Menunggu Sampai Mati, Sulitnya dapat Donor Organ di Indonesia

menunggu-sampai-mati,-sulitnya-dapat-donor-organ-di-indonesia
Menunggu Sampai Mati, Sulitnya dapat Donor Organ di Indonesia

Menunggu Sampai Mati, Sulitnya dapat Donor Organ di Indonesia 

 

TL;DR

-Sebanyak 90% donor kornea di Indonesia berasal dari Jamaah Ahmadiyah

 

-Di Indonesia donor ginjal hampir 100% diperoleh dari living donor (donor yang hidup) daripada cadaver (donor jenazah).

 

-Indonesia masih belum memiliki aturan rinci mengenai tata cara mendonor dan mendapat organ donor.

 

23 Januari 2024, Ahmad Sukri (62) menghembuskan napas terakhirnya di RSUD 45 Kuningan karena komplikasi jantung. Fani Nurdiansah (25), anaknya, menceritakan, satu jam setelah Sukri meninggal, perwakilan Bank Mata datang ke rumah duka untuk melakukan proses pengambilan kornea mata.

 

Untuk menjadi donor, seseorang cukup menandatangani formulir kesediaan disertai saksi dari keluarga. Dalam waktu enam jam setelah meninggal, kornea sudah harus diambil. Jika melebihi waktu tersebut, jaringan kornea sudah mati dan tak lagi bisa digunakan.

 

Tak ada batasan bagi siapapun untuk bisa mendonorkan kornea mata. Tak masalah dengan mata minus maupun plus, asal kornea matanya dinyatakan sehat dan tidak pernah mengalami infeksi. Bahkan donor kornea yang rusak masih bisa digunakan untuk menambal sementara kornea pasien yang sudah tipis dan akan jebol.

 

Setelah pengambilan kornea mata selesai, organ kemudian dikirimkan ke bank mata pusat dan dapat didonorkan kepada penerima donor. Sukri adalah salah satu pendonor kornea dari Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), anaknya, Fani juga sudah mendaftarkan diri sebagai pendonor kornea, saat dirinya meninggal nanti. Di Indonesia, menurut data Bank Mata Indonesia, 90% donor berasal dari kelompok masyarakat tersingkir, Ahmadiyah. 

 

JAI menginisiasi penggalangan donor kornea mata di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada tahun 2010 mereka membentuk Komunitas Donor Mata Indonesia (KDMI). Hingga Februari 2024, calon donor kornea mata yang dikelola oleh KDMI berjumlah sekitar 15.000 ribu pendaftar. Sebanyak 930 kornea mata sudah didonorkan kepada penerima donor.

 

Hingga kini Indonesia masih mengimpor donor kornea dari negara lain seperti Sri Lanka, India, Belanda, dan Amerika Serikat. Daftar tunggu pasien transplantasi kornea di Indonesia berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Sementara, impor kornea dari negara tersebut baru menutupi 5-10% kebutuhan kornea dalam negeri.

 

Secara nasional, angka penyandang kebutaan di Indonesia berkisar 3% dari jumlah penduduk. Namun, meski tampak kecil, jumlahnya setara jumlah penduduk di Afrika. Dari 3% penyandang kebutaan tersebut, sebanyak 80%nya merupakan mengidap katarak dan 4,5% adalah orang dengan kerusakan kornea. 

 

Abdul Gani, Ketua KDMI menyebut kurangnya dukungan pemerintah dan anggaran yang terbatas jadi hambatan mereka untuk meningkatkan animo pendonor kornea.

 

“Walaupun yang mau donor kornea sudah lebih banyak, tapi belum berbanding lurus dengan kebutuhan transplantasi yang juga lebih banyak,” kata Abdul Gani. 

 

Donor Organ, Legalkah?

 

Transplantasi organ merupakan satu-satunya pengobatan efektif untuk masalah kegagalan organ stadium akhir. Transplantasi organ dilakukan dengan mengganti organ yang gagal milik penerima dengan organ pendonor. 

 

Selama ini Indonesia belum membuka ruang informasi terkait donor organ. Hanya kampanye donor darah yang gencar digalakkan ke masyarakat. Belakangan, menyusul tentang donor kornea. 

 

Rendahnya donor organ di Indonesia, setidaknya dipengaruhi beberapa faktor, menurut penelitian Bennett dan Hanny (2009), yakni keyakinan atau agama, budaya, keterbatasan informasi, dan keuangan. 

 

Faktor kepercayaan atau agama mendominasi keputusan masyarakat Indonesia untuk melakukan donor organ. Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mahesa Paranadipa Maikel, mengatakan, sebagian masyarakat menganggap bahwa donor organ bertentangan dengan nilai agama dan budaya. 

 

“Keutuhanan organ saat meninggal dunia dianggap sebagai nilai yang utama,” kata Mahesa kepada Deduktif, Selasa (30/4/2024).

 

Sulitnya mendapat donor organ jadi masalah penanganan kesehatan di Indonesia, yang hingga kini belum menemui titik terang. Lebih dari 70.000 orang di Indonesia membutuhkan donor organ, namun hanya 234 pasien yang menjalani proses transplantasi.

 

Jumlah pendonor organ di Indonesia terbilang rendah. Rentang tahun 1998-2017 hanya sekitar 629 proses transplantasi ginjal dilakukan di Indonesia. Bandingkan dengan Thailand yang telah melakukan sebanyak 757 proses transplantasi organ. Sementara Filipina yang berhasil melakukan 1246 proses transplantasi organ di rentang waktu yang sama.

 

Di Indonesia donor ginjal hampir 100% diperoleh dari living donor (donor yang hidup) daripada cadaver (donor jenazah). Di Indonesia penerima donor cenderung lebih nyaman menerima pendonor yang masih berhubungan darah atau saudara dengan mereka. 

 

Hukum Indonesia masih mempertahankan pelaksanaan transplantasi berdasar asas kemanusiaan, dan harus dapat persetujuan dari pendonor atau ahli waris, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. 

 

Undang-Undang Kesehatan memperbolehkan transplantasi organ atau jaringan tubuh dalam rangka penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Aturan tersebut jelas melarang transaksi jual beli organ manusia. 

 

Namun praktik jual beli organ untuk kepentingan transplantasi masih banyak terjadi. Pada Juni 2023 misalnya, polisi menggerebek rumah tempat penampungan sindikat internasional penjualan ginjal di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

 

“Regulasi proses donor organ saat ini masih belum memiliki prosedur yang jelas. Belum ada aturan rinci mengenai tata cara mendapat organ yang akan ditransplantasikan,” ungkap Mahesa. 

 

Menurutnya aturan dalam Undang-Undang Kesehatan harus diturunkan menjadi aturan pelaksana dan pengawasan di lapangan. UU Kesehatan Tahun 2023 masih memiliki kekosongan hukum karena aturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) belum terbit. 

 

Menengok Singapura, negara ini menerapkan aturan Human Organ Transplant Act (HOTA) yang menjadikan setiap orang meninggal langsung menjadi donor, kecuali mengajukan penolakan. 

 

“Setiap warga negara berusia 21 tahun ke atas yang meninggal, organ tubuhnya akan diambil untuk ditransplantasi,” demikian tertulis dalam regulasi tersebut. 

 

Meski Dapat Donor, Kelangkaan Obat Datang Menghantui

 

Dalam laporan yang ditulis Supit, dkk (2019), terdapat 629 transplantasi ginjal dari 12 pusat rumah sakit di seluruh Indonesia dalam periode 1998-2017. Mayoritas transplantasi ginjal dilakukan di Jakarta dengan persentase 78,1% antara tahun 2011 hingga 2017. Diikuti oleh Yogyakarta dengan persentase 5,7%, Semarang 4,1% dan Malang 2,2%. 

 

Yogyakarta sudah lebih awal melaporkan data transplantasi ginjal sejak tahun 1991. Beberapa transplantasi di Indonesia tidak tercatat sebelum tahun 1990, namun, diasumsikan jumlahnya di bawah 100 kasus.

 

Grafis Jumlah Transplantasi Ginjal di Indonesia 

 

Ketika berada di daftar tunggu penerima donor organ, masalah pasien tak berkutat hanya dengan berjuang mendapat donor. Tapi lebih dari itu, pascatransplantasi, mereka harus kembali menghadapi masalah kelangkaan obat untuk memelihara organ donor mereka.

 

Beberapa bulan terakhir, pasien pascatransplantasi ginjal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengalami kelangkaan distribusi obat pascatransplantasi ginjal. Situasi tersebut berisiko merusak ginjal baru.

 

Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menelusuri jenis obat yang sering kosong berjenis Sandimmun, Certican, dan Myfortic, obat utama bagi pasien transplantasi organ. Bila pasien absen mengonsumsi obat tersebut, maka risikonya organ donor akan mengalami rijeksi atau penolakan.

 

“Bulan ini saya belum ada kabar sama sekali dari farmasi Kanigara RSCM untuk mengambil obat,” kata Achwan (50), salah seorang pasien ginjal di RSCM, seperti dilansir dari siaran pers KPCDI, Jumat (26/4/2024).

 

Para pasien ginjal di sana sampai mencari jalan keluar masing-masing. Mereka saling mencari pinjaman obat hingga mencari sendiri obat di luaran rumah sakit. 

 

“Saya harus pinjam ke sesama pasien transplan, beli juga dengan biaya cukup mahal sehingga sangat memberatkan. Saya berharap kelangkaan obat segera diatasi agar pasien tidak mengalami kecemasan secara psikologis,” kata Achwan.

 

Ketua Umum KPCDI, Tony Richard Samosir mengungkapkan, Indonesia belum memiliki sistem atau lembaga khusus yang berfungsi untuk menghimpun calon donor dan mengelola daftar tunggu penerima organ secara efisien. 

 

“Selama ini, donor itu tidak ada data terhimpun, karena donor masih menjadi tanggung jawab masing-masing pasien,” ungkap Tony, Senin (6/5/2024).

 

Idealnya, sistem pendaftaran pendonor dan resipien harus dibuat semudah mungkin dengan mengedapankan persoalan etik, hukum, dan norma. Regulasi yang jelas adalah langkah penting memastikan proses transplantasi berjalan aman, adil, dan beretika bagi semua pihak yang terlibat.

 

Reporter dan Penulis: Anggita Raissa

Editor: Aditya Widya Putri

 

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Menunggu Sampai Mati, Sulitnya dapat Donor Organ di Indonesia

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us