Mubadalah.id – Pada tulisan sebelumnya, penulis telah mengartikulasikan model pembacaan budaya atas fenomena penyandaran nama anak kepada ayah yang menghasilkan kesimpulan bahwa budaya arab punya peran dalam praktik penyandaran nama anak kepada bapak.
Pencarian Dalil Keagamaan
Selanjutnya, tulisan ini akan menganalisis apakah terdapat dogma agama yang bisa kita jadikan sandaran dalam praktik penyandaran nama ayah kepada anaknya dalam melalui dogma keagamaan.
Argumentasi keagamaan tentu penting guna menakar keabsahan praktik penyandaran nama anak kepada ayah bagi seorang muslim. Jika ada, apakah mungkin melakukan pembacaan ulang agar menghasilkan pembacaan yang egaliter kepada orang tua perempuan. Tulisan ini menggunakan (QS. Al-Ahzāb[33]: 5) sebagai objek utama kajian.
Dalil Al-Quran dan Penafsirannya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam (Al-Aḥzāb [33]:5):
اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Artinya : “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Itulah yang adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (teman dekat). Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Imam as-Sya’rawi menafsiri bahwa ayat ini berkaitan dengan panggilan orang-orang kepada Zaid dengan sebutan Zaid bin Haritsah. Namun, mereka kemudian mencabutnya dengan hanya menyebut namanya saja, yakni hanya dengan nama Zaid saja. Padahal nama tersebut disematkan oleh Rasulullah dan nama itu yang mulia baginya.
Penjelasan yang lebih lengkap dapat kita temukan dalam tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah az-Zuhaili bahwa ayat tersebut berkenaan dengan sosok Zaid bin Haritsah yang merupakan budak milik Rasulullah saw. Nabi Muhammad saw., memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak sebelum turunnya wahyu.
Pada awalnya, Zaid, orang-orang memanggilnya sebagai Zaid bin Muhammad. Meski ia bukan anak kandung Rasulullah saw. Permasalahan mulai muncul ketika Zaid menceraikan Zainab bin Jahsyi yang notabene sosok perempuan yang Rasullullah jodohkan kepada Zaid.
Sebab, pasca menikah dengan Zaid, Zainab menikah dengan Rasulullah saw., hal tersebut kemudian menimbulkan cercaan dan makian dari kaum munafik dengan menyebut bahwa Rasulullah menikahi istri dari anaknya sendiri.
Posisi Anak Adopsi
Dengan turunnya ayat (Al-Aḥzāb [33]:5), rasulullah menegaskan bahwa nama lengkap Zaid adalah Zaid bin Haritsah bukan bin Muhammad. Pernyataan ini juga dipertegas dengan penggalan ayat lainnya yakni wa mā ja’ala ad’iyāakum abnāakum (dan sekali-kali Allah swt. tidak menjadikan anak-anak angkat sebagai anak sendiri dalam arti yang sesungguhnya).
Dengan demikian, maksud utama dari ayat ini berkaitan dengan posisi anak adopsi serta relasinya dengan pernikahan ayah angkat dengan istri dari anak angkatnya.
Jadi bisa kita simpulkan, meski kultur Arab dan fatwa-fatwa yang ada sampai sekarang mengarahkan kepada penyebutan nama ayah di belakang nama anak, bukan ibu dan juga lain, termasuk suami, namun (Al-Aḥzāb [33]:5) tidak mengarahkan secara konkret ke permasalahan penyandaran nama anak kepada ayah. Meski hal tersebut bisa berkaitan. Hal yang lebih kita fokuskan adalah berupa konstruksi hukum pelegalan seorang ayah menikahi mantan istri dari anak angkatnya.
Membaca Tuntunan Agama secara Kontekstual
Perdebatan terkait praktik-praktik seorang muslim di era modern sering kali kita benturkan dengan dua tembok kokoh berupa ajaran yang bersifat kebudayaan di masa lalu dengan ajaran dari agama Islam itu sendiri.
Kekaburan seperti ini yang sering kali menjadi alasan perlunya pembacaan ulang atas narasi-narasi keagamaan, semisal penggunaan cadar dan jubah, apakah dua hal tersebut merupakan tradisi Arab atau memang ajaran Islam.
Penyandaran nama anak kepada ayah juga bisa dianggap sedikit kabur. Apakah hal tersebut berasal dari budaya Arab atau memang merupakan tuntunan Islam? Penulis belum mendapatkan indikator yang jelas di Al-Quran atas kewajiban penyandaran nama anak kepada ayah.
Kalaupun ada sifatnya masih bisa kita baca melalui berbagai perspektif, seperti dalam riwayat Bukhari;
“Siapa yang bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.”
Berdasarkan penjelasan di atas (QS. Al-Aḥzāb [33]:5) lebih membicarakan tentang posisi anak adopsi yang tidak sama dengan anak kandung. Oleh karena itu, Rasulullah memberikan tuntunan untuk menyebut dengan nama ayah kandungnya, bukan nama beliau.
Hal ini bisa menjadi acuan adanya kebaikan untuk menyebut nama anak dengan nama ayah sebagai cara guna mengetahui asal-usulnya. Sebagai pembanding, penulis mengutip (QS. At-Tahrīm [66]: 10) yakni tentang fleksibilitas Al-Quran menyebut nama-nama istri para Nabi dengan disandingkan dengan nama suaminya, semisal imra’ata nūh dan imra’ata lūṭ.
Menilik Hukum Penyebutan Nama Ayah di Belakang Nama Anak
Dengan demikian, titik tekan yang muncul berupa upaya mengetahui asal-usul sekaligus memperjelas posisi seseorang tersebut, dan hal ini bisa berkaitan dengan situasi dan konteks yang mengitarinya. Bisa jadi di satu waktu ia di sebut fulan anaknya si A, sebab ayahnya si A memang terkenal di situ. Di satu waktu, bisa jadi si fulanah di sebut dengan nama suaminya karena suaminya yang terkenal di situ.
Hukum kewajiban penyebutan nama ayah di belakang nama anak secara jelas dapat kita temukan melalui riwayat di atas. Namun indikator fleksibilitas penggantian dengan nama suami, ibu dan sebagainya dalam koridor kebiasaan bisa juga kita gunakan jika mengacu pada aspek kemaslahatan dan ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di suatu tempat. Hal tersebut sekedar untuk memperkenalkan seseorang atau mempermudah mengetahui asal-usulnya. Wallāhu A’lām bi as-Showāb. []