Indonesia Rumah Bersama: Membaca Idiosinkrasi Gus Dur dalam Keragaman Agama

indonesia-rumah-bersama:-membaca-idiosinkrasi-gus-dur-dalam-keragaman-agama
Indonesia Rumah Bersama: Membaca Idiosinkrasi Gus Dur dalam Keragaman Agama

Mubadalah.id – Ketika ada yang melempar gereja, Gus Dur berkata; “Jangan!” Ketika orang Tionghoa tercekik oleh regulasi Orba, Gus Dur berupaya melepaskan cekikan itu. Ya, begitulah Gus Dur, ia selalu tampil membela mereka yang terdiskriminasi.

Pembelaan terhadap minoritas, dan prinsip keberpihakan pada kesejahteraan hidup bersama, menjadi kekhasan dalam sikap dan pikirannya. Kita bisa menyebutnya sebagai idiosinkrasi Gus Dur, atau sifat khas Gus Dur, dalam menyikapi keragaman masyarakat Nusantara.

Macam-macam Idiosinkrasi Penguasa

Gus Dur dalam tulisannya yang berjudul “Islam dan Idiosinkrasi Penguasa,” mendefinisikan term idiosinkrasi sebagai sifat khusus yang ada pada diri seseorang, yang membuat orang itu menjadi lain dari yang lain. Jadi, ini berhubungan dengan sifat khas seseorang, baik dalam berpikir maupun bertindak.

Dalam hal idiosinkrasi penguasa, berdasarkan tulisan Gus Dur tersebut dapat kita bagi menjadi beberapa kategori. Ada idiosinkrasi penguasa, berupa sikap yang hanya menguntungkan kepentingan kelompoknya dan tidak memedulikan kepentingan kelompok lain. Hal ini sebagaimana ia gambarkan pada sikap Sultan Agung, penguasa Mataram, yang menyejahterakan rakyatnya namun keras terhadap lawan politiknya. 

Ada lagi idiosinkrasi penguasa yang hanya ingin menguntungkan kepentingan pribadi. Tidak peduli pada kelompok, lebih-lebih pada yang lain. Sebagaimana idiosinkrasi ini ia gambarkan pada salah satu sikap Sultan Trenggono, penguasa Demak, yang pernah memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi.

Idiosinkrasi positif, dalam ukuran ajaran Gus Dur, tentu bukan sekadar sikap yang hanya memerhatikan kepentingan pribadi dan kelompok sendiri. Melainkan, itu adalah sikap yang tidak merugikan siapapun. 

Sikap khas penguasa yang menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan hidup bersama, baik pribadinya, kelompoknya, dan yang lainnya. Ini termasuk yang Gus Dur sebut sebagai idiosinkrasi yang dimaafkan dalam diri penguasa, sebab “banyak jasanya dalam bidang-bidang lain untuk kepentingan bersama.”

Gus Dur, antara Indiosinkrasi Orba dan Etnis Tionghoa

Keparnoan pemerintah Orde Baru (Soeharto) terhadap komunisme, membawa pada sikap indiosinkrasi penguasa yang membatasi ekspresi budaya dan agama orang Tionghoa. Pemerintah kala itu memandang etnis Tionghoa Indonesia punya hubungan dengan Cina yang memiliki paham ideologi komunisme. Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Pembatasan Kegiatan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, pun dikeluarkan sebagai upaya membatasi ekspresi budaya mereka. Idiosinkrasi Orba ini jelas sangat tidak berpihak pada orang Tionghoa secara umum, dan umat Khonghucu secara khusus.

Indiosinkrasi Gus Dur dalam hal ini berbeda dengan Soeharto. Sebab, jika Orba membatasi kemerdekaan ekspresi budaya dan agama orang Tionghoa, sebaliknya ia justru memberikan kemerdekaan kepada mereka.

Idiosinkrasi Gus Dur yang memihak orang Tionghoa ini, mula-mula dengan meluruskan kekeliruan pemahaman mengenai orang Tionghoa yang dipandang sebagai warga keturunan. Baginya, sebagaimana dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, orang Tionghoa juga merupakan penduduk asli Indonesia, layaknya di Indonesia ada orang Papua, orang Aceh, orang Sunda, dan lainnya. 

Pandangan Gus Dur ini jelas sangat berbeda dengan opini kebanyakan. Namun, dasar argumennya tidak lah lemah, sebab etnis Tionghoa bukan baru setahun dua tahun ada di Nusantara. Mereka sudah hidup di negeri ini, bersama masyarakat yang lain, selama ratusan tahun. Dan lagi sebagian mereka juga ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Saya jadi ingat dengan lirik lagu; “aku putri Indonesia… dari etnis Tionghoa….” Demikian yang Gus Dur ajarkan, bahwa etnis Tionghoa juga termasuk penduduk asli bagian dari masyarakat Indonesia.

Idiosinkrasi Gus Dur ini kemudian berlanjut ketika dirinya menjabat sebagai presiden. Ia mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2000 yang memberi kebebasan ekspresi agama dan budaya kepada etnis Tionghoa. Sebab, dalam pandangannya, orang Tionghoa juga penduduk asli Indonesia, sehingga mereka layak mendapat kemerdekaan dalam mengekspresikan budaya dan agama mereka di negeri ini. 

Gus Dur, antara Idiosinkrasi Negara Islam dan Prinsip Demokrasi

Dalam artikel yang berjudul “Islamic Radicalism in Indonesia: the Faltering Revival?” Greg Fealy menjelaskan kalau, pada awal tahun 2000, beberapa kelompok Muslim mengampanyekan re-insertion (penempatan ulang) Piagam Jakarta. Kampanye ini mendapat dukungan dari beberapa kelompok Islam radikal yang punya hasrat akan Indonesia sebagai negara Islam. Sebab, poin penerapan syariat, sebagai formalisasi Islam dalam tata negara, dapat menjadi awal bagi cita-cita negara Islam mereka.

Gus Dur, sebagai presiden saat itu, memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok yang mengidamkan negara Islam. Menurutnya, sebagaimana dalam “Islam dan Idiosinkrasi Penguasa,” bahwa ketika seorang penguasa menyatakan akan membangun demokrasi dalam konsep negara Islam. Pendapat tersebut di satu pihak adalah idiosinkrasi penguasa, dan di pihak lain yang ada hanya demokrasi sebagai formalitas saja. 

Bagi Gus Dur, keinginan mendirikan negara Islam adalah idiosinkrasi penguasa yang hanya melihat kepentingan dirinya (sebagai Muslim), dan kepentingan kelompoknya (sebagai sesama Muslim). Sementara, keberadaan non-Muslim, mereka abaikan. Ini jelas bertentangan dengan idiosinkrasi Gus Dur, yang tidak ingin ada kelompok terdiskriminasi atas nama agama di Indonesia.

Gus Dur memiliki prinsip demokrasi yang berbeda dengan kelompok demikian. Jika mereka memandang demokrasi sebagai sistem untuk menjamin pelaksanaan syariat Islam. Maka, baginya, sebagaimana penjelasan Warsono dalam “The Political Discourse on the NU Clerics during the Era of Gus Dur’s Administration,” Islam seharusnya dipandang sebagai etika sosial yang berfungsi sebagai pelengkap nilai-nilai demokrasi.

Jadi, idiosinkrasi Gus Dur bukan mendambakan demokrasi dalam negara Islam. Melainkan, ia melihat Islam sebagai bagian agama yang dianut oleh masyarakat, yang pengamalannya seharusnya mendorong pada ketenteraman hidup damai bersama. Pun, sebagaimana hal itu juga berlaku pada pemeluk agama yang lain.

Idiosinkrasi Gus Dur yang Memandang Indonesia Rumah Bersama

Sampai di sini, sebagaimana yang dijelaskan di atas, Gus Dur juga termasuk sosok penguasa yang sebenarnya memiliki idiosinkrasi. Namun, idiosinkrasinya adalah cara pandangnya dan sikapnya yang berbeda dari mereka, yang mendiskriminasi kelompok lain untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Ketika kelompok lain ingin merusak geraja, ia justru ingin merajut hubungan baik dengan umat Kristiani. Tatkala orang-orang acuh dengan penderitaan etnis Tionghoa, ia komit berpihak pada mereka. Dan, sikap Gus Dur lainnya yang berbeda dengan kelompok-kelompok yang tidak menghormati perbedaan.

Kenapa Gus Dur tampil membela mereka yang berbeda? Sebab, dalam idiosinkrasi Gus Dur, ia ingin agar Indonesia menjadi rumah bersama. Sebagaimana itu tergambar dalam ajaran-ajarannya yang mencita-citakan Muslim, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu, hingga Penghayat, dapat hidup damai bersama sebagai satu masyarakat Nusantara yang majemuk. []

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Indonesia Rumah Bersama: Membaca Idiosinkrasi Gus Dur dalam Keragaman Agama

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us