Mubadalah.id – Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang menjadi fondasi masyarakat. Namun, di era modern, dinamika keluarga Indonesia mengalami perubahan yang signifikan, terutama terkait dengan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Perubahan-perubahan ini mempengaruhi pola interaksi, nilai-nilai, serta cara pandang antaranggota keluarga, yang kerap memicu perselisihan.
Perselisihan di Keluarga
Perselisihan di keluarga bisa diakibatkan oleh beberapa faktor: Pertama, perbedaan generasi dan nilai. Salah satu penyebab utama perselisihan dalam keluarga Indonesia di era modern adalah adanya perbedaan nilai dan pandangan antar generasi. Generasi tua, yang cenderung memegang teguh nilai-nilai tradisional, sering kali berbenturan dengan generasi muda yang lebih terbuka terhadap perubahan dan pengaruh global.
Kedua, tekanan ekonomi dan kesejahteraan. Biaya hidup yang semakin tinggi, tekanan untuk mencapai stabilitas keuangan, dan tuntutan karier dapat menyebabkan stres dalam rumah tangga. Dalam banyak kasus, tekanan ekonomi ini menyebabkan perdebatan tentang tanggung jawab finansial, pembagian pekerjaan rumah tangga, hingga keputusan besar terkait investasi atau pengeluaran keluarga.
Ketiga, pengaruh teknologi dan media sosial. Teknologi dan media sosial memberikan pengaruh besar terhadap dinamika keluarga modern. Penggunaan gadget yang berlebihan dan ketergantungan pada media sosial sering kali mengurangi interaksi langsung antar anggota keluarga, yang menyebabkan jarak emosional.
Media sosial juga menjadi arena di mana banyak anggota keluarga, terutama generasi muda, mendapatkan pandangan hidup yang berbeda. Di mana terkadang bertentangan dengan pandangan yang dipegang oleh orang tua atau anggota keluarga lainnya. Selain itu, masalah seperti kecanduan internet, cyberbullying, dan paparan terhadap konten negatif dapat memperburuk konflik keluarga.
Sosok Buya Hamka
Buya Hamka mempunyai nama asli Haji Abdul Malik Karim Amarullah lahir di Sumatera barat pada hari Ahad 17 Februari 1908 M. Ia terlahir dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya Bernama Haji Abdul Karim Amarullah merupakan sosok ulama yang pernah menimba ilmu di Makkah.
Pendidikan Buya Hamka tidaklah tinggi. Terhitung sejak usia 8 hingga 15 tahun ia bersekolah di sekolah Thawalib Parabek Padang. Di sana, ia belajar tentang fiqih, nahwu, sharaf, manthiq, bayan dll. Pendidikan pada saat itu masih berbentuk sistem klasikal tanpa adanya bangku, meja dan papan tulis.
Ia terkenal bukan hanya sebagai sosok ulama, namun juga sebagai sastrawan dan juga wartawan. Kepiawaian Hamka di bidang tersebut bukan hanya sekedar isapan jempol saja. Namun memang dibarengi dengan karya dan pengalaman yang ia miliki.
Sebagai sosok muslim yang terpelajar, ia berupaya menjadi tokoh pembaharu dalam berbagai aspek kehidupan umat muslim, semisal melakukan pembaharuan pendidikan Islam yang ia terapkan melalui Masjid Al-Azhar di mana bangunan tersebut bukan hanya menjadi institusi keagamaan, namun juga sebagai lembaga sosial.
Buya Hamka Berbicara Tentang Syiqāq (Perselisihan)
Buya Hamka memiliki beberapa gagasan penting tentang hak perempuan, antara kain terkait perselisihan syiqāq. Mengenai masalah tersebut, Hamka mengutip ayat berikut:
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا ٣٥ ( النساۤء/4: 35)
Terjemah:
Jika kamu (para wali) khawatir terjadi persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud melakukan islah (perdamaian), niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti. (QS. An-Nisā’ [4]: 35).
Hamka berpendapat bahwa ketika terjadi perselisihan antara suami dengan istri yang tidak dapat terselesaikan lagi oleh kedua bela pihak maka diperbolehkan untuk bercerai. Namun pihak keluarga perlu untuk mempedulikan permasalahan dari keduanya.
Mengenai kasus tersebut, Hamka mengaitkannya dengan (QS. An-Nisa’ [4]: 35). Pada ayat tersebut terdapat redaksi fab’aṣū (kirimkanlah). Makna dari redaksi ini sebenarnya perintah untuk anggota keluarga, masyarakat yang punya wewenang atau hakim untuk menyelidiki apa kemauan dari dua bela pihak.
Dengan demikian, jika kita menemukan adanya keluarga yang berselisih maka harusnya ada penengah yang hadir, bisa dari keluarga, kerabat maupun orang yang mengerti agama dan hukum. Kehadiran mereka bisa menjadi mediator atas perselisihan dari kedua bela pihak.
Unsur kesetaraan juga disuarakan oleh Hamka melalui redaksi fatasrīhun bi iḥsān (berpisah dengan baik). Redaksi tersebut bagi Hamka bermakna adanya keadilan dan kesetaraan dalam bersikap yang harus diberikan oleh hakim baik kepada istri maupun suami (dua-duanya harus di posisikan secara setara dan seimbang). Wallahu A’lam. []