Artikel ini mengandung deskripsi kekerasan dan konten sensitif yang mungkin memicu atau mengganggu pembaca. Harap membaca dengan pertimbangan.
Suatu hari, saat saya berkunjung ke rumah salah satu kerabat, saya menyaksikan sebuah pemandangan yang tidak biasa menurut saya, sesuatu yang mengganggu dan tidak mudah dilupakan. Anak perempuan di keluarga tersebut, yang kebetulan seumuran dengan saya, diperlakukan tidak selayaknya oleh kakak laki-lakinya. Sebagai anak terakhir dan satu-satunya perempuan, ia diwajibkan mengurus rumah. Salah satu momen dalam ingatan saya adalah ketika kakak laki-lakinya pulang dan langsung melemparkan baju yang dikenakannya ke sofa. Adiknya, tanpa berkata apapun, memungut baju tersebut dan membawanya untuk dicuci.
Setelahnya, adik perempuan ini pun bercerita kepada saya. Suatu ketika saat dia sedang menyetrika, si abang menyuruhnya membeli mie goreng. Namun karena si adik perempuan tak kunjung berangkat, si abang marah dan dia ditampar. Akhirnya, si abang berangkat sendiri membeli mie goreng dengan motornya. Padahal, ia sehat dan bisa membeli sendiri, namun harus bersikap kasar karena adiknya tidak menuruti perintahnya. Momen tersebut sangat membekas di pikiran saya, terutama karena saya juga satu-satunya anak perempuan dalam keluarga, namun tidak pernah mengalami perlakuan seperti itu di rumah.
Bagaimana Bisa, Saudara Kandung Malah Berbuat Kasar?
Ingatan traumatis akan hal di atas terpicu kembali ketika baru-baru ini saya melihat curahan hati yang sama dari salah satu akun TikTok. Saat saya menggulir halaman media sosial tersebut, ada curhatan yang mengatakan hal yang kurang lebih sama.
“Hampir dibunuh sama abang sendiri adalah trauma paling dalam di hidupku”
“Kata orang-orang mempunyai abang itu sangatlah enak, tapi menurutku mempunyai abang yang serba main tangan adalah neraka yang setiap hari dirasakan oleh adik perempuan”
Begitulah ungkapan beberapa akun yang tampil di halaman saya. Hal ini mengarah pada fenomena di mana pengalaman kekerasan ini ternyata tidak dirasakan sendiri oleh kerabat saya. Banyak juga komentar-komentar yang menyatakan mereka memiliki pengalaman yang sama dan hampir semuanya adalah perempuan.
Kekerasan terhadap saudara ini disebut dengan sibling abuse. Masalah ini kerap tersembunyi dan diremehkan. Menurut Vernon R Wiehe dalam bukunya Sibling abuse : Hidden Physical, Emotional, and Sexual Trauma, sibling abuse atau kekerasan oleh saudara kandung adalah kondisi terjadinya kekerasan fisik, psikologis , atau seksual terhadap satu saudara kandung oleh saudara kandung lainnya. Lebih sering terjadi, saudara kandung yang lebih muda dianiaya oleh saudara kandung yang lebih tua.
Baca juga: Viral Influencer Alami KDRT, Sulitnya Perempuan Korban Lepas dari Belenggu Kekerasan
Melansir Hukum Online kekerasan antar saudara kandung ini sebenarnya sudah bisa dikategorikan sebagai tindak kekerasan dalam rumah tangga. Lebih rincinya hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Namun, meskipun tindak kekerasan ini termasuk kekerasan dalam rumah tangga, banyak orang yang tidak menyadarinya bahkan mengabaikan. Kekerasan yang dilakukan kakak kepada adik ataupun sebaliknya dianggap wajar dan dinormalisasi, padahal tidak sedikit orang yang menjadi trauma karenanya.
Laporan terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), selama tahun 2024, jumlah kasus kekerasan yang terjadi di rumah tangga adalah kasus tertinggi dengan jumlah 11 ribu kasus. Dari data tersebut sebanyak 987 kasus kekerasan di rumah tangga dilakukan oleh saudara. Jumlah kekerasan yang dilakukan saudara tergolong sedikit dilaporkan.
Mengapa hal ini terus terjadi? Salah satu jawabannya adalah karena adanya penormalan dari kekerasan saudara kandung.
Meskipun masuk dalam kekerasan dalam rumah tangga, namun sibling abuse tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius. Beberapa orang menganggap kekerasan yang hadir baik di masa kanak-kanak hingga remaja adalah hal wajar bahkan sekadar becanda antar saudara. Meskipun begitu, tidak mudah bagi orang tua mengenali adanya kekerasan antar saudara.
Orang Tua yang Mengabaikan Korban Membuat Luka Berlapis
Menurut Darlene Lancer, orang tua memilih tidak membesarkan masalah ini dan melaporkannya. Penyebabnya antara lain; tidak memiliki dukungan dan mendapatkan informasi yang salah. Banyak orangtua yang menduga akan terjadi konflik yang lebih besar dan pertengkaran antar saudara kandung jika hal ini dilaporkan. Oleh karena itu, mereka biasanya mengabaikan kekerasan dan menyamakannya dengan persaingan antar saudara kandung (sibling rivalry). Padahal, jika orang tua tidak melindungi korban, hal itu akan menimbulkan luka yang berlapis bagi korban. Pertama, luka oleh saudara kandung, kemudian yang kedua oleh orang tua yang tidak melindunginya.
Banyak yang menganggap bahwa kekerasan ini hanyalah bagian dari sibling rivalry atau persaingan antar saudara yang wajar. Namun, perlu ditegaskan bahwa sibling rivalry berbeda dengan sibling abuse. Persaingan antar saudara biasanya terjadi dalam hubungan yang relatif seimbang, sementara sibling abuse melibatkan kekuatan yang tidak setara dan berlangsung terus menerus, menciptakan trauma yang mendalam pada korban.
Baca juga: ‘It Ends With Us’, Sorak-Sorai untuk Lily Bloom Yang Berani Memutus KDRT
Masih menurut Darlene, salah satu penyebab terjadinya sibling abuse adalah orang tua tidak mampu mengelola emosi mereka sendiri dan menjadi contoh komunikasi dan perilaku yang tepat. Mereka tidak dapat hadir untuk memenuhi kebutuhan dan perasaan anak-anak mereka. Ketika orang tua diberi tahu, korban tidak dipercaya atau disambut dengan histeria alih-alih empati. Seringkali, orang tua menyangkal dan meragukan cerita korban untuk melindungi diri mereka sendiri dan pelaku.
Dampak dari sibling abuse memiliki dampak negatif jangka panjang pada rasa aman, kesejahteraan, dan hubungan interpersonal para penyintas. Korban dari segala usia mengalami rasa malu yang terinternalisasi, meningkatkan kemarahan, ketakutan, kecemasan , dan rasa bersalah . Baik korban maupun pelaku sering kali memiliki harga diri yang rendah, kecemasan, dan depresi. Anak-anak korban sibling abuse mengeluh sakit kepala, sakit perut, dan gangguan usus, makan, dan tidur. Beberapa mengalami keterlambatan perkembangan atau kesulitan sosial dan akademis di sekolah. Kekerasan menyebabkan rasa takut terhadap pelaku yang dapat menyebabkan PTSD (Post-traumatic stress disorder) dan menghasilkan mimpi buruk atau fobia.
Kekerasan dari Rumah Berlanjut ke Kehidupan Sosial
Terapis klinis dan penulis Sibling Abuse Trauma Dr. John V. Caffaro, mengatakan kekerasan antar saudara kandung mengarah pada penolakan sosial yang lebih besar terhadap tindak kekerasan antara kakak dan adik, dan menyebabkan kerusakan fisik dan emosional jangka panjang yang ditimpakan pada korban.
“Kekerasan antara anak laki-laki dan perempuan merupakan 30 persen dari kekerasan antar saudara yang ditemukan dalam penelitian kami,” jelas Caffaro, mengacu pada penelitiannya tahun 2005, Treating Sibling Abuse Families.
Masih menurut Caffaro, laki-laki cenderung lebih sering berperan sebagai pelaku kejahatan terhadap saudara laki-laki atau saudara perempuannya yang lebih muda dan kurang dewasa. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh perebutan kekuasaan gender, di mana laki-laki lebih sering disosialisasikan untuk memegang kendali.
Bukan hanya kepada saudara perempuan, saudara laki-laki yang lebih tua juga melakukan kekerasan terhadap saudara laki-lakinya yang lebih muda atau lebih lemah. Bintang Hollywood Hugh Jackman dalam salah satu wawancara mengatakan memiliki trauma buruk atas perlakuan saudara laki-lakinya. Bintang Wolverine itu mengatakan kejadiannya dipicu setelah ibunya meninggalkan ayahnya dan kelima saudaranya di Australia saat dia berusia 8 tahun. Sejak saat itu ia dan saudara-saudaranya harus mengurus diri sendiri sepulang sekolah, hal ini mengakibatkan adanya kesempatan untuk kakak laki-lakinya mengganggunya. Jackman mengatakan kakaknya yang bernama Ralph dulu sering membullynya hingga suatu hari Jackman melawan dengan melemparkan kursi dan mengancam akan mengakhiri hidup kakaknya itu. Sejak kejadian perlawanan tu, Jackman menjadi berperilaku sombong di sekolahnya dan mengadu kekuatan bersama temannya dengan membenturkan kepala mereka ke loker besi.
Cara Menanggapi Sibling Abuse
bell hooks dalam bukunya The Will to Change: Men, Masculinity, and Love menjelaskan bahwa anak laki-laki menemukan keinginan untuk melakukan kekerasan dan pelecehan dalam trauma asuhannya ketika dia dipaksa untuk melawan dirinya yang sebenarnya bagian dari indoktrinasi ke dalam patriarki. Untuk berubah, laki-laki harus mengerti mengapa dia melecehkan atau melakukan kekerasan. Untuk sembuh, laki-laki harus belajar empati kembali, dan jujur tentang rasa sakit yang dirasakannya.
Lena Suarez dan Benjamin Troy, psikiater anak memberi cara untuk menanggapi kasus sibling abuse yaitu:
1. Berikan dukungan/keyakinan kepada anak/korban: Saat menanggapi kekerasan saudara kandung, orang tua harus memberikan dukungan dan keyakinan kepada anak yang menjadi korban. Validasi pengalaman mereka dengan mengakui perasaan mereka dan yakinkan mereka bahwa mereka tidak sendirian.
2. Validasi pengalaman korban: Validasi emosi dan reaksi mereka. Akui kerugian yang telah mereka alami dengan memberi tahu mereka bahwa mereka dipercaya dan didukung.
3. Jangan abaikan atau anggap remeh perilaku kejam: Orang tua tidak boleh menganggap remeh atau menganggap remeh perilaku kejam antar saudara. Tanggapi setiap kejadian dengan serius, tangani masalah sesuai kebutuhan.
4. Tetapkan aturan dasar yang jelas: Tetapkan konsekuensi atas perilaku untuk menetapkan batasan dan mendorong hubungan persaudaraan yang saling menghormati dan aman.
5. Ajarkan keterampilan memecahkan masalah: Mengajarkan keterampilan memecahkan masalah membekali anak dengan alat untuk menavigasi konflik secara sehat.