Toleransi Seharusnya Bukan Menjadi Upaya Untuk Menghambat Diskusi Sehat

toleransi-seharusnya-bukan-menjadi-upaya-untuk-menghambat-diskusi-sehat

Dalam masyarakat yang semakin plural, nilai toleransi sering kali diangkat sebagai pilar penting untuk menciptakan keharmonisan. Namun, seiring berkembangnya diskusi tentang toleransi, ada satu asumsi yang perlu kita pertanyakan, apakah toleransi selalu menciptakan ruang untuk diskusi yang sehat? Dalam pandangan ini, toleransi terkadang dapat menutup kesempatan untuk berdiskusi dan memperkaya pemahaman kita terhadap isu-isu yang lebih luas, alih-alih menjaga keharmonisan dan keragaman.

Toleransi, dalam konteks agama, memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Untukmu, agamamu, dan untukku, agamaku” (QS. Al-Kafirun ayat 6). Ayat ini menegaskan penghargaan terhadap perbedaan, mengisyaratkan bahwa meskipun kita memiliki keyakinan yang berbeda, kita masih dapat hidup berdampingan dengan saling menghormati. Namun, perlu diingat bahwa toleransi tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghindari diskusi kritis.

Sikap toleran dapat berfungsi sebagai perisai untuk mencegah kekerasan dan diskriminasi. Dalam konteks ini, ajaran Islam mendorong umatnya untuk memperlakukan orang lain dengan baik, tanpa memandang latar belakang agama, etnis, atau budaya. Namun, ketika kita mengandalkan toleransi semata, kita mungkin kehilangan kesempatan untuk memahami perspektif yang berbeda. Toleransi yang tanpa disertai dengan diskusi dapat menciptakan ilusi persatuan yang rapuh, yang pada akhirnya justru dapat memicu perpecahan lebih lanjut.

Dalam konteks diskusi yang tercantum dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa istilah yang menggambarkan proses pertukaran pikiran dan argumentasi. Pertama, istilah al-hiwar mencerminkan proses pembicaraan yang melibatkan tanya jawab, di mana peserta berdiskusi secara bergantian. Dalam hal ini, setiap pihak harus bersikap argumentatif dan kooperatif, siap mengakui kesalahan saat menyadari ketidakakuratan argumennya.

Kedua, istilah al-mira’ merujuk pada adu argumentasi yang sering kali berlarut-larut, di mana masing-masing pihak bersikeras mempertahankan pendapat mereka tanpa keinginan untuk mengalah. Ketiga, terdapat juga al-muhajjah, yang mencerminkan partisipasi aktif dalam debat, di mana setiap pihak berusaha melemahkan argumen lawan dengan argumentasi yang tajam.

Keempat, istilah al-jadal menunjukkan diskusi yang terjadi akibat keyakinan yang dipegang teguh, sering kali menyebabkan perbedaan pemikiran yang mengaburkan penilaian terhadap kebenaran. Kelima, istilah shura menekankan pengambilan keputusan secara kolektif, pentingnya mencapai kesepakatan bersama, bukan sekadar mencari argumen yang paling kuat.

Keenam, istilah al-munazarah merujuk pada pembahasan masalah dengan menggunakan argumentasi logis. Dalam setiap diskusi, peserta harus menggunakan nalar untuk menemukan kebenaran yang relevan dengan isu yang sedang dibahas. Dengan memahami istilah-istilah ini, kita dapat lebih menghargai dinamika diskusi dalam konteks Islam.

Salah satu masalah utama dalam mengadopsi sikap toleran yang terlalu kaku adalah bahwa hal itu dapat menimbulkan kebisuan. Ketika seseorang diajak untuk “bertoleransi”, sering kali mereka merasa tertekan untuk tidak mengungkapkan ketidaksetujuan atau pertanyaan tentang pandangan lain. Sikap ini menciptakan suasana di mana diskusi dianggap berbahaya, dan individu-individu merasa lebih nyaman untuk menutup diri daripada berpartisipasi dalam dialog. Akibatnya, potensi pertukaran gagasan dan argumen yang konstruktif hilang, meninggalkan kita dalam kebiasaan yang tidak produktif.

Lebih jauh lagi, ketidakterbukaan dalam diskusi bisa berdampak pada perkembangan pemikiran. Ketika kita menghindari perdebatan yang sehat, kita berisiko jatuh ke dalam kemandekan intelektual atau jatuh pada kondisi ketidaktahuan. Dalam konteks pemahaman Islam, hal ini mengarahkan kita pada kehilangan peluang untuk mendalami ajaran agama secara lebih menyeluruh.

Sejarah intelektual Islam menunjukkan bahwa banyak pemikir terkemuka, seperti Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, terlibat dalam diskusi yang kritis untuk membahas isu-isu teologis dan filosofis. Mereka tidak hanya menerima pandangan yang ada, tetapi juga mempertanyakan dan menganalisisnya, menciptakan ruang untuk pemikiran yang lebih luas.

Satu contoh nyata adalah debat tentang akidah dan praktik ibadah. Banyak perbedaan dalam praktik Islam yang berasal dari penafsiran yang beragam terhadap Al-Qur’an dan hadits. Diskusi terbuka tentang perbedaan ini bukan hanya sehat, tetapi juga diperlukan untuk memahami bagaimana ajaran Islam dapat diterapkan dalam konteks yang berbeda. Misalnya, apa yang berlaku di satu budaya mungkin tidak relevan di budaya lain. Memaksa setiap orang untuk “bertoleransi” terhadap satu praktik tertentu dapat menghalangi pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana agama dapat beradaptasi dengan konteks sosial yang berbeda.

Islam juga mengajarkan pentingnya mengembangkan pengetahuan dan berpikir kritis. Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali mendorong umat-Nya untuk merenung dan memikirkan tanda-tanda-Nya di alam. Ini menunjukkan bahwa pemikiran kritis dan refleksi adalah bagian dari keimanan. Ketika kita mendorong diskusi, kita sedang melakukan apa yang diisyaratkan oleh Allah untuk berpikir, bertanya, dan mencari pemahaman yang lebih baik.

Oleh karena itu, menciptakan budaya diskusi yang sehat dalam konteks toleransi menjadi sangat penting. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membaca literatur dari berbagai perspektif, mengikuti kuliah dan diskusi yang mencakup beragam pandangan, serta berdiskusi dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Dalam hal ini, pendidikan menjadi kunci untuk membangun sikap terbuka dan rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap keberagaman dalam Islam.

Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa toleransi seharusnya tidak mengurangi keinginan kita untuk memahami, berdiskusi, dan bahkan mengkritisi pandangan yang ada. Diskusi yang sehat memungkinkan kita untuk mendalami isu-isu kompleks, mencari solusi yang lebih baik, dan membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran Islam.

Dengan pemahaman yang solid dan bijaksana, setiap individu dapat membangun keyakinan yang kokoh, sekaligus menghargai keberagaman pandangan dalam Islam. Hanya dengan cara inilah kita dapat memastikan bahwa toleransi tidak menjadi penghalang bagi diskusi yang produktif, tetapi justru menjadi fondasi yang kuat bagi pencarian kebenaran yang lebih dalam.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Toleransi Seharusnya Bukan Menjadi Upaya Untuk Menghambat Diskusi Sehat

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us