Harus Menikah dan Punya Anak Biar Disebut Sempurna? Stop Budaya Glorifikasi

harus-menikah-dan-punya-anak-biar-disebut-sempurna?-stop-budaya-glorifikasi
Harus Menikah dan Punya Anak Biar Disebut Sempurna? Stop Budaya Glorifikasi

“Sudah menikah?

“Sudah punya anak?”

“Loh, kok gak punya pacar?”

Untuk sebagian kalangan, mungkin pertanyaan ini masih dianggap lumrah atau biasa-biasa saja karena tidak ditanya pun, hidup sudah sewajarnya jika seorang perempuan harus menikah, hamil dan membesarkan anak.

Dan ketika urutan itu terbalik, misal hamil sebelum menikah atau sudah ada anak baru menikah, dianggap tidak lazim dan tidak sesuai norma yang sebenarnya masyarakat buat sendiri.

Padahal menikah bukanlah kewajiban. Tidak ada piagam, undang-undang, atau regulasi yang mengatur itu. Piagam Federasi Keluarga Berencana Internasional (IPPF) merumuskan 12 Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang salah satunya dengan jelas menyebutkan hak untuk memilih akan menikah atau tidak dan merencanakan berkeluarga. Dengan kata lain, hak ini sangat bertentangan dengan pernikahan tanpa persetujuan (pernikahan yang diatur), pernikahan anak, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi (IPPF, 1997). Sayangnya, praktik-praktik ini masih dilanggengkan atas nama agama, adat dan budaya.

Baca Juga: Menikah, Bukan Ajang Balapan Punya Keturunan

Belum selesai dengan soal keharusan menikah, kita sudah dihadapkan pada pertanyaan soal kapan punya anak. Seolah-olah nilai dan martabat perempuan ditentukan oleh statusnya sebagai ibu. Ketika sudah punya anak 1 pun, perempuan akan ditanya,” Kog cuma punya anak satu? Harusnya dua, biar lengkap.”

Dengan kultur dan cara pandang seperti ini, kehamilan menjadi hal yang dianggap selalu dinanti-nantikan.

Kehamilan yang diglorifikasi sedemikian rupa, dengan rangkaian perayaan adat, doa puji-pujian, dan yang lebih modern seperti selebrasi pengungkapan jenis kelamin dan bahkan menyewa jasa dokumentasi saat persalinan. Glorifikasi ini jadi menihilkan kehamilan yang tidak direncanakan atau diinginkan (KTD).

Masih banyak yang berpikir bahwa KTD identik dengan remaja yang belum banyak tahu informasi soal kesehatan reproduksi tapi coba-coba, padahal ada banyak KTD yang terjadi akibat perkosaan. Padahal KTD tidak mengenal usia, status pernikahan dan latar belakang. Seorang istri dalam relasi sehat dan pernikahan yang bahagia juga bisa saja mengalami KTD. Kondisi mental perempuan yang tidak siap atau mungkin mengalami trauma pasca persalinan disangkal karena kehamilan dianggap selalu diinginkan.

Apa yang harus kita lakukan jika mendapati orang dekat kita mengalami kehamilan? Tanyakan kondisinya, perasaannya. Ucapan selamat bukanlah hal pertama yang harus kita berikan, apalagi penghakiman moral. Jadilah tempat aman untuknya bercerita. Hapus stigma pada KTD dan glorifikasi kehamilan. Berikan informasi seakurat dan selengkap mungkin tentang pilihan melanjutkan dan menghentikan kehamilan. Jika ragu, carilah sumber informasi yang kredibel atau layanan konseling yang mendukung pilihan perempuan.

Baca Juga: Kami Para Perempuan, Digosipkan dan Dijodohkan Biar Cepat Menikah

Kita juga harus mengenal hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual. Terdapat 12 hak-hak reproduksi yang dirumuskan oleh International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada tahun 1996 yaitu:

  1. Hak untuk hidup
  2. Hak atas kebebasan dan keamanan
  3. Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, termasuk kehidupan keluarga dan reproduksinya
  4. Hak atas kerahasiaan pribadi
  5. Hak untuk kebebasan berpikir
  6. Hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan
  7. Hak untuk memilih bentuk keluarga, dan hak untuk membangun dan merencanakan berkeluarga
  8. Hak untuk memutuskan kapankan dan akankah punya anak
  9. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan
  10. Hak untuk mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
  11. Hak kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam hal berpolitik
  12. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk

Aktivis Bandung, Fanny S. Alam pernah menuliskan di Konde.co, tentu saja hak untuk mendapatkan informasi untuk semua orang, dijamin negara dan institusi yang relevan sesuai kebutuhan, dalam hal ini adalah keadilan untuk mendapatkan informasi memadai tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas bagi semua warga negara tanpa terkecuali.

Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) 1994 Kairo, yang juga telah diadopsi Indonesia oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia/ PKBI tahun 1996, menggarisbawahi hak kesehatan reproduksi dalam kaitannya mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi memadai. Hak atas informasi ini ditekankan pula oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2002 mengenai pentingnya akses informasi bagi laki-laki dan perempuan atas informasi seksualitas, reproduksi, manfaat serta efek obat-obatan yang relevan di dalamnya. Poin berikutnya menggarisbawahi kebutuhan informasi seksualitas dan reproduksi bagi remaja laki dan perempuan. Informasi ini pun termasuk mengenai penyakit kelamin, dan infeksi HIV/AIDS.

Kurangnya informasi seksualitas dan kesehatan reproduksi yang didapat di insitusi pendidikan pada umumnya menyebabkan terhambatnya pengetahuan dasar mengenai keduanya, menyebabkan banyak terjadinya perilaku seks yang tidak bertanggung jawab seperti perkosaan, penyakit kelamin, HIV/AIDS, kehamilan yang tidak diinginkan, perkawinan anak, hingga aborsi yang berisiko.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Harus Menikah dan Punya Anak Biar Disebut Sempurna? Stop Budaya Glorifikasi

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us