Di era digital yang terus berkembang pesat, umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai keislaman yang fundamental. Dalam hal ini, prinsip-prinsip keislaman dapat menjadi panduan dalam menghadapi revolusi teknologi.
Islam, sebagai agama yang komprehensif, tidak pernah menentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, Al-Qur’an dan Hadis seringkali mendorong umatnya untuk menggunakan akal dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-‘Alaq ayat 1-5, yang menekankan pentingnya membaca dan belajar sebagai fondasi peradaban.
Namun, perkembangan teknologi yang sangat cepat juga membawa dilema etis dan moral yang perlu disikapi dari perspektif Islam. Salah satu isu utama adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) yang semakin meluas. Dari sudut pandang maqasid al-syariah (tujuan syariah), kita perlu mempertimbangkan bagaimana AI dapat dimanfaatkan untuk menjaga lima aspek utama kehidupan manusia: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Penggunaan AI dalam bidang kesehatan, misalnya, sejalan dengan prinsip menjaga jiwa (hifdz al-nafs). Namun, kita juga perlu waspada terhadap potensi penyalahgunaan data pribadi yang dapat mengancam privasi individu. Dalam hal ini, konsep amanah dalam Islam menjadi sangat relevan dalam mengelola data dan informasi digital.
Selain itu, perkembangan media sosial dan Internet of Things (IoT) telah mengubah cara kita berinteraksi dan berkomunikasi. Dari perspektif Islam, teknologi ini dapat menjadi sarana dakwah yang efektif, namun juga berpotensi menjadi wadah penyebaran informasi yang menyesatkan. Prinsip tabayyun (verifikasi informasi) yang diajarkan dalam Al-Qur’an (Al-Hujurat ayat 6) menjadi semakin penting di era post-truth ini.
Dalam konteks ekonomi digital, konsep mu’amalah dalam Islam perlu direvitalisasi untuk meng-address isu-isu seperti cryptocurrency dan smart contracts. Prinsip-prinsip seperti larangan riba dan gharar (ketidakpastian berlebihan) harus menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan dan menggunakan teknologi finansial.
Tantangan lain yang perlu diperhatikan adalah dampak teknologi terhadap lingkungan. Islam mengajarkan konsep khalifah fil ardh (pemelihara bumi), yang mengharuskan kita untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Pengembangan green technology dan energi terbarukan menjadi imperatif moral bagi umat Islam dalam konteks ini.
Untuk menghadapi berbagai tantangan ini, diperlukan ijtihad kontemporer yang melibatkan ulama, ilmuwan, dan praktisi teknologi. Forum-forum diskusi interdisipliner perlu diadakan untuk membahas isu-isu etis seputar teknologi dari perspektif Islam. Lembaga pendidikan Islam juga harus merespons dengan mengintegrasikan literasi digital dan etika teknologi dalam kurikulum mereka.
Pada akhirnya, Islam dan teknologi bukanlah dua entitas yang bertentangan. Justru, nilai-nilai keislaman dapat menjadi kompas moral yang mengarahkan perkembangan teknologi ke arah yang lebih bermanfaat dan berkelanjutan.
Dengan pendekatan yang bijak dan berimbang, umat Islam dapat menjadi pionir dalam menciptakan ekosistem teknologi yang tidak hanya canggih, tetapi juga selaras dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan.
Biodata Penulis: Muhamad Iqbal Apredo, S.Kom, adalah pengembang aplikasi SIPPRO di Direktorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI. aktif di bidang etika AI dan teknologi dalam perspektif Islam.