Kritik Feminis Abolisionis: Aparat Penegak Hukum Tak Berpihak Pada Korban Kekerasan Seksual

kritik-feminis-abolisionis:-aparat-penegak-hukum-tak-berpihak-pada-korban-kekerasan-seksual

“Jika korban kekerasan seksual tidak melapor atau menunda untuk melapor ke kepolisian, berarti ia telah berubah pikiran bahwa kekerasan seksual tersebut tidak pernah terjadi.”

Mungkin kamu pernah mendengar pernyataan seperti di atas atau yang serupa. Ini adalah contoh salah satu mitos yang berkembang di masyarakat tentang kekerasan seksual. Faktanya, terdapat banyak alasan mengapa korban kekerasan seksual tidak melapor atau menunda untuk melapor.

Salah satunya karena aparat penegak hukum (APH) dalam sistem peradilan kita tidak memiliki perspektif keberpihakan terhadap korban. Bukannya berfokus pada kebutuhan dan kepentingan terbaik korban, APH justru kerap menyalahkan korban. Mereka lebih berfokus untuk memberikan hukuman seberat-beratnya pada pelaku, sekalipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah berlaku.

Baca Juga: Seorang Penyanyi Dangdut Dilecehkan Tapi Malah Dihujat Warganet, Stop Victim Blaming!

Riset Cakra Wikara Indonesia (2024) menunjukkan salah satu tantangan implementasi UU TPKS adalah masih minimnya perspektif keberpihakan korban di kalangan APH maupun pemerintah daerah. Seperti terjadi di Kabupaten Gresik, misalnya. Temuan riset Cakra Wikara Indonesia (CWI) memperlihatkan APH seperti jaksa cenderung menggunakan UU KUHP dan undang-undang lain daripada UU TPKS. Alasannya karena KUHP dan undang-undang lain memberikan sanksi atau hukuman yang lebih berat.

Ini menunjukkan masih banyak APH yang belum paham keutamaan UU TPKS, yaitu menjamin keberpihakan terhadap korban dan mewujudkan keadilan bagi korban. Alih-alih mengutamakan penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban, APH malah menggunakan lensa punitif dengan berfokus untuk menghukum pelaku. Akibatnya, hak-hak korban pun tidak terpenuhi. Ketidakberpihakan APH terhadap korban memperlihatkan bahwa APH sebagai bagian dari aparatus negara, turut menjadi pelaku kekerasan berbasis gender.

Kritik Feminis Abolisionis

Bagaimana aparat penegak hukum dalam sistem peradilan justru menjadi pelaku kekerasan berbasis gender telah banyak diungkap oleh para feminis abolisionis. Feminis abolisionis mengkritik sistem peradilan yang berfokus untuk memberikan hukuman punitif dengan memenjarakan para pelaku kekerasan dan kejahatan. Menurut feminis abolisionis, sistem peradilan yang punitif tidak menyelesaikan permasalahan sosial. Bagi feminis abolisionis, memasukkan pelaku kekerasan seksual ke penjara hanyalah solusi individualistis dalam merespons kekerasan. Pasalnya penjara hanya menempatkan permasalahan pada tubuh orang yang ‘jahat’ daripada menghubungkan pola dari kekerasan yang terjadi (Olufemi, 2020). 

Menghukum pelaku kekerasan seksual ke penjara tidak mencerabut masalah kekerasan seksual hingga ke akarnya. Penjara tidak mencegah kekerasan yang sama tidak akan terjadi pada orang lain (Olufemi, 2020). Oleh karenanya, feminis abolisionis mencoba melacak akar penyebab kekerasan seksual, yaitu patriarki, kapitalisme, rasisme, kolonialisme, imperialisme, dan sistem penindasan lainnya yang saling terjalin satu sama lain sehingga menciptakan ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat. Dengan demikian, feminis abolisionis melihat kekerasan seksual sebagai permasalahan sistemik yang tidak dapat diselesaikan dengan mengandalkan sistem peradilan.

Lebih lanjut, feminis abolisionis berpendapat bahwa sistem peradilan yang ada justru malah mereproduksi kekerasan. Dengan janjinya untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya, nyatanya negara, melalui sistem peradilan, memiliki bias dalam menentukan siapa yang harus dilindungi dan siapa yang tidak (Verges & Thackway, 2022).

Baca Juga: ‘Reclaim the Night’: Aksi Perempuan Melawan Perkosaan dan Femisida di India

Dalam konteks kekerasan seksual, hal ini dapat terlihat ketika kita mempertimbangkan kerentanan identitas korban dan kelindannya dengan beragam identitas lainnya. Kerentanan ini sangat dipengaruhi oleh gender, abilitas, orientasi seksual, kelas, usia, etnis, status pernikahan, tempat tinggal, hingga pekerjaan korban. Identitas dan latar belakang korban akan mempengaruhi bagaimana respons APH dalam menangani kasus. Korban bisa jadi makin disalahkan dan tidak dipercaya oleh APH, bahkan dapat dikriminalisasi.

Misalnya saja, seorang transpuan yang berprofesi sebagai pekerja seks memiliki kerentanan berlapis ketika mengalami kekerasan seksual. Mereka akan lebih rentan mengalami diskriminasi dan kriminalisasi akibat identitas gendernya sebagai transpuan dan pekerjaannya sebagai pekerja seks saat melaporkan kasusnya ke kepolisian.

Contoh lainnya kasus kekerasan seksual berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di salah satu wilayah riset CWI, yaitu Kabupaten Probolinggo. APH merespons laporan KDRT berdasarkan “keseriusan” dampak dari kasus yang dilaporkan. Keseriusan kasus ini dapat dilihat salah satunya dari status pernikahan.

Baca Juga: Pentingnya Kolaborasi Data, Tercatat 34.682 Perempuan Jadi Korban Kekerasan

KDRT dalam status pernikahan siri sering kali dianggap bukan merupakan tindak pidana serius. APH cenderung menggunakan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) untuk menangani kasus kekerasan seksual dalam kategori KDRT yang hanya mengatur kasus dalam pernikahan yang dicatat oleh negara. APH tidak merujuk pada UU TPKS yang tidak mempertimbangkan persoalan status pernikahan. Hal ini kemudian menyulitkan penanganan kasus kekerasan dalam pernikahan siri.

Kedua kasus di atas menunjukkan bias dari sistem peradilan dalam menentukan siapa yang merupakan korban dan harus mendapatkan perlindungan. Bias inilah yang juga membuat korban makin enggan untuk melapor atau bahkan tidak dapat melapor sama sekali. Selain itu, sistem peradilan kita luput dalam mempertimbangkan unsur relasi kuasa dalam kekerasan seksual. Relasi kuasa ini pun akan makin timpang bila kita turut melihat kerentanan dan lapis identitas korban. Pada akhirnya, korban mengalami reviktimisasi, kekerasan pun kembali dialami korban dan direproduksi oleh sistem peradilan.

Keadilan Transformatif, Sebuah Solusi

Lantas, dengan sistem peradilan yang justru mereproduksi kekerasan dan tidak memberikan keadilan bagi korban, apa yang dapat kita lakukan? Feminis abolisionis mengajak kita membayangkan solusi di luar sistem peradilan yang ada untuk memperbaiki dampak dan kerugian yang telah ditimbulkan. Yaitu melalui pendekatan keadilan transformatif. Keadilan transformatif merupakan pendekatan yang berupaya untuk merespons kekerasan tanpa menimbulkan lebih banyak kekerasan dan/atau melakukan pengurangan dampak buruk untuk mengurangi kekerasan (Mingus, 2019).

Keadilan transformatif menekankan pada proses akuntabilitas komunitas untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan (Olufemi, 2020). Kekerasan seksual merupakan persoalan kolektif di masyarakat yang seharusnya menjadi tanggung jawab komunitas untuk mencegahnya dan memperbaiki dampak yang ditimbulkannya. Pada kenyataannya, masyarakat turut berperan dalam melanggengkan kekerasan seksual.

Riset CWI juga menemukan faktor lain di luar struktur institusional seperti APH yang menjadi tantangan dalam implementasi UU TPKS. Yakni struktur kultural-normatif di masyarakat yang bekerja sebagai sumber pembungkaman korban kekerasan seksual melalui institusi keluarga, adat, dan agama. Oleh karena itu, komunitas juga dibebankan pada tanggung jawab untuk mengatasi kekerasan seksual.

Baca Juga: Mau Spill Pelaku Kekerasan Seksual di Media Sosial? Perhatikan “Rambu-Rambu” Berikut!

Bentuk dari praktik dan strategi akuntabilitas komunitas sendiri dapat berupa pelayanan masyarakat, praktik reflektif, menegaskan komitmen terhadap nilai dan praktik antikekerasan, mediasi, mengembangkan metode untuk mengatasi rasa marah dan malu, terapi, dukungan kesehatan mental, dan program yang berpusat pada trauma yang dirancang untuk mengidentifikasi akar penyebab tindak kekerasan (Olufemi, 2020).

Di Indonesia, praktik-praktik ini juga telah banyak dilakukan oleh lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat. Meski demikian, feminis abolisionis juga menyadari bahwa cara-cara tersebut tidak selalu berhasil, terlebih pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, kerugian yang ditimbulkan memang tidak dapat diperbaiki. Namun, dalam sebagian besar kasus, hasil yang dapat dicapai oleh korban melalui pendekatan keadilan transformatif adalah perbaikan dan pemulihan yang signifikan dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh sistem peradilan (Moore, 2016). 

Pendekatan keadilan transformatif juga menekankan pada praktik pencegahan sebagai upaya menghapuskan kekerasan seksual. Unsur pencegahan sendiri telah direkognisi sebagai tujuan dari UU TPKS. Dalam UU TPKS, pencegahan melibatkan tidak hanya APH, tetapi juga institusi pendidikan, pemerintah daerah, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), hingga masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa UU TPKS telah mengintegrasi pendekatan keadilan transformatif, selain mengatur hukum pidana tindak kekerasan seksual. Dengan demikian, UU TPKS pada esensinya bertujuan untuk mewujudkan keadilan bagi korban dengan mengutamakan perspektif korban dan aspek pencegahan.

Baca Juga: Bagaimana Jika Korban Kekerasan Seksual Yang Berupaya Membela Diri Dikriminalisasi?

Namun, sejak disahkan dua tahun lalu, UU TPKS belum diimplementasikan secara komprehensif. Minimnya perspektif APH sebagai pihak implementor masih menjadi tantangan utama. Oleh karena itu, kita perlu terus mengawal implementasi UU TPKS. Mulai dari mendesak dikeluarkannya semua aturan turunan UU TPKS. Hingga mendesak pemerintah pusat maupun daerah untuk menyalurkan lebih banyak anggaran bagi pihak-pihak yang terkait dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. 

Meskipun feminis abolisionis mengajak kita untuk tidak selalu mengandalkan negara dan sistem peradilannya, dengan besarnya sumber daya yang dimiliki negara, ia tetap menjadi pihak yang paling bertanggung jawab untuk menghapuskan kekerasan seksual.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu mengorganisir diri dalam menciptakan sistem akuntabilitas berbasis komunitas untuk merespons isu kekerasan seksual, terlebih ketika negara masih kerap abai. Kerja-kerja penghapusan kekerasan seksual adalah kerja kolektif multipihak yang perlu dilakukan dengan menyoroti permasalahan struktural dari kekerasan seksual. Tanpa menyoroti permasalahan struktural tersebut, korban akan selalu dibungkam dan kekerasan seksual masih akan terus terjadi.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Kritik Feminis Abolisionis: Aparat Penegak Hukum Tak Berpihak Pada Korban Kekerasan Seksual

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us