Angga Arifka Follow Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com
2 min read
Maurice Merleau-Ponty, seorang filsuf fenomenologi terkemuka dari Prancis, dikenal luas karena pandangannya yang khas dan mendalam tentang hubungan antara pikiran dan tubuh.
Pemikirannya tentang persoalan ini merupakan respons terhadap dualisme Cartesian, yang memisahkan pikiran dan tubuh menjadi dua entitas yang sepenuhnya berbeda, sekaligus kritik atas reduksionisme ilmiah, yang mereduksi pengalaman manusia hanyalah proses fisik atau biologis.
Merleau-Ponty menantang pandangan konvensional ini dan sebaliknya menawarkan pemikiran ulang yang radikal tentang hubungan pikiran-tubuh dengan menekankan konsep “penubuhan” (embodiment), gagasan bahwa kesadaran pada dasarnya menubuh, dan bahwa tubuh bukan sekadar wadah bagi pikiran, tetapi bagian integral dari persepsi dan pengalaman.
Penolakan Dualisme Cartesian
Inti dari filsafat Merleau-Ponty adalah kritik terhadap dualisme Cartesian yang dicanangkan oleh Rene Descartes. Descartes terkenal dengan mengemukakan distingsi yang ketat antara res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi material). Pikiran, dalam pandangan Descartes, tidak berwujud dan sepenuhnya terpisah dari tubuh yang berwujud.
Pembagian ini menghasilkan kontras yang tajam antara aktivitas mental (pikiran, keinginan, dan penalaran) dan proses tubuh (gerakan mekanis dan sensasi). Dengan demikian, tubuh diturunkan menjadi seperti peran “mesin pasif” yang beroperasi secara terpisah dari diri, yang menurut Descartes terletak di dalam pikiran.
Merleau-Ponty dengan lantang menolak pemisahan ini, dengan menyatakan bahwa pemisahan pikiran dan tubuh menurut Descartes mengabaikan peran mendasar tubuh dalam membentuk pengalaman manusia. Model Cartesian gagal memperhitungkan pengalaman dunia yang dijalani, langsung, dan pra-reflektif, di mana tubuh bukan sekadar objek di antara objek-objek lain, tetapi merupakan sarana yang kita gunakan untuk terlibat dengan dunia.
Ia mengkritik dualisme ini karena mendistorsi pemahaman kita tentang persepsi, yang mengarah pada reduksionisme dan kekeliruan bahwa persepsi hanyalah terjadi di dalam pikiran, di dalam tindak berpikir, terpisah dari partisipasi aktif tubuh di dunia.
Tubuh sebagai Subjek dan Objek
Salah satu kontribusi utama Merleau-Ponty terhadap perdebatan dualisme pikiran-tubuh adalah fokusnya pada persepsi sebagai cara utama kita berhubungan dengan dunia. Merleau-Ponty menandaskan bahwa persepsi bukanlah penerimaan pasif data sensorik, melainkan proses aktif yang ditubuhkan.
Dalam hal ini, tubuh bukan sekadar instrumen pikiran, juga bukan mesin yang diatur semata-mata oleh hukum biologis atau fisik. Tubuh adalah media yang dengan dan melaluinya kita memersepsi dan memahami dunia. Merleau-Ponty menyebutnya sebagai “berada di dunia” (being-in-the-world)—suatu keadaan di mana pikiran dan tubuh saling terkait erat dalam interaksi kita dengan lingkungan.
Bagi Merleau-Ponty, persepsi selalu menubuh. Artinya, indra kita—penglihatan, sentuhan, gerakan—tidak terpisah dari pengalaman sadar kita. Tubuh, sebagaimana ia gambarkan, “dihidupi”, yang berarti ia dialami dari dalam sebagai bagian integral dari subjektivitas seseorang.
Tubuh bukanlah objek kesadaran, melainkan wahana untuknya. Misalnya, ketika kita mengulurkan tangan untuk menyentuh sebuah objek, kita tidak terlebih dahulu mempertimbangkannya dalam pikiran dan kemudian memerintahkan tubuh untuk bertindak demikian. Justru sebaliknya, tubuh bergerak sebagai bagian dari keseluruhan yang terintegrasi. Dengan kata lain, perbedaan antara subjek dan objek menjadi kabur, karena tubuh selalu terlibat dalam tindakan mengamati, dan persepsi adalah pengalaman yang aktif dan berwujud.
Aspek khas dari filsafat Merleau-Ponty adalah konsepnya tentang tubuh sebagai subjek dan objek. Tubuh bukan hanya media yang melaluinya kita terlibat dengan dunia, tetapi juga sesuatu yang dapat kita renungkan sebagai objek.
Dualitas ini menjadi pusat pemikirannya. Kita tidak pernah sepenuhnya menjadi di antara salah satunya. Tubuh adalah subjek yang merasakan dan bertindak, dan pada saat yang sama, tubuh adalah objek di dunia yang dapat diamati dan dipahami.
Dalam keadaan sehat dan berfungsi normal, kita biasanya tidak menyadari tubuh kita sebagai objek. Tindakan kita bersifat cair, dan gerakan kita transparan bagi kita. Namun, pada saat sakit, cedera, atau cacat, tubuh menjadi hadir dengan menyakitkan, memperlihatkan dirinya sebagai objek yang mencolok bagi kita.
Sifat ganda tubuh ini menggarisbawahi pandangan Merleau-Ponty bahwa pikiran dan tubuh tidaklah terpisah, tetapi merupakan bagian dari pengalaman kita. Keduanya ada dalam hubungan saling ketergantungan dan tidak dapat sepenuhnya dipahami secara terpisah satu sama lain.
Merleau-Ponty memperkenalkan gagasan “kiasma” (chiasm) untuk menggambarkan keterkaitan subjek dan objek ini. Istilah ini merujuk pada persilangan atau jalinan, seperti struktur kiasma optik di otak tempat informasi visual melintas dari satu sisi tubuh ke sisi lainnya.
Struktur kiasma ini mencerminkan cara tubuh memersepsi dan dipersepsi, merasakan dan dirasakan. Dalam memahami dunia, kita juga memahami diri kita sendiri sebagai bagian dari dunia itu, dan hubungan timbal balik ini dimungkinkan oleh tubuh.
Filsafat penubuhan Merleau-Ponty juga membawa implikasi etika dan politik yang penting. Dengan menekankan peran integral tubuh dalam persepsi dan pengalaman, Merleau-Ponty menantang kecenderungan filsafat modern untuk memprioritaskan penalaran abstrak dan aktivitas mental daripada pengalaman konkret yang nyata. Penolakannya terhadap dualisme, dan gagasannya pada keutamaan tubuh dalam membentuk pengalaman, membuka cara berpikir baru tentang identitas, agensi, dan dimensi politik tubuh.
Melalui konsep penubuhan, ia menawarkan pandangan tentang keberadaan manusia yang pada dasarnya dilandaskan pada tubuh yang hidup, di mana persepsi, tindakan, dan pengalaman dibentuk bersama oleh pikiran dan tubuh yang bertindak sebagai satu kesatuan yang utuh.