#PerempuHAM: Dikriminalisasi Hingga Dilecehkan, Perempuan Pembela HAM Hadapi Ancaman Berlapis di Indonesia

#perempuham:-dikriminalisasi-hingga-dilecehkan,-perempuan-pembela-ham-hadapi-ancaman-berlapis-di-indonesia

Menjadi korban dari tamaknya pengusaha ekstraktif, Christina Rumalatu tidak henti menyuarakan penyebab keresahan masyarakat di Maluku. Tahun 2022 lalu menandai salah satu pengalaman getir warga wilayah Halmahera. Perusahaan tambang minyak berusaha masuk di dekat pemukiman warga. Kehadirannya pun mengancam lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar.

Selayaknya hak warga negara untuk mengemukakan pendapat, Christina dan kawan-kawan seperjuangan menuntut agar perusahaan-perusahaan ekstraktif angkat kaki dari daerah mereka. Namun, bukannya didengarkan, Christina malah dikriminalisasi oleh aparat dan mengalami perlakuan yang tidak sepatutnya.

“Nikel harus diberhentikan, kami harus dilindungi,” ujar Christina, Jumat (27/9/2024).

Christina merupakan mahasiswi Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Hukum Indonesia. Ia juga merupakan aktivis perempuan yang vokal menuntut pembebasan lingkungan wilayah masyarakat adat di Halmahera dari perusahaan-perusahaan nikel. Kegigihannya inilah yang mungkin ditakuti segelintir pihak; alhasil, ia mengalami sejumlah pembungkaman.

Pada 26 Agustus lalu misalnya, Christina bersama rekannya Thomas Madilis dituduh melakukan pencemaran nama baik atas Jendral Purnawirawan Suadi Marasabessy dan Bravo 5. Mereka dilaporkan ke Mabes Polri karena menyuarakan kerusakan alam yang dilakukan oleh PT Indonesia Weda-Bay Industrial Park (IWIP). Padahal, kerusakan lingkungan tersebut membawa dampak yang besar bagi masyarakat setempat hingga menyebabkan banjir bandang di wilayah Halmahera, Maluku Utara.

“Kami sebagai perempuan yang hidup di pulau. Bagaimana kami berjuang di Indonesia timur untuk melawan diskriminasi dan kejahatan lingkungan yang terbungkus dengan motif ‘Proyek Strategis Nasional’ yang sampai saat ini telah meluluhlantakkan masyarakat kami di Indonesia timur. Khususnya di Maluku,” serunya.

Christina menyadari, megaproyek pembangunan nasional yang dijanjikan tidak membawa kesejahteraan sama sekali untuk masyarakat. Alih-alih, proyek yang masuk kerap membawa petaka bagi lingkungan dan masyarakat lokal karena eksploitasi alam. Untuk itu, baginya, perjuangan harus terus dilakukan demi keberlangsungan lingkungan serta ekosistem yang ada di dalamnya.

Sudah Dikriminalisasi, Didiskriminasi Pula

Berdasarkan hasil riset Kaukus Perempuan Pembela HAM dan Kemitraan berjudul “Catatan Kelabu Perlindungan Terhadap Pembela HAM 2014–2023”, banyaknya serangan yang ditujukan kepada pembela HAM dipicu oleh kosongnya hukum yang spesifik mengatur perlindungan terhadap pembela HAM. Selain itu, penegakan hukum selama ini juga kerap diabaikan. Sebaliknya, para aparat penegak hukum (APH) seharusnya melindungi setiap masyarakat sipil. Namun mereka malah menjadi aktor utama dalam meningkatnya kasus serangan terhadap pembela HAM yang notabene merupakan bagian dari masyarakat sipil.

Bagi Christina, ia tidak hanya menghadapi kriminalisasi sepanjang perjuangannya untuk lingkungan serta masyarakat adat. Sebagai aktivis perempuan, Christina pernah mengalami kekerasan seksual hingga didiskriminasi karena identitas gendernya. 

“Saya dan kawan-kawan meminta tolong dengan salah satu anggota dewan untuk mempertemukan kami dengan gubernur. Untuk bilang hentikan dan lindungi masyarakat setempat,” tutur Christina. “Tapi, dia malah bilang bisa mempertemukan kami dengan gubernur dan menyelesaikan tuntutan kami. Asal harus menukar harga diri saya dengan tidur bersama dia dan lain-lain.”

Komentar bertendensi maskulin juga turut dilontarkan kepada Christina, yang diremehkan hanya karena ia perempuan. Hal ini membuktikan bahwa aktivis perempuan menghadapi tantangan berlapis. Dikriminalisasi dan diskriminasi atas dasar perbedaan gender juga dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap pembela HAM. 

“Mereka bilang ke saya ‘siapa suruh berjuang? Kan, kamu perempuan’.”

Stigma negatif yang dilekatkan pada aktivis perempuan biasanya tidak jauh-jauh dari pemahaman patriarkis. Asumsinya, perempuan hanya pantas dan mampu untuk mengatasi urusan domestik. Christina sendiri berbagi pengalamannya. Selama memperjuangkan hak masyarakat adat serta lingkungan, ia juga sering mendapat komentar yang merendahkan kemampuannya dalam mengadvokasi kebutuhan masyarakat setempat.

Apapun Soal Lingkungan, Rakyat Kena

Kriminalisasi terhadap masyarakat terjadi beruntun sepanjang 2024. Alasannya sama, karena keberpihakan negara terlalu timpang pada oligarki. Padahal, rakyat hanya berupaya mempertahankan lingkungan tempat tinggal mereka. 

Misalnya di Sulawesi Tenggara, tepatnya Desa Torobulu, dua warga dituntut karena melakukan protes terhadap perusahaan nikel yang beroperasi di wilayah tersebut. Keduanya dianggap menghalangi kegiatan PT Wijaya Inti Nusantara (WIN). Mereka didakwa atas tuduhan pelanggaran Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Padahal, pasal ini problematik. Disebutkan bahwa setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan yang telah memenuhi syarat dapat dipidana dan didenda hingga ratusan juta rupiah. Ini yang kemudian banyak dijadikan dalih untuk mengkriminalisasi banyak aktivis lingkungan. Tidak adil jika menengok realita bahwa operasi tambang selama ini merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. 

Hasilin dan Andi Firmansyah merasakan betul kerusakan lingkungan di pemukiman mereka akibat aktivitas pertambangan. Air yang tercemar membuat kulit mereka gatal-gatal dan mengganggu aktivitas perekonomian sehari-hari. Protes yang mereka lakukan begitu mendasar, ada alasan yang jelas. 

Namun, ujungnya, Hasilin dan Andi malah harus menjalani persidangan sebagai terdakwa, dikriminalisasi karena memperjuangkan hak-hak mereka. Meskipun berdasarkan kabar terkini Hasilin dan Andi berhasil terbebas dari tuntutan tersebut. Kasus ini menambah jumlah kriminalisasi aktivis lingkungan yang kesekian kalinya di Indonesia.

Baca juga: ‘Serangan Digital Sampai Kiriman Santet’ Kisah Para Perempuan Pembela HAM

Belum lagi, kasus yang dialami oleh Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut. Ia harus menelan mentah-mentah kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada dirinya. 

“Mereka menuding saya sebagai anak buah dari Pater Simon (pendamping warga Poco Leok, Flores) dan provokator,” kata Herry dalam kronologi yang dibuatnya.

“Mereka juga menuding jika Floresa selalu membuat berita miring tentang proyek geotermal,” paparnya melanjutkan.

Kala itu, tanggal 2 Oktober 2024 di Poco Leok, Herry hanya menggunakan ponselnya untuk memotret unjuk rasa yang dilakukan masyarakat adat setempat. Mereka menentang proyek geotermal.

Statusnya sebagai jurnalis seharusnya dilindungi dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan. Namun, Herry justru berakhir dengan pelipis kiri yang bengkak serta lebam. Lututnya juga terasa sakit, sedangkan rahang kanan dan sekitar hidungnya luka-luka akibat dicekik aparat. Menurut klaim aparat, Herry diduga melakukan upaya provokasi kepada masyarakat setempat. Mereka pun menyita ponsel Herry, juga mencekik dan memukulnya. Barangkali dalam pemikiran dangkal mereka, menganiaya jurnalis merupakan hal yang ‘diperbolehkan’.

Hal yang didokumentasikan oleh Herry merupakan penolakan masyarakat setempat terhadap perluasan proyek geotermal. Pemerintah bersama PT PLN memaksakan perluasan operasi penambangan panas bumi PLTP Ulumbu hingga ke wilayah Poco Leok. Bukan menjalankan tugas utamanya, keterlibatan Polisi, TNI, serta Satpol PP justru balik merepresi masyarakat setempat yang dianggap ancaman bagi proyek tersebut.

Dalam bentrokan fisik, sejumlah masyarakat setempat termasuk perempuan mengalami kekerasan. Mereka ditendang dan didorong hingga jatuh, bahkan ada yang mengalami kekerasan seksual fisik. Semua dilakukan oleh aparat penegak hukum, yang lebih cocok disebut aparat pelindung penguasa.

Darurat Keselamatan Jurnalis dan Aktivis

Kita sudah menyaksikan mulai dari diskriminasi, kekerasan, bahkan pembunuhan terhadap sejumlah jurnalis dan aktivis yang dilakukan oleh negara sendiri. Dari mereka yang mengupayakan keadilan hukum, memperjuangkan lingkungan, hingga mengungkap fakta yang tidak disediakan oleh pemerintah. Kepentingan yang mereka perjuangkan juga bukan untuk segelintir orang, tapi kolektif, untuk semuanya.

Di pemerintahan yang akan datang, persoalan sama masih memungkinkan untuk terulang—bisa jadi meningkat. Terlebih dalam beberapa waktu, presiden terpilih sudah beberapa kali memberi sinyal bahwa media serta jurnalis-jurnalis yang ada di dalamnya merupakan ancaman bagi pemerintahan yang ada. Sikap antimedia, anti-kritik, dan pesimisme terhadap demokrasi seharusnya sudah cukup membuat media, jurnalis, aktivis, masyarakat, serta oposisi pemerintah manapun memperkuat kewaspadaannya kembali.

Menyebut pers perusak demokrasi. Tahun 2019, ketika Prabowo menjadi salah satu kandidat presiden, ia mengatakan media merupakan perusak demokrasi. Padahal, pers merupakan salah satu pilar demokrasi yang tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga menjadi jembatan bagi masyarakat yang terpinggirkan dengan pemerintah. Maka dari itu, tuduhan terhadap media ini terlalu sembrono dilontarkan.

Baca juga: Tahukah Kamu: 29 November Adalah Hari Perempuan Pembela HAM Sedunia

Sebut pemimpin media (Jakarta Post) brengsek. 5 tahun sebelumnya, Prabowo juga pernah menolak untuk menjawab pertanyaan dari salah satu media. Saat itu, ia menyebut bahwa Jakarta Post merupakan media partisan yang berat sebelah terhadap kubu lain. Lantas ia menolak menjawab pertanyaan tersebut. “Ini bukan salah kamu. Ini salah pemimpin Jakarta Post yang brengsek,” katanya. 

Bukan yang pertama kali, hal yang serupa juga pernah Prabowo lakukan kepada jurnalis dari Tempo, Kompas, dan MetroTV, sebagai upaya yang ia lakukan untuk menghindari pertanyaan yang merugikan kepentingan dirinya sendiri. 

Sejak reformasi 1998 dimulai, meski kebebasan pers dijamin oleh undang-undang, praktiknya tidak serta-merta mewujudkan semangat yang sama. Bukan dijadikan kritik membangun ataupun mengoreksi diri, pemerintah kerap kali merasa terancam akan masyarakat yang menggunakan hak-hak bersuaranya. Bahkan tidak segan untuk melakukan pembungkaman melalui berbagai cara.

Pun, dari kilas balik hingga pernyataan presiden terpilih soal kebebasan pers dan demokrasi seharusnya sudah cukup untuk kita menyalakan tanda darurat kembali soal kebebasan berpendapat serta perlindungan hak asasi.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
#PerempuHAM: Dikriminalisasi Hingga Dilecehkan, Perempuan Pembela HAM Hadapi Ancaman Berlapis di Indonesia

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us