-tubi saat proses legislasi, bahkan disertai salah satu demonstrasi yang diikuti oleh jumlah massa terbesar sepanjang sejarah , DPR dan Presiden tetap melanjutkan proses legislasi tanpa memperhatikan masukan dan penolakan dari berbagai pihak.

Padahal, pentingnya partisipasi masyarakat ini menjadi salah satu pertimbangan hukum yang krusial dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inskonstitusional bersyarat.

MK menyatakan bahwa pembentukan UU harus melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningfull participation), yang setidaknya tergambar dari tiga hal.

Pertama, terpenuhinya hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Sayangnya, bila merujuk pada praktik legislasi pada masa lalu, hal itu tidak akan terjadi. Sebesar apapun kritik dan penolakan terhadap revisi yang dilakukan, prosesnya akan tetap berlanjut.

Ketika partisipasi masyarakat diabaikan, patut diduga bahwa dalam perumusan peraturan yang dibentuk, pembentuk peraturan perundang-undangan memiliki niat lain di luar kepentingan umum. Hal ini berbahaya, karena peraturan yang akan berlaku dan mengikat secara umum, justru digunakan untuk kepentingan penguasa atau sekelompok orang yang menjadi penyokong kekuasaan.

Tentunya proses yang demikian akan melahirkan produk undang-undang yang minim legitimasi dan justru meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara.

Dampak buruk kebut revisi UU terhadap demokrasi

Praktik legislasi yang dilakukan di akhir masa jabatan merupakan ancaman serius terhadap demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Proses yang tidak transparan dan tidak partisipatif merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan lembaga demokrasi.

Jika pola ini terus berlanjut di rezim Prabowo, maka sistem hukum Indonesia akan melemah dan demokrasi akan terancam.

Prabowo memiliki PR besar dalam hal legislasi, yakni mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam proses legislasi, terutama terkait undang-undang strategis yang berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa itu, kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah akan terus tergerus dan menciptakan preseden buruk bagi masa depan politik dan hukum di Indonesia.

Untuk menghindari kerusakan lebih lanjut pada institusi demokrasi kita, sangat penting bagi DPR dan Presiden untuk menghentikan revisi undang-undang yang kontroversial dan tidak mendesak.

Proses legislasi harus dilakukan dengan transparan, partisipatif, dan berdasarkan kebutuhan nyata, bukan kepentingan politik sesaat. Hanya dengan demikian, kita dapat menjaga integritas sistem hukum dan demokrasi, serta membangun kepercayaan publik yang kuat terhadap institusi negara.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Kebut sahkan UU di ujung jabatan: PR besar Prabowo agar pola buruk legislasi tidak terulang

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us