Oleh Reza A.A Wattimena
Akhir September 2024, tujuh mayat itu mengambang di kali Bekasi, Jawa Barat. Mulanya, tak ada yang tahu sebabnya. Berita pun berdatangan. Menurut analisis, ketujuh mayat itu adalah kumpulan pemuda yang melarikan diri dari kejaran polisi, ketika sedang merencanakan tawuran dengan kelompok pemuda lainnya.
Tawuran adalah perkelahian antar pelajar. Saya banyak menyaksikan sendiri hal ini, sejak saya SMP. Tak ada sebab yang jelas. Hanya sekumpulan pemuda yang kehilangan arah hidup, dan saling berbaku hantam, karena salah asuh para orang tuanya.
Kekerasan serupa juga terjadi di belahan Kemang, Jakarta Selatan. Sekelompok orang membubarkan diskusi yang akan berlangsung. Dengan kekerasan, para preman ini merusak ruang diskusi, dan melakukan kekerasan terhadap pesertanya. Ironisnya, para penegak hukum tidak hanya mendiamkannya, tetapi cenderung memberi dukungan.
Busuknya dunia hukum kita berimbas ke dunia ekonomi. Ketimpangan sosial ekonomi adalah keadaan nyata di Indonesia. Ini bisa disaksikan dari penjuru Aceh sampai Papua. Tata pemerintahan yang korup di semua unsurnya adalah sumber utama dari beragam masalah ini.
Ini adalah penderitaan kolektif kita sebagai bangsa. Ia dirasakan bagaikan udara yang kita hirup dalam keseharian. Gejala yang langsung terlihat adalah kekerasan yang kita lihat sehari-hari, mulai dari tawuran sampai dengan premanisme yang tersebar begitu luas.
Ini bagaikan bara dalam sekam. Ada api yang membara di dalam batin bangsa. Ia terus memanas, dan siap meledak di waktu yang tak terduga. Tak heran, bahasa Indonesia menyumbangkan kata amok di dalam bahasa Inggris, yakni kemarahan massa dengan daya rusak yang amat besar.
Indonesia bisa pecah. Beragam ketidakadilan yang terjadi terus menyakiti hati begitu banyak orang sekarang. Penegak hukum tidak menghadirkan keadilan. Pemerintah tidak menghadirkan kemakmuran. Pada satu titik, kemarahan rakyat bisa pecah, dan Indonesia pun akan tinggal sejarah.
Agama Kematian dan Kapitalisme
Mengapa bara dalam sekam ini ada? Mengapa bom waktu amok siap menerkam bangsa ini setiap saatnya? Setiap bentuk kebencian lahir dari kesadaran yang sempit. Di dalam teori transformasi kesadaran, saya menyebutnya sebagai kesadaran distingtif dualistik. (Lihat buku: Kesadaran, agama dan politik)
Di Indonesia, bentuk kesadaran sempit ini tersebar begitu luas lewat agama kematian dan sistem ekonomi kapitalisme. Agama kematian datang dari tanah gersang, mengajarkan kebodohan, menghancurkan budaya lokal, memeras secara ekonomi, menyiksa perempuan dan mengacaukan tata hidup bersama. Kesadaran sempit distingtif-dualistik tertanam begitu dalam di agama ini.
Agama kematian menciptakan mitos pertentangan semu antara yang baik dan yang jahat. Yang baik adalah kelompok mereka. Yang jahat adalah yang berbeda dari mereka. Perbedaan tata nilai dilihat sebagai alasan untuk saling menindas dan menghancurkan satu sama lain. Tak heran, negara dengan agama kematian cenderung terbelakang, miskin, bodoh dan penuh konflik.
Di hatinya yang terdalam, para penganut agama kematian amatlah menderita. Mereka terjebak oleh khayalan dari tanah asing yang memperbodoh, mempermiskin dan mempersempit batin mereka. Ketegangan batin bermuara pada kebencian di dalam hidup bersama. Gejala tawuran, premanisme dan beragam penindasan atas nama agama di Indonesia adalah luapan dari derita batin yang mendalam ini.
Sistem ekonomi kapitalisme juga memiliki pola serupa. Keuntungan finansial dianggap sebagai nilai tertinggi. Uang dan aset kekayaan dianggap sebagai tuhan. Hubungan manusia dipersempit menjadi soal transaksi untung rugi.
Yang tercipta adalah manusia-manusia yang saling terasing satu sama lain, saling curiga, bahkan saling membenci. Ketika hidup menjadi pengejaran keuntungan dengan mengorbankan semuanya, orang juga jadi terasing dari dirinya sendiri. Tak heran juga, gejala depresi ekstrem dan kecenderungan bunuh diri meningkat begitu tajam di Indonesia. Dari kubangan derita batin semacam ini, kekerasan dan kebencian terhadap kelompok lain pun lahir.
Di dalam kapitalisme, alam dan manusia adalah komoditi. Keduanya adalah sumber daya untuk dihisap, dan dijual. Dengan berkembangnya kapitalisme, ekosistem hancur, dan manusia diperbudak dengan beragam cara yang semakin rumit. Dalam tekanan keadaan semacam ini, ditambah dengan kesadaran sempit distingtif-dualistik yang disebarkan lewat agama kematian, kekerasan pun tercipta dalam segala bentuknya.
Empat Hal Penting
Bagaimana keluar dari lingkaran penderitaan kolektif ini? Ada empat hal yang mesti diperhatikan. Pertama, di tingkat pribadi, kita mesti terus mengembangkan kesadaran ke tingkat yang lebih tinggi. Kesadaran distingtif-dualistik yang sempit harus dilampaui, supaya kita bisa menemukan setitik kedamaian di dalam diri, dan mulai membangun hubungan yang baik dengan sekitar. Buku ini kiranya membantu (Kesadaran, agama dan politik).
Dua, kita mesti meninggalkan agama kematian dan mental kapitalistik. Kita harus menganut agama kehidupan yang berpijak pada pengetahuan, menghargai perempuan sepenuhnya, serta melahirkan kedamaian pribadi maupun di dalam tata hidup bersama. Kita juga mesti sadar, bahwa ekonomi adalah alat bantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hubungan manusia yang begitu kaya dan kompleks tidak boleh dipersempit menjadi soal peraihan keuntungan ekonomi belaka.
Tiga, buah dari tingkat kesadaran yang meningkat, serta terlepasnya kita dari agama kematian dan mental kapitalistik, adalah tata kelola kehidupan yang baik. Tata hidup pribadi didasarkan pada keseimbangan. Tata hidup bersama juga dibuat dengan berpijak pada keadilan untuk semua. Konflik tentu tetap ada, tetapi bisa dikelola secara sehat.
Empat, sekarang ini, bangsa kita amat membutuhkan teladan. Para pemimpin bangsa selanjutnya harus memiliki kesadaran yang luas. Ia tidak boleh hidup dengan kesadaran distingtif-dualistik yang sempit, menganut agama kematian maupun memiliki mental kapitalistik yang penuh kerakusan. Mungkin perlu ada program transformasi kesadaran yang bersifat wajib untuk para calon pemimpin negara, mulai dari legislatif, pemimpin daerah sampai dengan presiden beserta menteri-menterinya.
Tujuh mayat pemuda yang mengambang di kali Bekasi itu adalah buah dari kesalahan kita semua sebagai bangsa. Kita perlu sungguh merenungkan hal ini. Tegangan derita yang lahir dari kesadaran distingtif-dualistik khas agama kematian dan mental kapitalistik harus sungguh dilampaui. Hanya dengan begitu, kita bisa keluar dari lingkaran setan kekerasan tawuran, premanisme, korupsi dan kekerasan dalam segala bentuknya.
Jangan ditunda lagi…
===
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/