Di media sosial, gerakan pro-Palestina secara statistik lebih masif dibanding pro-Israel. Padahal, Israel sering disebut sebagai ahli memainkan narasi di dunia maya. Mengapa ini bisa terjadi?
Bencana kemanusiaan sudah berlangsung hampir delapan bulan lamanya di Tanah Palestina. Kini, jumlah korban meninggal di Palestina kabarnya bahkan sudah melebihi 35.000 orang, dengan kematian lebih dari 15.000 anak-anak di bawah umur. Angka-angka ini membuat pembantaian yang terjadi di Palestina sebagai salah satu tragedi modern paling dahsyat.
Tentunya, dengan perkembangan teknologi, perhatian dunia terhadap kekerasan militer yang terjadi di sana kini jauh lebih terbuka dibandingkan ketika konflik-konflik di masa lampau. Melalui platform-platform media sosial, kini semua orang di dunia bisa menyaksikan langsung kekerasan yang terjadi di sana, dan secara real-time bisa mempromosikan dukungan kepada warganet lainnya di dunia maya.
Karena gerakan di ‘udara’ ini pula dukungan masyarakat dunia terhadap Palestina kini semakin masif, kita bisa perhatikan campaign “All Eyes on Rafah” yang dishare jutaan orang dan kini jadi gambar hasil artificial intelligence (AI) yang paling banyak disebarkan di media sosial.
Menariknya, masifnya dukungan terhadap Palestina pun memunculkan kritik terhadap pencitraan Israel. Padahal, negara tersebut sering dianggap sebagai salah satu negara dengan kekuatan memanipulasi narasi terkuat, karena mampu ‘melobby’ kantor-kantor media.
Lantas, mengapa Israel bisa ‘kalah’ dalam pertarungan opini publik di media sosial?
Sebuah Kekalahan Teknis?
Keunggulan konten pro-Palestina dibanding konten pro-Israel di media sosial bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
Laura Edelson, asisten profesor di Northeastern’s Khoury College of Computer Sciences, melakukan sebuah riset yang mengungkap bahwa jumlah postingan pro-Palestina di TikTok dari Oktober 2023 hingga Januari 2024 mencapai angka 170.430 post, sementara yang pro-Israel hanya 8.843 post. Sementara itu, postingan pro-Palestina ditonton sebanyak 236 juta kali, sementara postingan pro-Israel hanya 14 juta kali.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Well, Shlomo Maital dalam tulisannya The TikTok War: The battle over the Chinese app, and why Israel is losing, berasumsi ada sejumlah faktor.
Pertama, adalah karena Israel tidak memiliki pengaruh lobby yang kuat di TikTok.
Sebagai informasi, konten pro-Palestina setelah 7 Oktober 2023 awalnya menguat di TikTok, hal ini karena konten serupa umumnya terkena saringan yang cukup ketat di media sosial lain seperti Instagram. Namun, karena TikTok pada dasarnya adalah perusahaan Tiongkok, dan belum banyak ‘disusupi’ kepentingan Israel, konten pro-Palestina akhirnya bisa bertumbuh masif di sana.
Hal ini kemudian teramplifikasi dengan adanya efek Information Cascade, atau Kaskade Informasi, yakni sebuah kondisi di mana seorang individu membuat keputusan untuk mendukung sesuatu berdasarkan pengamatan atau tindakan orang lain, terutama dalam situasi yang tidak pasti. Dalam konteks dukungan pro-Palestina yang semakin masif, hal ini menjadi besar juga karena adanya faktor emosional, di mana mayoritas konten pro-Palestina adalah konten-konten rekaman langsung dari para korban di Gaza.
Kedua, juga adalah pengaruh kesenjangan umur warganet. Maital mengungkapkan bahwa ternyata rata-rata umur pendukung Israel datang dari kalangan umur 50 ke atas, bahkan di negara yang sangat pro-Israel seperti Amerika Serikat (AS). Sementara, mayoritas pendukung Palestina berasal dari umur 14-30 tahun, atau yang biasa disebut kelompok Gen-Z dan Milenial.
Menariknya, hal ini memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika isu di media sosial. Saat ini, semua media sosial populer seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, mayoritas berisi kelompok demografi kalangan Gen-Z hingga Milenial, akibatnya, konten-konten yang trending dan mudah didistribusikan di media sosial adalah juga konten yang disukai oleh kelompok-kelompok tersebut. Yang terjadi kemudian adalah opini pro-Israel sangat terkucilkan.
Namun, muncul sebuah pertanyaan lanjutan, yakni mengapa badan intelijen Israel, yaitu Mossad, yang katanya begitu kuat, bisa membiarkan hal ini terjadi?
Meremehkan atau Salah Perkiraan?
‘Kekalahan’ Israel di media sosial tentu memancing rasa curiga yang tinggi, karena kita pun tidak boleh meremehkan Mossad yang selama ini jadi salah satu badan intelijen paling capable di dunia. Karena itu, kita bisa asumsikan setidaknya ada dua kemungkinan yang terjadi.
Pertama, mungkin Mossad mendiskreditkan kemampuan warganet di media sosial. Seperti yang kita tahu, Israel memiliki daya tawar diplomasi yang sangat tinggi, negara-negara Teluk Arab bahkan sampai saat ini berhasil dibuat bingung dengan proposal normalisasi Israel. Namun, sepertinya usaha mereka untuk menjaga narasi tidak terjadi secara serupa di media sosial.
Kecurigaan serupa juga diungkap Maital, yang menyebutkan mungkin Israel dan Mossad memang ‘tidak mementingkan’ narasi yang beredar di sosial media karena secara faktual itu memang tidak memiliki dampak politik secara langsung. Kita bisa lihat di AS misalnya, meski telah terjadi banyak protes pro-Palestina, pemerintah AS tetap memberi bantuan ke Israel.
Kedua, bisa saja Mossad telah lakukan miskalkulasi. Belajar dari peristiwa Arab Spring, opini publik di media sosial tetap memiliki kekuatan untuk mempengaruh dinamika politik. Namun, sepertinya Israel dan Mossad mengidap efek Black Swan, yakni sebuah kondisi di mana seseorang atau sesuatu terkena sebuah masalah besar karena mereka menganggap suatu variabel tidak akan berpengaruh banyak pada tujuan mereka.
Jika nantinya protes-protes pro-Palestina semakin masif, ada kemungkinan sebetulnya media sosial jadi semacam Black Swan untuk Israel. Well, kita tunggu saja kelanjutnya. (D74)