Berbicara tentang takwa dan ketakutan akan kebesaran Tuhan, kita terbawa pada refleksi mendalam tentang akhirat dan peran spiritualitas dalam menjalani kehidupan. Konsep ini tidak hanya menggambarkan ketaatan terhadap Allah semata, tetapi juga memberi gambaran konsekuensi dan harapan spiritual di dalamnya.
Kisah Syekh Hatim al-‘Asham (w. 237 H) dan Kebesaran Tuhan
Dalam kitab Ayyuhal Walad karya al-Ghazali, disebutkan satu kisah Hatim al-‘Asham yang pernah ditanyai oleh gurunya (Imam Syaqiq al-Balkhi). “Engkau telah belajar kepadaku selama 30 tahun lamanya, maka ilmu apa yang engkau dapatkan?”
Hatim al-‘Asham menjawab: “Aku telah menghasilkan delapan faedah dari segala hal yang telah aku pelajari. Pada pikiranku, delapan faedah ini sudah cukup untukku, dari itu, aku mengharapkan keselamatam dan kesejahteraan pada hari kiamat nanti.”
Delapan faedah yang disampaikan Hatim al-‘Asham tersebut salah satunya adalah terdapat pada surah al-Nazi’at ayat 40-41.
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”
Hatim al-‘Asham menyimpulkan bahwa kita seharusnya menganggap nafsu sebagai lawan yang harus kita perlawanan, bukan memuaskan nafsu sehingga nafsu menjadi patuh dan merasa puas dengan kewajibannya untuk mencegah taat dan beribadah kepada Allah.
Dalam al-Bahr al-Madid, Ibn ‘Ajibah menafsiri ayat tersebut dengan ungkapan bahwa orang yang bertakwa adalah mereka yang mampu menahan diri dari godaan hawa nafsunya yang condong pada kesenangan dunia yang fana. Mereka tidak terjebak dalam kenikmatan duniawi yang sementara.
Mereka menyadari bahwa kesenangan duniawi hanyalah sesaat, sedangkan akibat dari tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah adalah buruk, meskipun terkadang tergoda untuk melakukan dosa, namun mereka mengingat posisinya bahwa kelak akan dihisab di hari kiamat.
Menurut Ibn ‘Ajibah, inilah yang dimaksud takut pada kebesaran Allah, dan mereka itulah yang masuk dalam golongan فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ
Nikmat Duniawi yang Allah Berikan
Selain melarang manusia untuk mengumbar hawa nafsunya, Allah berikan berbagai nikmat kepada makhluk-Nya. Allah menciptakan sebagian dari mereka sebagai orang yang kuat, kaya, dan berada di posisi pemimpin, sementara yang lainnya diberi kelemahan, kekurangan, dan berperan sebagai pembantu.
Hal ini dilakukan agar yang kuat dapat memanfaatkan yang lemah untuk kepentingan mereka, menjadikan mereka terlibat dalam tugas-tugas tertentu, dan menugaskan mereka dalam pekerjaan mereka.
Dengan demikian, mereka dapat hidup bersama dan mencapai tujuan mereka, yang satu menggunakan kekayaan mereka dan yang lain menggunakan fisik mereka. Jika kekayaan dan kemiskinan mereka seimbang, banyak manfaat yang akan datang. Hal itu diungkapkan Ibn ‘Ajibah ketika menafsiri surah al-Zukhruf ayat 32.
اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّاۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Penghambaan dan Bijak Spiritual
Ibn ‘Ajibah mengatakan dalam tafsiran surah al-Nahl ayat 96, bahwa kenikmatan dunia sangatlah banyak, tetapi ingat!, apa pun yang dinikmati manusia dari dunia ini akan sirna dan hancur, sedangkan nikmat Allah adalah abadi dan tidak terbatas. Hal ini menjadi landasan kuat untuk menegaskan larangan mengkhianati perjanjian dengan Allah hanya demi kesenangan duniawi yang sementara.
Seperti apa yang tertera dalam al-Qur’an:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ بَاقٍ
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. al-Nahl: 96)
Ayat tersebut menjadi kunci bahwa manusia harus mengakui akan kebesaran, kebijaksanaan dan keadilan Allah, serta memiliki komitmen untuk mengabdi dan mentaati dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati.
Dalam menghamba, kita tidak hanya mematuhi perintah dan menjauhi larangannya, tetapi juga mencari makna yang lebih dalam dari setiap tindakan dan keputusan. Bijak dalam berspritual mengajarkan pentingnya kesadaran diri, empati terhadap sesama dan kesediaan untuk tumbuh dan berkembang secara pribadi demi kebaikan bersama.
Dengan semua pertimbangan di atas, kita diberikan pelajaran yang mendalam tentang pentingnya takwa, pengendalian diri dari hawa nafsu, penghargaan terhadap nikmat Allah, dan kesadaran akan kehadiran-Nya yang abadi.
Artikel ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kita dapat menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan keagungan Tuhan, serta bagaimana setiap tindakan kita dapat membawa kita menuju surga yang menjadi tujuan akhir setiap hamba yang taat. Wallahualam. [AR]